Ahli Waris Menghilang tanpa Kepastian Kabar Meninggal, Bagaimana Jatah Warisannya?

Ahli Waris Menghilang tanpa Kepastian Kabar Meninggal, Bagaimana Jatah Warisannya?

Ulama beda pendapat kapan status wafat berlaku untuk ahli waris yang hilang

Islam telah mengatur tentang besaran pembagian harta waris serta siapa saja yang berhak menerima warisan. Namun bagaimana bila ahli waris menghilang dan keberadaannya tidak diketahui sama sekali? 

Pengasuh Pondok Pesantren Annur Bekasi, KH Mumtaz Mukhtar, mengatakan seseorang disebut hilang adalah ketika ketidakadaannya sudah lama dan tidak diketahui keberadaannya serta tidak diketahui masih hidup atau sudah meninggal.

Menurutnya perlu analisis fiqih tersendiri bagi seseorang yang statusnya menjadi ahli waris namun keberadaannya tidak diketahui. Sebab hal tersebut dapat berpengaruh pada besaran pembagian harta waris kepada ahli waris yang lainnya. 

Para ulama empat mazhab berbeda-beda tentang memberi batasan waktu seseorang yang tidak diketahui keberadaannya hingga ditetapkan meninggal.  

Para ulama Mazhab Hanafi menjelaskan beberapa kesimpulan tentang orang yang menghilang.

Pertama, orang yang hilang dianggap meninggal jika teman-teman seusianya di kampungnya sudah meninggal semuanya sementara dia belum juga kembali pulang ke kampungnya. Pendapat inilah yang paling kuat dan banyak digunakan oleh para ulama dikalangan Mazhab Hanafi. 

Kedua, orang yang hilang dianggap sudah meninggal apabila sudah sampai 120 tahun dari tanggal kelahirannya. Pendapat ini diungkapkan Imam Hasan yakni murid Imam Abu Hanifah.

Baca juga:Neom Megaproyek Ambisius Arab Saudi, Dirikan Bangunan Terbesar di Dunia 

Ketiga, orang yang hilang dianggap sudah meninggal apabila sudah sampai 100 tahun dari tanggal kelahirannya. Pendapat ini disampaikan Abu Yusuf murid Imam Abu Hanifah. 

Keempat, sebagian ulama Hanafiah menghukumi orang yang hilang dianggap sudah meninggal apabila sudah melewati 90 tahun dari tanggal kelahirannya. 

“Sedangkan Imam Maliki berpendapat bahwa seorang hakim bisa menganggap orang yang hilang itu telah wafat jika sudah sampai 40 tahun dan tanggal kehilangannya,” kata kiai Mumtaz dalam kajian Mawaris di Masjid Istiqlal Jakarta, sebagaimana dikutip Harian Republika, Jumat (3/6/2022).

Sedang para ulama Mazhab Maliki salah satunya Ibnu Qasim berpendapat bahwa ada tiga kemungkinan bagi orang yang menghilang dianggap meninggal. 

Pertama, orang yang hilang dan tak diketahui keberadaannya bisa dihukumi meninggal kira-kira 40 tahun dari tanggal kehilangannya. 

Kedua, orang yang hilang ketika berperang melawan musuh maka  hartanya tidak boleh diwariskan hingga benar-benar ada kejelasan tentang kabarnya. 

Ketiga, orang yang hilang ketika berperang melawan musuh maka  istrinya tidak boleh menikah lagi hingga benar-benar ada kejelasan tentang kabar suaminya atau sampai benar-benar meyakini dengan ijtihadnya bahwa suaminya itu sudah tak ada. 

Sedangkan para ulama Mazhab Syafii berpendapat bahwa bila sudah melampaui waktu yang kira-kira seseorang sudah dianggap meninggal maka hakim boleh memutuskan bahwa orang tersebut telah wafat. Sebab itu para ulama Mazhab Syafii menyerahkan prihal jarak waktu tentang keputusan orang yang menghilang menjadi ditetapkan meninggal kepada hakim.  

Sementara para ulama Hanbali seperti Ibnu Qudamah mengatakan orang yang menghilang ada dua macam. Pertama, ada yang menghilang dalam peperangan atau menghilang dalam kecelakaan maka dalam kasus seperti itu ditunggu 40 tahun setelah tanggal kehilangannya. 

Setelah 40 tahun tidak diketahui kabarnya maka sudah dianggap meninggal. Sebelum mencapai 40 tahun dari tanggal hilangnya, pewaris boleh membagikan harta waris kepada ahli waris yang menghilang tersebut namun harta itu tidak boleh di apa-apakan. 

Bila sebelum 40 tahun ditemukan maka harta waris langsung diberikan. Apabila ahli waris yang meninggal itu berhasil ditemukan setelah pewaris wafat, lalu tak berselang lama ahli waris tersebut juga wafat, maka harta waris diberikan kepada ahli waris dari orang yang tadinya menghilang tersebut. 

Sedang bila sudah lewat 40 tahun dan tidak diketahui keberadaannya maka harta warisan bagianya diberikan kepada ahli waris yang utama. 

Kedua, orang yang menghilang seperti karena melakukan perjalanan jauh, maka harta warisnya jangan dibagikan terlebih dulu sampai diyakini benar-benar meninggal atau telah lewat waktu yang kemungkinan besar orang tidak lagi hidup atau diserahkan keputusannya pada hakim atau ditunggu sampai 90 tahun dari tanggal kehilangannya. 

“Kalau kita yang mayoritas menganut Mazhab Syafii berarti kalau kita pakai pendapat ulama Mazhab Syafii, dikatakan bahwa tidak ada batas waktu orang meninggal. Itu semua nanti diserahkan kepada keputusan hakim, dalam hal ini di Indonesia Pengadilan Agama. Kalau hakin menetapkan meninggal berarti kita melakukan sesuatu dengan status dia meninggal. Harta yang ditinggalkannya sudah sah menjadi harta warisan dan harus dibagikan kepada ahli warisnya,” ujar dia.

KHAZANAH REPUBLIKA