Menyingkirkan Gangguan dari Jalan Merupakan Bagian Iman
Iman itu memiliki pokok dan cabang-cabang. Ia bisa bertambah hingga mencapai taraf kesempurnaan. Dan ia juga bisa berkurang hingga menghilang dari diri seseorang. Semakin besar ketaatan yang dilakukan dan kemaksiatan yang ditinggalkan maka iman akan bertambah berbanding lurus dengan kualitas dan kuantitas amalan. Semakin besar kemaksiatan yang dilakukan dan kewajiban yang ditinggalkan maka iman akan berkurang berbanding lurus dengan kualitas dan kuantitas kemaksiatan. Syari’at Islam yang indah ini telah menjadikan tauhid sebagai pokok keimanan, ucapan yang sopan dan menjauhkan dari segala sebab yang dapat mencelakakan sebagai cabang-cabang dan penyempurna baginya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ
“Iman itu terdiri dari tujuh puluh atau enam puluh cabang lebih. Yang paling utama adalah ucapan la ilaha illallah dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Demikian pula rasa malu adalah salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, ini adalah lafaz Muslim)
Kalau menyingkirkan gangguan semisal duri dari jalan merupakan bagian dari iman, sebuah amal salih yang diperintahkan, maka bagaimanakah lagi dengan menyelamatkan nyawa-nyawa manusia yang terancam oleh ledakan bom yang bukan pada tempatnya?!
Sebagaimana halnya rasa malu menjadi bagian dari iman. Rasa malu itulah yang akan mencegah manusia dari melakukan hal-hal yang menjatuhkan kehormatan mereka. Berbeda keadaannya dengan orang yang telah menipis atau lenyap rasa malunya, maka maksiat terang-terangan seperti pamer aurat (baca: tidak mengenakan jilbab dengan benar) dan meninggalkan sholat pun seolah-olah perkara yang ringan dan biasa.
Kita tidak hanya bersedih dengan teror yang dilakukan oleh sebagian pemuda ingusan dengan bom bunuh diri dan aksi-aksi perusakan ala berandalan. Namun, kita juga bersedih dengan aksi ‘teror’ bertubi-tubi yang dilakukan oleh para wanita tak tahu malu yang berjalan kesana kemari, mengobral harumnya minyak wangi di tengah kaum lelaki dan memajang aurat-aurat mereka di layar-layar televisi. Kalau teror yang pertama merusak agama pelakunya dan merenggut nyawa orang lain, maka teror yang kedua ini merusak akhlak para pemuda dan menyeret dirinya sendiri ke jurang kenistaan. Aduhai, betapa banyak pemuda dan pemudi yang terjerumus ke dalam dua jurang tersebut. Wahai Rabb kami, sesungguhnya keduanya telah menyesatkan banyak orang, maka jauhkanlah kami dan anak keturunan kami darinya…
Tipu Daya Syaithan
Saudaraku, ada satu hal yang perlu kita ingat baik-baik. Sesungguhnya syaitan yang bersumpah untuk menyesatkan dan menyimpangkan manusia dari jalan yang lurus tidak hanya memiliki satu jurus untuk melemahkan lawannya. Seribu satu trik dan cara akan dia tempuh untuk mengajak umat manusia agar bersama-sama dengannya menjadi penghuni tetap neraka Jahannam. Allah ta’ala berfirman,
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ
“Sesungguhnya syaithan itu adalah musuh bagi kalian maka jadikanlah dia sebagai musuh. Sesungguhnya dia hanya akan mengajak kelompok/pengikutnya agar mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Qs. Fathir: 6)
Salah satu bentuk tipu daya syaithan kepada bani Adam adalah dengan menghias-hiasi kebatilan dan kemaksiatan agar tampak seolah-olah sebagai kebenaran dan kebaikan. Tidakkah kita ingat sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ
“Surga itu diliputi oleh hal-hal yang tidak menyenangkan, sedangkan neraka itu diliputi oleh hal-hal yang menyenangkan nafsu.” (HR. Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu)
Bahkan, Allah ta’ala juga telah memberitakan dalam firman-Nya,
أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآَهُ حَسَنًا فَإِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
“Maka apakah sama orang yang dijadikan terasa indah perbuatan buruknya, lalu menganggap baik perbuatannya itu? Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa saja yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa saja yang Dia kehendaki.” (Qs. Fathir: 8)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Syaithan menghias-hiasi perkara buruk dan memperindahnya di mata manusia ‘lalu menganggap baik perbuatan itu’ dibandingkan dengan orang yang diberi petunjuk oleh Allah menuju jalan dan agama yang lurus, apakah sama antara ini dengan itu? Orang yang pertama, melakukan kejelekan namun melihat kebenaran sebagai kebatilan dan melihat kebatilan sebagai kebenaran. Orang yang kedua, melakukan kebaikan dan melihat kebenaran sebagai kebenaran, dan batil tetap sebagai kebatilan…” (Taisir al-Karim ar-Rahman [2/944] cet 1418 penerbit Jum’iyah Ihya’ at-Turots al-Islami)
Seperti contohnya, kejadian yang menimpa sebagian pemuda yang terbius oleh paras yang elok dan menawan. Ada di antara mereka yang mengangankan bahwa kecintaan dan kasih sayangnya kepada seorang amrad (pemuda yang belum tumbuh rambut wajahnya atau yang wajahnya mirip perempuan) atau kepada seorang perempuan bukan mahram (baca: pacarnya) semata-mata dia lakukan ikhlas karena Allah ta’ala, bukan untuk melakukan kekejian, dan dia hanya ingin berteman atau menjalin persaudaraan dengannya. Sesungguhnya hal itu termasuk bentuk tipu daya syaithan. Mereka meyakini bahwa apa yang mereka perbuat dengan menyukai rupa-rupa tersebut, mencium, atau bersenang-senang dengan memandanginya adalah ikhlas karena Allah. Mereka menganggapnya sebagai pendekatan diri kepada Allah, ketaatan kepada-Nya dan bentuk akhlak mulia. Padahal, sesungguhnya keyakinan mereka itu merupakan kesesatan dan penyimpangan yang paling besar dan pemutarbalikan ajaran agama. Mereka menganggap sesuatu yang dibenci Allah sebagai sesuatu yang disukai-Nya. Perbuatan mereka itu tergolong syirik dan termasuk dalam kategori mengangkat thaghut sebagai sesembahan selain Allah. Bahkan, yang lebih parah lagi -akibat kebodohan mereka yang sangat- mereka menyangka bahwa saling tolong menolong dalam melakukan perbuatan keji itu merupakan bentuk kerjasama dalam kebaikan. Mereka berdalih ingin mendapatkan pahala dengan membantu meringankan kesulitan sesama saudaranya, padahal di balik itu semua tersimpan keinginan-keinginan yang terlarang dan dicela oleh agama! (diambil dengan peringkasan dan sedikit tambahan dari penjelasan Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya yang menakjubkan Ighatsat al-Lahfan, cet. Dar Thaibah hal. 642)
Apabila golongan pemuda di atas tertipu oleh bujukan syaitan yang bernama syahwat, maka golongan pemuda yang lain -yang menjadi supporter dan partisipan bom bunuh diri- tergoda oleh bujukan syaitan yang bernama syubhat. Mereka mengira bahwa jerih payah mereka dengan membakar semangat para pemuda melalui podium-podium untuk memerangi orang kafir secara membabi buta, dengan merakit bom, merekrut sukarelawan dan menyusun rencana-rencana rahasia, membuat gerakan bawah tanah, menyelundupkan bom ke dalam hotel atau lokasi-lokasi wisata, diuber-uber polisi dan intelejen, dan pada akhirnya meledakkan bom dengan mengatasnamakan agama merupakan sebuah taqarrub ilallah (pendekatan diri kepada Allah). Sampai-sampai pekik takbir yang biasa terdengar dari lisan penyembelih kurban pun mereka kumandangkan dengan penuh semangat sebagai ungkapan suka cita atas kematian saudaranya dan melayangnya nyawa-nyawa yang tidak tahu-menahu apa-apa. Wallahul musta’aan wa ilaihil musytaka! (Kepada Allah lah kita memohon pertolongan dan mengadukan permasalahan)
Padahal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang membunuh seorang mu’ahad (orang kafir yang dilindungi oleh ikatan perjanjian dari pemerintah muslim, pent) maka dia tidak akan mencium baunya surga. Padahal baunya bisa tercium dari jarak perjalanan empat puluh tahun.” (HR. Bukhari dari Abdullah bin Amr bin al-‘Ash radhiyallahu’anhuma)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda mengenai hukuman aksi bunuh diri,
وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَىْءٍ عُذِّبَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa yang membunuh dirinya sendiri dengan sesuatu maka kelak dia akan disiksa dengannya pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Tsabit bin adh-Dahhak radhiyallahu’anhu, ini lafaz Muslim)
Alangkah tepat gambaran yang diberikan Allah ta’ala tentang orang-orang seperti mereka,
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
“Katakanlah: Maukah kami kabarkan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi amalnya. Yaitu orang-orang yang sia-sia usaha mereka di dalam kehidupan dunia sementara mereka menyangka bahwa mereka sedang melakukan kebaikan yang semestinya.” (Qs. al-Kahfi: 103-104)
Seperti itu pulalah yang terjadi pada pelopor kebid’ahan di masa silam semisal Khawarij dan orang-orang yang mengikuti jejak langkah mereka di sepanjang masa. Mereka mengira sedang menegakkan keadilan dan memberantas kezaliman. Padahal, sebenarnya mereka itulah orang-orang yang menebarkan kerusakan dan kezaliman di alam semesta. Mereka mengaku membela agama, padahal tindakan mereka justru merobohkan dan mencemarinya. Mirip sekali karakter orang-orang seperti ini dengan sifat kaum munafikin yang diceritakan oleh Allah ta’ala dalam firman-Nya,
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لَا يَشْعُرُونَ
“Apabila dikatakan kepada mereka: ‘Janganlah kalian melakukan perusakan di atas muka bumi.’ Maka mereka menjawab: ‘Sesungguhnya kami ini hanyalah orang-orang yang melakukan perbaikan.’ Ketahuilah, sesungguhnya mereka itulah para perusak, akan tetapi mereka tidak menyadari.” (Qs. al-Baqarah: 11-12)
Reaksi yang Salah
Dengan mencermati beberapa keterangan di atas, maka kita bisa menarik kesimpulan bahwa salah satu sebab utama munculnya aksi-aksi bom bunuh diri dan perusakan tempat-tempat umum dengan mengatasnamakan jihad adalah racun pemikiran Khawarij yang bercokol di dada sebagian pemuda yang ‘cetek’ pemahaman agamanya. Mereka sama sekali tidak berjalan di bawah bimbingan para ulama Rabbani. Semangat mereka membara, namun ilmu yang mereka miliki tidak cukup untuk menopang cita-citanya. Niat mereka mungkin baik, namun cara yang mereka tempuh jelas-jelas menyelisihi al-Kitab dan as-Sunnah serta pemahaman salafus shalih.
Akibatnya, musuh-musuh dari luar Islam pun dengan mudah menyamaratakan bahwa Islam mengajarkan kekerasan dan agama yang tidak mengenal perikemanusiaan. Mereka ingin menanamkan kesan kepada publik bahwa siapa saja yang ingin menegakkan kembali syari’at Islam dan tauhid maka mereka pasti identik dengan terorisme dan gemar membuat kekacauan. Oleh sebab itu mereka pun melekatkan gelaran Islam Fundametalis kepada kelompok mana saja yang bercita-cita untuk mengembalikan kejayaan Islam sebagaimana yang diraih oleh para pendahulu mereka, tidak terkecuali kepada Ahlus Sunnah as-Salafiyun. Sayangnya, sebagian kaum muslimin yang tidak mengerti juga ikut-ikutan latah menuduh saudaranya yang mengikuti Sunnah Nabi dan berupaya untuk menebarkan dakwah tauhid sebagai aliran sesat dan menyimpang gara-gara penampilan mereka yang mirip dengan tokoh-tokoh teroris yang dimunculkan fotonya di media-media massa. Semata-mata karena beberapa helai jenggot dan secarik cadar maka julukan teroris pun dengan enteng dilekatkan kepada mereka. Padahal memelihara jenggot dan memakai cadar termasuk tuntunan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan di sini bukanlah tempat yang tepat untuk membicarakannya secara panjang lebar.
Kembalikan Semuanya Kepada al-Kitab dan as-Sunnah!
Saudaraku sekalian, ternyata isu terorisme ini tidak sesederhana yang dibayangkan. Di sana bermain kepentingan musuh-musuh Islam dari berbagai kalangan, dari dalam maupun dari luar. Dari yang terang-terangan memusuhi maupun yang berpenampilan shalih dan shalihah. Maka waspadalah dari penyimpangan pemikiran dan penyikapan yang salah terhadap kenyataan ini. Marilah kita tundukkan akal dan perasaan kita kepada bimbingan Rabb alam semesta yang telah digariskan di dalam Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab Allah ta’ala telah memerintahkan,
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Kemudian, apabila kalian berselisih tentang perkara apa saja, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (as-Sunnah) jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir, Hal itu lebih baik dan lebih bagus hasilnya.” (Qs. an-Nisaa’: 59)
Beribadah kepada Allah tidak cukup dengan modal semangat tanpa ilmu. Bukankah kita masih ingat sebuah kaidah yang ditorehkan oleh Amirul Mukminin fil Hadits Imam Bukhari rahimahullah di dalam Kitab Shahihnya di dalam Kitab al-‘Ilm, beliau membuat bab dengan judul yang indah, “Ilmu sebelum berkata dan berbuat”. Dakwah Islam yang diserukan oleh Nabi dan para pengikut setianya bukanlah dakwah yang dibangun di atas kejahilan/kebodohan, namun ia adalah dakwah yang ditegakkan di atas bashirah/ilmu. Allah ta’ala berfirman,
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي
“Katakanlah (hai Muhammad): Inilah jalanku, aku mengajak kepada Allah di atas bashirah, demikianlah jalanku dan jalan orang-orang yang mengikutiku.” (Qs. Yusuf: 108)
Semoga Allah ta’ala berkenan mengampuni dosa-dosa kita, dan menyadarkan para pemuda dari ketergelinciran mereka akibat jeratan syubhat maupun rayuan syahwat. Kepada Allah sematalah kita meminta pertolongan dan perlindungan. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan permintaan. Saya pun memohon kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha mulia, semoga Allah membimbing para pemimpin negeri ini untuk menegakkan dakwah tauhid dan memberantas kemusyrikan, mengibarkan panji-panji Sunnah dan meluluh lantakkan sarang-sarang kebid’ahan, menyuburkan negeri ini dengan ketaatan serta membersihkannya dari berbagai kotoran kemaksiatan. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Selesai disusun di Yogyakarta,
Kamis, 8 Sya’ban 1430 H
Abu Mushlih Ari Wahyudi
Semoga Allah mengampuninya dan kaum muslimin
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id