#TanyaBincangSyariah: Bagaimana Cara Membedakan Radikalisme, Ekstremisme, dan Terorisme?

Pertanyaan

Assalamu Alaikum Wr. Wb.

Ada banyak istilah yang digunakan untuk menyebut kelompok Islam radikal. Ada istilah radikalisme, ekstremisme, dan terorisme. Apa perbedaan ketiganya dan apakah ketiganya saling berhubungan satu sama lain? Bagaimana cara membedakan radikalisme, ekstremisme, dan terorisme? Terima kasih.

Jawaban

Waalaikumussalam Wr. Wb.

Dalam diskursus keislaman, kekeliruan sering terjadi saat mengartikan istilah radikalisme, ekstremisme, dan terorisme, terutama saat ketiga istilah tersebut bersanding atau muncul dalam waktu yang bersamaan. Meski serupa dan berkait-kelindan satu sama lain, ketiga istilah tersebut sebenarnya memiliki arti yang berbeda.

Orang sering salah mengartikan, radikalisme dianggap sebagai ekstremisme dan sudah pasti terorisme. Padahal, orang yang radikal belum tentu ekstrem dan menjadi teroris. Radikalisme pun belum tentu berbentuk perbuatan. Ada juga orang dengan paham radikalisme yang hanya bertaut dalam pikiran.

Hal sama juga berlaku bagi mereka yang dianggap ekstrem. Meskipun sudah pasti radikal, orang yang terpaut dalam pikiran maupun tindakan ekstremisme belum tentu terlibat dalam aksi atau tindakan terorisme.

Tentang Radikalisme

Jika dipahami melalui pengertian dalam kamus, term “radikalisme” dalam The Concise Oxford Dictionary (1987) disebutkan berasal dari bahasa Latin yakni Radix dan Radicis. arti kata tersebut adalah akar, sumber, atau asal mula. Kamus Oxford menyatakan bahwa term radikalisme berasal dari akar kata radikal.

Sementara itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, term “Radikalisme” memiliki definisi sebagai berikut: paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan.

Bertolak dari kamus, meminjam pengertian dari Prof. Dr. Irfan Idris dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), radikalisme diartikan sebagai proses tersendiri atas seseorang yang mengalami perubahan dari seseorang yang radikalis, ekstrimis, hingga menjadi teroris. Radikalisme mengalami perubahan secara total dan bersifat drastis.

BNPT juga menyatakan bahwa radikalisme adalah aksi menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada. Ciri-ciri radikalisme adalah intoleran atau tidak memiliki toleransi pada golongan yang memiliki pemahaman berbeda di luar golongan. Orang yang radikal cenderung fanatik, eksklusif dan tidak segan menggunakan cara-cara anarkis.

Kembali pada akar kata radikalisme yakni radikal. Masalah muncul saat terjadi penambahan sufiks “–isme” dalam term “radikalisme”. Penambahan sufiks tersebut memberikan makna tentang pandangan hidup atau paradigma yang bisa juga dikatakan sebagai sebuah paham dan keyakinan atau ajaran. Penggunaan kata radikal atau radikalisme juga sering disambungkan dengan aliran atau kepercayaan tertentu.

Menanggapi hal tersebut, Dr. dr. KH. Tarmidzi Taher dari Dewan Masjid Indonesia, memberikan komentar tentang makna radikalisme. Ia menyatakan bahwa sebenarnya ada radikalisme yang bemakna positif. Radikalisme postitif yang dimaksud adalah radikalisme yang memiliki makna tajdid yakni pembaharuan dan islah yakni perbaikan.

Radikalisme yang dimaksud Taher bisa diartikan sebagai spirit perubahan menuju kebaikan. Jika radikalisme diartikan dalam bingkai makna tersebut, maka dalam melaksanakan kehidupan berbangsa dan bernegara, para pemikir radikal dalam makna ini adalah seorang pendukung perubahan dan reformasi jangka panjang.

Perkembangannya pemahaman terhadap term radikalisme kemudian mengalami pemelencengan makna. Radikalisme melulu dianggap sebagai radikalisme yang negatif yakni radikalisme yang berhubungan erat dengan intoleransi.

Hal tersebut disebabkan karena minimnya sudut pandang yang digunakan dalam memahami makna term radikalisme. Hal inilah yang sering menimbulkan kekeliruan dalam pemaknaan dan penggunaan term radikal atau radikalisme.

Umumnya, masyarakat hanya menyoroti apa yang kelompok-kelompok radikal lakukan dalam ranah praktik kekerasan. Masyarakat cenderung tidak mau atau bahkan tidak pernah berusaha mencari apa yang sebenarnya kaum radikalisme cari yakni tentang perbaikan.

Tentang Ekstremisme

Ekstremisme adalah istilah yang sangat sering digunakan untuk menggambarkan sebuah doktrin atau sikap. Sikap yang dimaksud bisa berupa sikap politik atau agama. Ekstremisme juga dikaitkan dengan sikap menyerukan aksi dengan segala cara untuk mencapai tujuannya.

Saat ini, ekstremisme diartikan sebagai sikap berlebih-lebihan dalam beragama, tepatnya menerapkan agama secara kaku dan keras sampai melewati batas kewajaran. Hal tersebut membuat ekstremisme kerap menjadi sorotan. Padahal, ekstremisme bukanlah monopoli satu agama semata.

Dalam sejarah Islam, memang ada banyak sekali nama dari gerakan-gerakan ekstrem yang sering timbul-tenggelam. Prof. Hugh Goddard, Ph.D, seorang pakar sejarah Islam dari Nottigham University, Inggris, menyatakan bahwa sebenarnya tidak hanya agama Islam dan Kristen yang pengikutnya memiliki sikap liberal dan ekstrem. Pengikut agama lain juga memiliki sikap yang sama.

Di negara Irlandia misalnya. Ada konflik yang terjadi antara umat Katolik dan Kristen. Negara India memiliki ekstrimis Hindu. Sementara itu di Indonesia, belakangan ini memang sering muncul ekstremis dari golongan Muslim, terutama di media sosial.

Merujuk kamus Merriam-Webster Dictionary, ekstremisme secara harfiah berarti “kualitas atau keadaan yang menjadi ekstrem” atau “advokasi ukuran atau pandangan ekstrim”. Istilah eskstremisme sangatlah beragam dan banyak dipakai dalam pembahasan politik atau agama.

Penggunaan istilah ekstremisme merujuk kepada ideologi yang dianggap berada jauh dari pemikiran dan perilaku atau sikap masyarakat umum. Padahal, sama seperti istilah radikalisme, term ekstremisme juga kerap dipakai dalam hal di luar agama dan politik seperti misalnya diskursus dalam ekonomi.

Radikalisme dan ekstremisme saling berkaitan satu sama lain. BNPT menyatakan bahwa ada proses perubahan seseorang dari yang tadinya radikalis menuju ekstrimis. Hal tersebut bisa membuat seseorang melakukan aksi teror yang tidak terlepas dari proses radikalisasi.

Itulah mengapa orang yang sudah teradikalisasi tidak segan menggunakan cara-cara kekerasan yang ekstrem untuk mewujudkan perjuangannya, termasuk aksi teror. Meski begitu, ada juga ekstremisme yang hanya ada dalam pikiran dan tidak dipraktikkan dalam tindakan. Proses radikalisme menuju ekstremisme harus melalui tahapan radikalisasi terlebih dahulu.

Tentang Terorisme

Menurut UU Nomor 15 Tahun 2003, terorisme adalah penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan situasi teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas dan menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas harta benda orang lain yang mengakibatkan kerusakan atau kehancuran obyek-obyek vital strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik dan fasilitas internasional.

Seseorang atau kelompok yang radikal bisa mengalami perubahan pemikiran dan perilaku menggunakan cara-cara ekstrem, termasuk kekerasan ekstrem dalam aksi teror yang dipengaruhi oleh banyak hal. Ada pengaruh atau faktor yang bersifat internasional, ada juga yang berasal dari dalam diri.

Faktor yang bersifat internasional bisa berupa ketidakadilan global, politik luar negeri yang arogan, dan penjajahan. Faktor dalam diri bisa berupa orang yang dikucilkan dalam masyarakat.

Terorisme adalah hal yang kompleks sebab bisa berasal dari berbagai macam faktor. BNPT mencatat bahwa selain dua faktor di atas, ada juga faktor domestik seperti persepsi ketidakadilan, kesejahteraan, pendidikan, kecewa pada pemerintah, dan pembalasan dendam.

Ada pula faktor kultural di mana terjadi pemahaman agama yang dangkal dalam diri seseorang, ditambah dengan penafsiran agama yang sempit dan tekstual. Faktor ini bisa lebih parah jika terjadi indoktrinasi ajaran agama yang salah.

Secara etimologi, istilah atau term terorisme sendiri berasal dari kata “to Terror” dalam bahasa inggris. Dalam bahasa latin, terror disebut sebagai Terrere yang memiliki makna “gemetar” atau menggetarkan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, terror diartikan sebagai suatu usaha untuk menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan tertentu.

Dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 1, menyebutkan bahwa Tindak Pidana Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

Mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan ke dalam Tindak Pidana Terorisme, diatur dalam ketentuan pada Bab III (Tindak Pidana Terorisme), Pasal 6, 7, bahwa setiap orang dipidana karena melakukan Tindak Pidana Terorisme, jika:

  1. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 6).
  2. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup ataufasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 7).
  3. Dan seseorang juga dianggap melakukan Tindak Pidana Terorisme, berdasarkan ketentuan pasal 8, 9, 10, 11 dan 12 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dari banyak definisi yang dikemukakanoleh banyak pihak, yang menjadi ciri dari suatu Tindak Pidana Terorisme adalah:
  • Adanya rencana untuk melaksanakan tindakan tersebut.
  • Dilakukan oleh suatu kelompok tertentu.
  • Menggunakan kekerasan.
  • Mengambil korban dari masyarakat sipil, dengan maksud mengintimidasi
  • Dilakukan untuk mencapai pemenuhan atas tujuan tertentu dari pelaku, yangdapat berupa motif sosial, politik ataupun agama.

Bijak dalam Menggunakan Istilah

Setelah memahami dengan baik perbedaan antara radikalisme, ekstremisme, dan terorisme, alangkah lebih baik apabila kita mengontrol diri dengan tidak menggunakan ketiga istilah tersebut secara sembarangan.

Saat akan memilih menggunakan sebuah istilah, kita mesti menimbang dengan matang kecocokan istilah yang digunakan dengan keperluan yang dituju dan bagaimana istilah tersebut dipakai dalam konteks tertentu, terlebih istilah radikalisme, ekstremisme, dan terorisme yang kerap memicu polemik.[]

BINCANG SYARIAH

Akar Terorisme di Tubuh Umat (bag. 2)

Menyingkirkan Gangguan dari Jalan Merupakan Bagian Iman

Iman itu memiliki pokok dan cabang-cabang. Ia bisa bertambah hingga mencapai taraf kesempurnaan. Dan ia juga bisa berkurang hingga menghilang dari diri seseorang. Semakin besar ketaatan yang dilakukan dan kemaksiatan yang ditinggalkan maka iman akan bertambah berbanding lurus dengan kualitas dan kuantitas amalan. Semakin besar kemaksiatan yang dilakukan dan kewajiban yang ditinggalkan maka iman akan berkurang berbanding lurus dengan kualitas dan kuantitas kemaksiatan. Syari’at Islam yang indah ini telah menjadikan tauhid sebagai pokok keimanan, ucapan yang sopan dan menjauhkan dari segala sebab yang dapat mencelakakan sebagai cabang-cabang dan penyempurna baginya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ

“Iman itu terdiri dari tujuh puluh atau enam puluh cabang lebih. Yang paling utama adalah ucapan la ilaha illallah dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Demikian pula rasa malu adalah salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, ini adalah lafaz Muslim)

Kalau menyingkirkan gangguan semisal duri dari jalan merupakan bagian dari iman, sebuah amal salih yang diperintahkan, maka bagaimanakah lagi dengan menyelamatkan nyawa-nyawa manusia yang terancam oleh ledakan bom yang bukan pada tempatnya?!

Sebagaimana halnya rasa malu menjadi bagian dari iman. Rasa malu itulah yang akan mencegah manusia dari melakukan hal-hal yang menjatuhkan kehormatan mereka. Berbeda keadaannya dengan orang yang telah menipis atau lenyap rasa malunya, maka maksiat terang-terangan seperti pamer aurat (baca: tidak mengenakan jilbab dengan benar) dan meninggalkan sholat pun seolah-olah perkara yang ringan dan biasa.

Kita tidak hanya bersedih dengan teror yang dilakukan oleh sebagian pemuda ingusan dengan bom bunuh diri dan aksi-aksi perusakan ala berandalan. Namun, kita juga bersedih dengan aksi ‘teror’ bertubi-tubi yang dilakukan oleh para wanita tak tahu malu yang berjalan kesana kemari, mengobral harumnya minyak wangi di tengah kaum lelaki dan memajang aurat-aurat mereka di layar-layar televisi. Kalau teror yang pertama merusak agama pelakunya dan merenggut nyawa orang lain, maka teror yang kedua ini merusak akhlak para pemuda dan menyeret dirinya sendiri ke jurang kenistaan. Aduhai, betapa banyak pemuda dan pemudi yang terjerumus ke dalam dua jurang tersebut. Wahai Rabb kami, sesungguhnya keduanya telah menyesatkan banyak orang, maka jauhkanlah kami dan anak keturunan kami darinya…

Tipu Daya Syaithan

Saudaraku, ada satu hal yang perlu kita ingat baik-baik. Sesungguhnya syaitan yang bersumpah untuk menyesatkan dan menyimpangkan manusia dari jalan yang lurus tidak hanya memiliki satu jurus untuk melemahkan lawannya. Seribu satu trik dan cara akan dia tempuh untuk mengajak umat manusia agar bersama-sama dengannya menjadi penghuni tetap neraka Jahannam. Allah ta’ala berfirman,

إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ

“Sesungguhnya syaithan itu adalah musuh bagi kalian maka jadikanlah dia sebagai musuh. Sesungguhnya dia hanya akan mengajak kelompok/pengikutnya agar mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Qs. Fathir: 6)

Salah satu bentuk tipu daya syaithan kepada bani Adam adalah dengan menghias-hiasi kebatilan dan kemaksiatan agar tampak seolah-olah sebagai kebenaran dan kebaikan. Tidakkah kita ingat sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ

“Surga itu diliputi oleh hal-hal yang tidak menyenangkan, sedangkan neraka itu diliputi oleh hal-hal yang menyenangkan nafsu.” (HR. Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu)

Bahkan, Allah ta’ala juga telah memberitakan dalam firman-Nya,

أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآَهُ حَسَنًا فَإِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ

“Maka apakah sama orang yang dijadikan terasa indah perbuatan buruknya, lalu menganggap baik perbuatannya itu? Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa saja yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa saja yang Dia kehendaki.” (Qs. Fathir: 8)

Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Syaithan menghias-hiasi perkara buruk dan memperindahnya di mata manusia ‘lalu menganggap baik perbuatan itu’ dibandingkan dengan orang yang diberi petunjuk oleh Allah menuju jalan dan agama yang lurus, apakah sama antara ini dengan itu? Orang yang pertama, melakukan kejelekan namun melihat kebenaran sebagai kebatilan dan melihat kebatilan sebagai kebenaran. Orang yang kedua, melakukan kebaikan dan melihat kebenaran sebagai kebenaran, dan batil tetap sebagai kebatilan…” (Taisir al-Karim ar-Rahman [2/944] cet 1418 penerbit Jum’iyah Ihya’ at-Turots al-Islami)

Seperti contohnya, kejadian yang menimpa sebagian pemuda yang terbius oleh paras yang elok dan menawan. Ada di antara mereka yang mengangankan bahwa kecintaan dan kasih sayangnya kepada seorang amrad (pemuda yang belum tumbuh rambut wajahnya atau yang wajahnya mirip perempuan) atau kepada seorang perempuan bukan mahram (baca: pacarnya) semata-mata dia lakukan ikhlas karena Allah ta’ala, bukan untuk melakukan kekejian, dan dia hanya ingin berteman atau menjalin persaudaraan dengannya. Sesungguhnya hal itu termasuk bentuk tipu daya syaithan. Mereka meyakini bahwa apa yang mereka perbuat dengan menyukai rupa-rupa tersebut, mencium, atau bersenang-senang dengan memandanginya adalah ikhlas karena Allah. Mereka menganggapnya sebagai pendekatan diri kepada Allah, ketaatan kepada-Nya dan bentuk akhlak mulia. Padahal, sesungguhnya keyakinan mereka itu merupakan kesesatan dan penyimpangan yang paling besar dan pemutarbalikan ajaran agama. Mereka menganggap sesuatu yang dibenci Allah sebagai sesuatu yang disukai-Nya. Perbuatan mereka itu tergolong syirik dan termasuk dalam kategori mengangkat thaghut sebagai sesembahan selain Allah. Bahkan, yang lebih parah lagi -akibat kebodohan mereka yang sangat- mereka menyangka bahwa saling tolong menolong dalam melakukan perbuatan keji itu merupakan bentuk kerjasama dalam kebaikan. Mereka berdalih ingin mendapatkan pahala dengan membantu meringankan kesulitan sesama saudaranya, padahal di balik itu semua tersimpan keinginan-keinginan yang terlarang dan dicela oleh agama! (diambil dengan peringkasan dan sedikit tambahan dari penjelasan Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya yang menakjubkan Ighatsat al-Lahfan, cet. Dar Thaibah hal. 642)

Apabila golongan pemuda di atas tertipu oleh bujukan syaitan yang bernama syahwat, maka golongan pemuda yang lain -yang menjadi supporter dan partisipan bom bunuh diri- tergoda oleh bujukan syaitan yang bernama syubhat. Mereka mengira bahwa jerih payah mereka dengan membakar semangat para pemuda melalui podium-podium untuk memerangi orang kafir secara membabi buta, dengan merakit bom, merekrut sukarelawan dan menyusun rencana-rencana rahasia, membuat gerakan bawah tanah, menyelundupkan bom ke dalam hotel atau lokasi-lokasi wisata, diuber-uber polisi dan intelejen, dan pada akhirnya meledakkan bom dengan mengatasnamakan agama merupakan sebuah taqarrub ilallah (pendekatan diri kepada Allah). Sampai-sampai pekik takbir yang biasa terdengar dari lisan penyembelih kurban pun mereka kumandangkan dengan penuh semangat sebagai ungkapan suka cita atas kematian saudaranya dan melayangnya nyawa-nyawa yang tidak tahu-menahu apa-apa. Wallahul musta’aan wa ilaihil musytaka! (Kepada Allah lah kita memohon pertolongan dan mengadukan permasalahan)

Padahal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang membunuh seorang mu’ahad (orang kafir yang dilindungi oleh ikatan perjanjian dari pemerintah muslim, pent) maka dia tidak akan mencium baunya surga. Padahal baunya bisa tercium dari jarak perjalanan empat puluh tahun.” (HR. Bukhari dari Abdullah bin Amr bin al-‘Ash radhiyallahu’anhuma)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda mengenai hukuman aksi bunuh diri,

وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَىْءٍ عُذِّبَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barang siapa yang membunuh dirinya sendiri dengan sesuatu maka kelak dia akan disiksa dengannya pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Tsabit bin adh-Dahhak radhiyallahu’anhu, ini lafaz Muslim)

Alangkah tepat gambaran yang diberikan Allah ta’ala tentang orang-orang seperti mereka,

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

“Katakanlah: Maukah kami kabarkan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi amalnya. Yaitu orang-orang yang sia-sia usaha mereka di dalam kehidupan dunia sementara mereka menyangka bahwa mereka sedang melakukan kebaikan yang semestinya.” (Qs. al-Kahfi: 103-104)

Seperti itu pulalah yang terjadi pada pelopor kebid’ahan di masa silam semisal Khawarij dan orang-orang yang mengikuti jejak langkah mereka di sepanjang masa. Mereka mengira sedang menegakkan keadilan dan memberantas kezaliman. Padahal, sebenarnya mereka itulah orang-orang yang menebarkan kerusakan dan kezaliman di alam semesta. Mereka mengaku membela agama, padahal tindakan mereka justru merobohkan dan mencemarinya. Mirip sekali karakter orang-orang seperti ini dengan sifat kaum munafikin yang diceritakan oleh Allah ta’ala dalam firman-Nya,

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لَا يَشْعُرُونَ

“Apabila dikatakan kepada mereka: ‘Janganlah kalian melakukan perusakan di atas muka bumi.’ Maka mereka menjawab: ‘Sesungguhnya kami ini hanyalah orang-orang yang melakukan perbaikan.’ Ketahuilah, sesungguhnya mereka itulah para perusak, akan tetapi mereka tidak menyadari.” (Qs. al-Baqarah: 11-12)

Reaksi yang Salah

Dengan mencermati beberapa keterangan di atas, maka kita bisa menarik kesimpulan bahwa salah satu sebab utama munculnya aksi-aksi bom bunuh diri dan perusakan tempat-tempat umum dengan mengatasnamakan jihad adalah racun pemikiran Khawarij yang bercokol di dada sebagian pemuda yang ‘cetek’ pemahaman agamanya. Mereka sama sekali tidak berjalan di bawah bimbingan para ulama Rabbani. Semangat mereka membara, namun ilmu yang mereka miliki tidak cukup untuk menopang cita-citanya. Niat mereka mungkin baik, namun cara yang mereka tempuh jelas-jelas menyelisihi al-Kitab dan as-Sunnah serta pemahaman salafus shalih.

Akibatnya, musuh-musuh dari luar Islam pun dengan mudah menyamaratakan bahwa Islam mengajarkan kekerasan dan agama yang tidak mengenal perikemanusiaan. Mereka ingin menanamkan kesan kepada publik bahwa siapa saja yang ingin menegakkan kembali syari’at Islam dan tauhid maka mereka pasti identik dengan terorisme dan gemar membuat kekacauan. Oleh sebab itu mereka pun melekatkan gelaran Islam Fundametalis kepada kelompok mana saja yang bercita-cita untuk mengembalikan kejayaan Islam sebagaimana yang diraih oleh para pendahulu mereka, tidak terkecuali kepada Ahlus Sunnah as-Salafiyun. Sayangnya, sebagian kaum muslimin yang tidak mengerti juga ikut-ikutan latah menuduh saudaranya yang mengikuti Sunnah Nabi dan berupaya untuk menebarkan dakwah tauhid sebagai aliran sesat dan menyimpang gara-gara penampilan mereka yang mirip dengan tokoh-tokoh teroris yang dimunculkan fotonya di media-media massa. Semata-mata karena beberapa helai jenggot dan secarik cadar maka julukan teroris pun dengan enteng dilekatkan kepada mereka. Padahal memelihara jenggot dan memakai cadar termasuk tuntunan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan di sini bukanlah tempat yang tepat untuk membicarakannya secara panjang lebar.

Kembalikan Semuanya Kepada al-Kitab dan as-Sunnah!

Saudaraku sekalian, ternyata isu terorisme ini tidak sesederhana yang dibayangkan. Di sana bermain kepentingan musuh-musuh Islam dari berbagai kalangan, dari dalam maupun dari luar. Dari yang terang-terangan memusuhi maupun yang berpenampilan shalih dan shalihah. Maka waspadalah dari penyimpangan pemikiran dan penyikapan yang salah terhadap kenyataan ini. Marilah kita tundukkan akal dan perasaan kita kepada bimbingan Rabb alam semesta yang telah digariskan di dalam Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab Allah ta’ala telah memerintahkan,

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Kemudian, apabila kalian berselisih tentang perkara apa saja, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (as-Sunnah) jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir, Hal itu lebih baik dan lebih bagus hasilnya.” (Qs. an-Nisaa’: 59)

Beribadah kepada Allah tidak cukup dengan modal semangat tanpa ilmu. Bukankah kita masih ingat sebuah kaidah yang ditorehkan oleh Amirul Mukminin fil Hadits Imam Bukhari rahimahullah di dalam Kitab Shahihnya di dalam Kitab al-‘Ilm, beliau membuat bab dengan judul yang indah, “Ilmu sebelum berkata dan berbuat”. Dakwah Islam yang diserukan oleh Nabi dan para pengikut setianya bukanlah dakwah yang dibangun di atas kejahilan/kebodohan, namun ia adalah dakwah yang ditegakkan di atas bashirah/ilmu. Allah ta’ala berfirman,

قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي

“Katakanlah (hai Muhammad): Inilah jalanku, aku mengajak kepada Allah di atas bashirah, demikianlah jalanku dan jalan orang-orang yang mengikutiku.” (Qs. Yusuf: 108)

Semoga Allah ta’ala berkenan mengampuni dosa-dosa kita, dan menyadarkan para pemuda dari ketergelinciran mereka akibat jeratan syubhat maupun rayuan syahwat. Kepada Allah sematalah kita meminta pertolongan dan perlindungan. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan permintaan. Saya pun memohon kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha mulia, semoga Allah membimbing para pemimpin negeri ini untuk menegakkan dakwah tauhid dan memberantas kemusyrikan, mengibarkan panji-panji Sunnah dan meluluh lantakkan sarang-sarang kebid’ahan, menyuburkan negeri ini dengan ketaatan serta membersihkannya dari berbagai kotoran kemaksiatan. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Selesai disusun di Yogyakarta,
Kamis, 8 Sya’ban 1430 H

Abu Mushlih Ari Wahyudi
Semoga Allah mengampuninya dan kaum muslimin

***

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id

Akar Terorisme di Tubuh Umat (bag. 1)

Terorisme seringkali ditudingkan kepada umat Islam. Sebagian orang yang cemburu kepada agamanya mengira bahwa tudingan itu hanya sekedar propaganda barat untuk menjatuhkan harga diri kaum muslimin di mata dunia internasional. Sehingga mereka senantiasa menuduh barat (baca: Amerika, khususnya Yahudi) sebagai dalang di balik semua peristiwa semacam ini. Sebagian lagi justru sebaliknya, mengira bahwa terorisme -dengan melakukan pengeboman di tempat-tempat umum- merupakan bagian dari jihad fi sabilillah dan tergolong amal salih yang paling utama. Sehingga mereka beranggapan bahwa pelaku bom bunuh diri adalah sosok mujahid dan mati syahid. Itulah sekilas dua cara pandang yang bertolak belakang mengenai berbagai peristiwa pengeboman yang terjadi di negeri-negeri Islam atau di negeri kafir yang banyak menelan korban warga sipil.

Terlepas dari apa yang mereka sangka, sebenarnya kita bisa melihat dengan kaca mata yang adil dan objektif bahwa di samping adanya makar musuh-musuh Islam dari luar, sebenarnya kita juga menghadapi musuh-musuh dalam selimut yang berupaya meruntuhkan kekuatan umat dari dalam. Salah satu di antara mereka adalah sekte Khawarij di masa silam dan para penganut pemikiran sekte tersebut di masa kini yang gemar melakukan aksi teror dengan mengatasnamakan jihad. Mereka menampakkan diri sebagai kaum muslimin yang punya komitmen terhadap agama, berpenampilan seperti layaknya orang-orang salih dan taat, dan bersikap seakan-akan membela ajaran Islam, namun sebenarnya mereka sedang melakukan upaya penghancuran Islam dari dalam, sadar ataupun tidak!

Sejarah Hitam Sekte Khawarij

Tidakkah kita ingat sejarah hitam kaum Khawarij yang diabadikan di dalam kitab-kitab hadits? Sebuah sekte yang diperselisihkan status keislamannya oleh para ulama (yang kuat mereka tidak dikafirkan, lihat al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj [4/390 dan 393]). Mereka adalah sekelompok orang yang memiliki ciri khas pandai membaca al-Qur’an dan menghafalkannya, suka mengusung slogan keadilan dan pembelaan rakyat yang tertindas guna menghalalkan pemberontakan kepada penguasa muslim. Berawal dari kedangkalan berpikir mereka, akhirnya hal itu menyeret mereka ke jurang kebid’ahan yang mengerikan. Mereka bunuhi umat Islam sementara para pegiat kemusyrikan justru mereka biarkan.

Munculnya sosok pengacau yang bengis namun berpenampilan salih seperti itu pernah terjadi di masa hidup Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma. Ketika itu, ada sebagian penduduk Bashrah yang terseret pemahaman Qadariyah -menolak takdir- yang diusung oleh sekelompok orang yang pandai membaca al-Qur’an dan memiliki banyak wawasan keilmuan dengan tokoh mereka Ma’bad al-Juhani, sebagaimana disebutkan di bagian awal kitab al-Iman dalam Shahih Muslim. Yahya bin Ya’mar -sang periwayat hadits ini- mengadukan problematika umat yang terjadi di masyarakatnya kepada Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma,

أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِنَّهُ قَدْ ظَهَرَ قِبَلَنَا نَاسٌ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ وَيَتَقَفَّرُونَ الْعِلْمَ – وَذَكَرَ مِنْ شَأْنِهِمْ – وَأَنَّهُمْ يَزْعُمُونَ أَنْ لاَ قَدَرَ وَأَنَّ الأَمْرَ أُنُفٌ

“Wahai Abu Abdirrahman! Sesungguhnya di tengah-tengah kami muncul sekelompok orang yang suka membaca al-Qur’an dan mengumpulkan berbagai jenis ilmu -lalu dia menceritakan sebagian keadaan mereka lainnya- namun mereka menyangka bahwa takdir itu tidak ada dan segala urusan terjadi dengan sendirinya.” (HR. Muslim, lihat Shahih Muslim. Cet. 1427 penerbit Dar al-Kutub al-Ilmiyah, hal.27)

Nah, berikut ini kami nukilkan sebagian hadits yang mengisahkan tentang kekejian manhaj kaum Khawarij dan sikap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para sahabat dalam menghadapi mereka. Agar jelas bagi siapa saja bahwa sikap ulama Ahlus Sunnah as-Salafiyun dalam memerangi Khawarij dan pemikiran mereka bukanlah karena motif menjilat penguasa atau mencari muka di hadapan mereka, namun hal itu mereka lakukan semata-mata demi ‘melanjutkan kehidupan Islam’ sebagaimana yang mereka inginkan, dan tentu saja dengan cara meneladani metode perjuangan generasi terbaik dari umat ini.

Jabir bin Abdullah radhiyallahu’anhuma menceritakan,

أَتَى رَجُلٌ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِالْجِعْرَانَةِ مُنْصَرَفَهُ مِنْ حُنَيْنٍ وَفِى ثَوْبِ بِلاَلٍ فِضَّةٌ وَرَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْبِضُ مِنْهَا يُعْطِى النَّاسَ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ اعْدِلْ. قَالَ « وَيْلَكَ وَمَنْ يَعْدِلُ إِذَا لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ لَقَدْ خِبْتَ وَخَسِرْتَ إِنْ لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ ». فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رضى الله عنه دَعْنِى يَا رَسُولَ اللَّهِ فَأَقْتُلَ هَذَا الْمُنَافِقَ. فَقَالَ « مَعَاذَ اللَّهِ أَنْ يَتَحَدَّثَ النَّاسُ أَنِّى أَقْتُلُ أَصْحَابِى إِنَّ هَذَا وَأَصْحَابَهُ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْهُ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ »

“Ada seorang lelaki yang datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Ji’ranah -nama tempat- sepulangnya beliau dari -peperangan- Hunain, ketika itu di atas kain Bilal terdapat perak yang diambil sedikit demi sedikit oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dibagikan kepada orang-orang. Kemudian lelaki itu mengatakan, ‘Hai Muhammad, berbuat adillah!’. Maka Nabi menjawab, ‘Celaka kamu! Lalu siapa lagi yang mampu berbuat adil jika aku tidak berbuat adil. Sungguh kamu pasti telah celaka dan merugi jika aku tidak berbuat adil.’ Maka Umar bin al-Khatthab radhiyallahu’anhu berkata, ‘Biarkanlah saya wahai Rasulullah untuk menghabisi orang munafiq ini.’ Maka beliau bersabda, ‘Aku berlindung kepada Allah, jangan sampai orang-orang nanti mengatakan bahwa aku telah membunuh para sahabatku sendiri. Sesungguhnya orang ini dan para pengikutnya adalah suka membaca al-Qur’an akan tetapi bacaan mereka tidak melampaui pangkal tenggorokan mereka. Mereka keluar darinya sebagaimana keluarnya anak panah yang menembus sasaran bidiknya.’” (HR. Muslim)

an-Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa ungkapan ‘mereka suka membaca al-Qur’an akan tetapi bacaan mereka tidak melampaui pangkal tenggrorokan mereka’ memiliki dua penafsiran. Pertama, dimaknakan bahwa hati mereka tidak memahami isinya dan tidak bisa memetik manfaat darinya selain membaca saja. Kedua, dimaknakan amal dan bacaan mereka tidak bisa diterima oleh Allah (lihat al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj [4/389] cet. 2003 penerbit Dar Ibn al-Haitsam)

Dalam riwayat lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan,

إِنَّ مِنْ ضِئْضِئِ هَذَا قَوْمًا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَقْتُلُونَ أَهْلَ الإِسْلاَمِ وَيَدَعُونَ أَهْلَ الأَوْثَانِ يَمْرُقُونَ مِنَ الإِسْلاَمِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ لَئِنْ أَدْرَكْتُهُمْ لأَقْتُلَنَّهُمْ قَتْلَ عَادٍ

“Sesungguhnya di belakang orang ini akan muncul suatu kaum yang rajin membaca al-Qur’an namun tidak melampaui pangkal tenggorokan mereka. Mereka membunuhi umat Islam dan justru meninggalkan para pemuja berhala. Mereka keluar dari Islam sebagaimana melesatnya anak panah dari sasaran bidiknya. Apabila aku menemui mereka, niscaya aku akan membunuh mereka dengan cara sebagaimana terbunuhnya kaum ‘Aad.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhu, ini lafaz Muslim)

an-Nawawi rahimahullah menerangkan, “Di dalam hadits ini terkandung dorongan untuk memerangi mereka -yaitu Khawarij- serta menunjukkan keutamaan Ali radhiyallahu’anhu yang telah memerangi mereka.” (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj [4/391] cet. 2003 penerbit Dar Ibn al-Haitsam)

Mereka bukanlah orang yang malas beribadah, bahkan mereka adalah sosok yang menakjubkan dalam ketekunan dan kesungguhan beribadah. Namun di sisi yang lain, mereka telah menyimpang dari manhaj Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat sehingga membuat mereka layak menerima ancaman dan hukuman yang sangat-sangat berat, yaitu hukum bunuh!

Dalam teks riwayat yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan ciri mereka,

فَإِنَّ لَهُ أَصْحَابًا يَحْقِرُ أَحَدُكُمْ صَلاَتَهُ مَعَ صَلاَتِهِمْ وَصِيَامَهُ مَعَ صِيَامِهِمْ

“Sesungguhnya orang ini -Dzul Khuwaishirah, gembong Khawarij, pent- akan memiliki pengikut-pengikut yang membuat salah seorang di antara kalian meremehkan sholatnya apabila dibandingkan dengan sholat mereka, dan meremehkan puasanya apabila dibandingkan dengan puasa mereka…” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhu, ini lafaz Muslim)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

سَيَخْرُجُ فِى آخِرِ الزَّمَانِ قَوْمٌ أَحْدَاثُ الأَسْنَانِ سُفَهَاءُ الأَحْلاَمِ يَقُولُونَ مِنْ خَيْرِ قَوْلِ الْبَرِيَّةِ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ فَإِذَا لَقِيتُمُوهُمْ فَاقْتُلُوهُمْ فَإِنَّ فِى قَتْلِهِمْ أَجْرًا لِمَنْ قَتَلَهُمْ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Akan muncul di akhir masa ini nanti sekelompok orang yang umurnya masih muda-muda dan lemah akalnya. Apa yang mereka ucapkan adalah perkataan manusia yang terbaik. Mereka suka membaca al-Qur’an akan tetapi bacaan mereka tidak sampai melewati pangkal tenggorokan mereka. Mereka melesat dari agama seperti halnya anak panah yang melesat dari sasaran bidiknya. Apabila kalian menjumpai mereka maka bunuhlah mereka. Karena sesungguhnya dengan terbunuhnya mereka maka orang yang membunuhnya itu akan mendapat pahala di sisi Allah pada hari kiamat kelak.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, ini lafaz Muslim)

an-Nawawi rahimahullah menerangkan, “Hadits ini menegaskan wajibnya memerangi Khawarij dan pemberontak negara, dan hal itu merupakan perkara yang telah disepakati oleh segenap ulama.” (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj [4/397] cet. 2003 penerbit Dar Ibn al-Haitsam)

Ubaidullah bin Abi Rafi’ radhiyallahu’anhu -salah seorang bekas budak yang dimerdekakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam– menceritakan bahwa ketika terjadi pemberontakan kaum Haruriyah (Khawarij) sedangkan saat itu dia bersama pihak Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, mereka -kaum Khawarij- mengatakan, “Tidak ada hukum kecuali milik Allah.” Maka Ali bin Abi Thalib pun menanggapi ucapan mereka dengan mengatakan, “Itu adalah ucapan yang benar namun dipakai dengan maksud yang batil…” (HR. Bukhari dan Muslim, ini lafaz Muslim)

Dalam riwayat lainnya, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menyatakan tentang betapa buruknya mereka,

هُمْ شَرُّ الْخَلْقِ وَالْخَلِيقَةِ

“Mereka itu adalah sejelek-jelek makhluk.” (HR. Muslim dari Abu Dzar radhiyallahu’anhu)

Keamanan Adalah Nikmat yang Harus Disyukuri

Ketahuilah saudaraku -semoga Allah membimbing kita berjalan di atas jalan yang lurus- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengajarkan kepada umatnya untuk membuat keonaran dan kekacauan di masyarakat. Nabi memerintahkan untuk taat kepada penguasa muslim selama bukan dalam hal maksiat dan melarang rakyat memberontak kepada mereka sezalim apapun mereka -selama mereka masih sholat dan tidak melakukan kekafiran yang nyata yang kita memiliki bukti yang sangat jelas atasnya- serta melarang dari tindakan mengobral aib-aib pemerintah di muka umum. Itu semua disyari’atkan demi terpeliharanya sebuah nikmat yang agung yaitu stabilitas keamanan negara dan ketentraman umum.

Keamanan adalah nikmat yang agung dan harus dipelihara, tidakkah kita ingat doa yang dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam kepada Rabbnya,

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آَمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ

“Ingatlah ketika Ibrahim berdoa, ‘Wahai Rabbku, jadikanlah negeri ini aman tentram, dan jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari menyembah patung-patung…’” (Qs. Ibrahim: 35)

Yang dimaksud ‘negeri’ dalam ayat di atas adalah tanah suci Mekah (lihat Tafsir Ibnu Jarir at-Thabari yang berjudul Jami’ al-Bayan fi Ta’wil Aayil Qur’an [17/ 17] Tahqiq Ahmad Muhammad Syakir. Maktabah as-Syamilah)

Doa meminta keamanan ini pun dikisahkan di dalam ayat lainnya, Allah ta’ala berfirman,

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا بَلَدًا آَمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آَمَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ

“Ingatlah ketika Ibrahim berdoa; ‘Wahai Rabbku jadikanlah negeri ini aman tentram dan curahkanlah rezeki kepada penduduknya dari berbagai jenis buah-buahan, yaitu kepada orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir di antara mereka…’” (Qs. al-Baqarah: 126)

Maka Allah pun kabulkan doa beliau, sebagaimana dalam firman-Nya,

أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّا جَعَلْنَا حَرَمًا آمِنًا وَيُتَخَطَّفُ النَّاسُ مِنْ حَوْلِهِمْ

“Tidakkah mereka memperhatikan, bahwa Kami telah menjadikan (negeri mereka) tanah suci yang aman, padahal manusia di sekitarnya saling merampok.” (Qs. al-Ankabut: 67)

Ibnu Jarir at-Thabari rahimahullah meriwayatkan dari Mujahid tentang tafsiran surat Ibrahim ayat 35 di atas bahwa beliau mengatakan, “…Allah mengabulkan doa beliau, yaitu dengan menjadikan negeri tersebut (Mekah) aman, mencurahkan rezeki kepada penduduknya dengan berbagai jenis buah-buahan, menjadikan beliau sebagai sosok imam/pemimpin teladan, menjadikan keturunanannya sebagai orang yang mendirikan sholat, dan Allah pun mengabulkan permintaannya…” (Jami’ al-Bayan [17/17] Tahqiq Ahmad Muhammad Syakir. Maktabah as-Syamilah)

Allah juga memerintahkan untuk mensyukuri nikmat keamanan dengan beribadah kepada Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Allah ta’ala berfirman,

فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَذَا الْبَيْتِ الَّذِي أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوعٍ وَآَمَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ

“Maka hendaknya mereka beribadah kepada Rabb pemilik rumah/Ka’bah ini, yaitu yang telah memberikan makanan kepada mereka sehingga terbebas dari kelaparan, dan memberikan keamanan kepada mereka sehingga terlepas dari cekaman ketakutan.” (Qs. Quraisy: 3-4)

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Allah mengaruniakan kepada mereka keamanan dan murahnya segala sesuatu diperoleh di sana, maka semestinya mereka mengesakan-Nya semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam beribadah dan tidak justru menyembah kepada selain-Nya, entah itu berujud patung, sesembahan tandingan, ataupun berhala dalam bentuk apa saja.” (Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [4/593] cet. 1417 Penerbit Dar al-Fikr)

Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Rezeki yang melimpah ruah dan rasa aman dari cekaman ketakutan termasuk nikmat keduniaan yang paling besar, yang sudah semestinya melahirkan sikap dan perilaku bersyukur kepada Allah ta’ala.” (Taisir al-Karim ar-Rahman [2/1305] cet 1418 penerbit Jum’iyah Ihya’ at-Turots al-Islami)

Maka ayat yang mulia di atas mengajarkan kepada kita untuk mensyukuri nikmat keamanan, sedangkan bentuk syukur yang paling agung -bahkan yang menjadi pokoknya- adalah dengan mentauhidkan Allah subhanahu wa ta’ala dalam beribadah. Termasuk dalam realisasi rasa syukur ini adalah dengan memelihara keamanan dan tidak merusaknya dengan berbagai bentuk teror dan kekacauan.

Oleh karena itulah, dakwah tauhid yang diserukan oleh para ulama Ahlus Sunnah di sepanjang jaman senantiasa memperhatikan hal ini yaitu terjaganya keamanan dan ketentraman umum serta keselamatan umat dari kekacauan politik dan sosial serta menyingkirkan ambisi-ambisi pribadi atau golongan yang ingin meraih tampuk kekuasaan -walaupun dengan tujuan memberantas kemungkaran-. Sebab dengan stabilitas keamanan itulah akan muncul manfaat yang meluas bagi masyarakat secara umum dan umat Islam pada khususnya, dan Ahlus Sunnah terlebih khusus lagi.

Tidakkah anda ingat kisah kesabaran Imam Ahmad bin Hanbal -salah seorang imam Ahlus Sunnah- semoga Allah merahmatinya? Beliau rela disiksa dan menahan kejamnya hukuman penguasa yang zalim. Beliau tidak mengajak ribuan pengikutnya untuk berdemonstrasi serta memberontak kepada penguasa tatkala itu, padahal beliau berada di pihak yang benar. Karena tekanan itu pula, beliau terpaksa mendekam di dalam penjara selama tiga masa pemerintahan. Ingatlah juga, kesabaran para sahabat ketika menghadapi kekejaman al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi. Kenapa penderitaan yang sedemikian berat itu rela mereka tanggung? Hal itu tidak lain dikarenakan mereka menyadari dengan sepenuhnya bahwa maslahat yang didapatkan dengan tidak memberontak dan tetap berada di bawah satu kepimpinan yang sah dan diakui merupakan salah satu sebab utama keamanan dan stabilitas negara.

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah mengatakan, “Wajib untuk mendengar dan taat kepada para pemimpin dan Amirul Mukminin yang baik maupun yang fajir dan siapa pun yang menduduki tampuk khilafah, yang umat manusia telah bersatu di bawah kekuasaannya dan ridha kepadanya. Demikian juga terhadap orang yang berhasil menggulingkan kekuasaan mereka dengan pedang/senjata sehingga merebut posisi khalifah dan dijuluki sebagai Amirul Mukminin.” (Ushul as-Sunnah yang dicetak bersama Syarah Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafzihahullah, hal. 51 Penerbit Dar al-Minhaj cet. 1428 H)

Salamah bin Yazid al-Ju’fi radhiyallahu’anhu pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Nabi Allah! Bagaimana pendapat anda jika ada pemimpin-pemimpin yang menguasai kami yang meminta agar hak-hak mereka dipenuhi namun mereka menghalangi kami dari mendapatkan hak-hak kami, maka apakah yang anda perintahkan kepada kami di saat seperti itu?” Maka beliau pun berpaling darinya. Lalu dia pun bertanya kembali kepada beliau dan beliau pun berpaling darinya. Lalu dia bertanya untuk kedua atau ketiga kalinya maka al-Asy’ats bin Qais radhiyallahu’anhu pun menariknya seraya mengatakan (ketika itu Nabi hadir dan tidak mengingkari ucapannya, pent),

اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوا وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ

“Tetaplah kamu mendengar dan taat. Sesungguhnya dosa yang mereka lakukan itu adalah tanggungan mereka, dan wajib bagi kalian menunaikan apa yang dibebankan kepada kalian.” (HR. Muslim)

Dalam hadits Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menceritakan bahwa akan muncul sesudah beliau wafat para pemimpin yang tidak mengikuti petunjuk dan Sunnah beliau. Di antara mereka terdapat orang-orang yang hatinya adalah hati syaithan yang menjelma di dalam tubuh manusia. Mendengar hal itu Huzdaifah pun bertanya, “Apa yang harus saya lakukan wahai Rasulullah, jika saya menemui hal itu?” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam -yang tidak berbicara dengan hawa nafsunya- bersabda,

تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ

“Tetaplah kamu mendengar dan patuh kepada pemimpin, meskipun punggungmu harus dipukuli dan hartamu diambil. Kamu harus bersikap mendengar dan patuh.” (HR. Bukhari dan Muslim, ini lafaz Muslim)

Dari Ummu Salamah radhiyallahu’anha istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Nabi bersabda,

إِنَّهُ يُسْتَعْمَلُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ كَرِهَ فَقَدْ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ فَقَدْ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِىَ وَتَابَعَ ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلاَ نُقَاتِلُهُمْ قَالَ « لاَ مَا صَلَّوْا ». أَىْ مَنْ كَرِهَ بِقَلْبِهِ وَأَنْكَرَ بِقَلْبِهِ

“Sesungguhnya akan menguasai kalian pemimpin-pemimpin yang kalian kenali kekeliruan mereka dan kalian pun mengingkarinya. Barang siapa yang membenci hal itu sungguh dia telah berlepas diri darinya. Dan barang siapa yang mengingkari sungguh telah selamat. Akan tetapi yang salah ialah apabila orang justru meridhai dan setia mengikuti kekeliruannya.” Maka para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, tidakkah sebaiknya kami perangi saja mereka itu?” Maka beliau menjawab, “Jangan, selama mereka masih melaksanakan sholat.” Arti ungkapan di atas adalah, “Barang siapa yang membenci dengan hatinya dan mengingkari dengan hatinya.” (HR. Muslim)

an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa barang siapa yang tidak mampu menghilangkan kemungkaran maka dia tidak berdosa semata-mata karena dia bersikap diam. Akan tetapi dia menjadi berdosa apabila dia meridhainya, tidak mau membencinya dengan hati, atau justru dengan setia mengikutinya.” (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj [6/485] cet. 2003 penerbit Dar Ibn al-Haitsam)

Camkanlah hadits-hadits di atas baik-baik, wahai para pemuda!
Pikirkanlah masak-masak dampak yang akan muncul di esok hari sebagai akibat dari tindakan kita…

***

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id