Akui Kebaikan Orang Lain

BERANI mengakui kebaikan orang lain adalah salah satu kunci penting dalam pergaulan kita dengan sesama manusia. Karena, ada orang yang tidak bisa menerima jika ada orang lain yang lebih baik daripada dirinya.

Orang yang demikian adalah pendengki. Hatinya terjangkit penyakit dengki, susah melihat orang lain senang dan senang melihat orang lain susah. Orang yang demikian sungguh merugi, karena akan habis pahalanya hangus oleh kedengkiannya.

Rasulullah saw bersabda, “Jauhilah oleh kalian dengki, karena ia akan memakan kebaikan sebagaimana api menghanguskan kayu bakar.” (HR. Abu Daud)

Saudaraku, mari kita menafakuri api unggun. Api unggun berawal dari kayu bakar yang berasal dari batang pohon yang sudah melalui masa pertumbuhan sekian lama. Kemudian, batang-batang pohon itu dibelah dengan berbagai ukuran sedemikian rupa. Lalu ditumpuk-ditumpuk, disiram sedikit minyak dan dibakar. Dalam sekejap kayu-kayu bakar yang sudah melalui berbagai proses begitu lama itu pun ludes menjadi abu. Kemudian, sirna tersapu angin. Inilah gambaran kedengkian yang menghanguskan kebaikan.

Bayangkan, salatnya jalan, tahajudnya hampir tiap malam, saum sunnahnya jarang ketinggalan, sedekahnya mengagumkan, tilawah al-Qurannya setiap waktu, dan kebaikan-kebaikan lainnya banyak ia lakukan. Namun, ia memendam satu penyakit, yaitu dengki. Maka, amal saleh yang telah ia lakukan bisa terkikis semakin lama semakin habis.

Dengki adalah penyakit hati yang sungguh sangat berbahaya. Tentu kita ingat pada peristiwa penumpahan darah dalam sejarah umat manusia, yaitu kisah Qabil dan Habil. Sebuah kisah yang oleh Allah SWT abadikan dalam Quran pada sebuah ayat yang panjang. Allah berfirman, “Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qobil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qobil). Ia berkata (Qobil), Aku pasti membunuhmu! Berkata Habil, Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa.”

“Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan sekalian alam.”

“Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuh)ku dan dosamu sendiri, maka kamu akan menjadi penghuni neraka, dan yang demikian itulah pembalasan bagi orang-orang yang zalim.”

Maka hawa nafsu Qobil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, maka jadilah ia seorang di antara orang-orang yang merugi.

Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qobil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qobil, “Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” Karena itu jadilah dia seorang di antara orang-orang yang menyesal.” (QS. al-Maidah [5]: 27-31)

Betapa besar sekali bahayanya penyakit iri dengki ini. Yakni berat untuk menerima kenyataan bahwa Allah menganugerahkan kelebihan atau keunggulan kepada setiap manusia secara berbeda. Setiap manusia istimewa dengan kelebihannya masing-masing. Nah, seorang pendengki tidak bisa menerima ini.

Maka dari itu, Allah tidak menyukai manusia pendengki. Mengapa? Karena, pendengki adalah orang yang tidak menyukai perbuatan Allah SWT. Pendengki adalah orang yang kurang iman. Pendengki adalah orang yang buruk sangka kepada Allah. Dan, pendengki adalah orang yang tidak mengakui bahwa Allah Mahabaik dan Mahaadil.

Ketika Allah menakdirkan sesuatu keberuntungan kepada salah seorang dari hamba-Nya, maka pendengki tidak rela pada takdir tersebut. Ia tidak suka orang lain beruntung dan ingin supaya keberuntungan itu berpindah kepadanya. Jika demikian maka berarti ia tidak suka kepada Dzat yang menghendaki takdir itu terjadi, yaitu Allah SWT.

Allah menciptakan seseorang memiliki kelebihan, supaya kita bisa belajar darinya. Allah menakdirkan ada orang yang berjasa pada kita, supaya kita bisa berterima kasih. Sehingga semua ini menjadi ladang amal bagi kita.

Berani mengakui kebaikan, keunggulan, kelebihan orang lain akan melatih kita untuk memiliki hati yang lapang. Jika hati lapang, maka mudah sekali bagi kita untuk bahagia, jauh dari rasa cemas dan gelisah. Sedangkan hati yang sempit membuat kita mudah merasa sengsara, seolah menjadi makhluk paling kasihan di dunia.

Berani mengakui jasa orang lain melatih kita untuk ringan menghaturkan rasa terima kasih dan berupaya membalas kebaikannya. Penting bagi kita untuk berbaik sangka bahwa jasa dan kebaikan orang lain kepada kita dilakukan secara tulus tanpa mengharap pamrih atau balasan apa pun. Namun, penting pula bagi kita untuk membalas kebaikan dengan kebaikan dan niat tulus hanya mengharap rida Allah.

Karena Rasulullah bersabda, “Hendaklah kalian saling memberi hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Bukhari)

Anjuran Rasulullah agar kita saling memberi hadiah bisa dipahami juga sebagai anjuran untuk saling membantu, saling memberi kebaikan dalam bentuk apa pun. Karena perbuatan yang demikian bisa menumbuhkan rasa persahabatan dan persaudaraan. Sensitif pada keadaan orang lain serta menumbuhkan kepedulian dan empati.

Berusahalah untuk tidak berutang budi. Bagaimana pun sudah menjadi sifat manusia jika menerima kebaikan dan jasa dari orang lain, suka timbul rasa utang budi di dalam hati kita. Meskipun orang yang membantu tidak bermaksud menimbulkan perasaan itu dalam hati kita. Maka, lapangkanlah hati kita dengan “melunasi” utang itu. Caranya dengan membalas jasa dan kebaikannya di kemudian hari.

Sikap yang demikian termasuk ke dalam ungkapan rasa terima kasih kita pada sesama manusia. Rasa terima kasih tidak hanya bisa diungkapan secara lisan, namun juga bisa diungkapkan dengan perbuatan. Sedangkan berterima kasih pada sesama manusia adalah bukti rasa syukur kita kepada Allah SWT.

Rasulullah saw bersabda, “Tidak termasuk bersyukur kepada Allah, siapa yang tidak berterima kasih kepada sesama manusia.” (HR. Tirmidzi, Abu Daud)

Ungkapkanlah rasa terima kasih kepada orangtua kita yang telah dengan penuh kesabaran mengurus, membesarkan, dan mendidik kita. Juga kepada guru-guru kita yang telah dengan penuh ketelatenan mengajarkan bahasa, matematika, dan berbagai ilmu lainnya. Ungkapkan rasa terima kasih pada teman-teman kita yang dengan tulus mau berteman dengan kita, menerima segala kekurangan kita. Ungkapkan rasa terima kasih dengan ucapan, perbuatan dan doa. Mintakanlah kepada Allah supaya mereka senantiasa ada dalam lindungan dan petunjuk-Nya.

Sikap berani mengakui kebaikan dan jasa orang lain adalah bentuk kerendahan hati dan menjauhkan kita dari kesombongan. Sikap ini juga memudahkan kita menambah ilmu dari kelebihan dan kebaikan orang lain. Adapun tiada yang menjanjikan dari bertambahnya ilmu selain dari bertambahnya pintu-pintu kebaikan. [*]

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar 

INILAH MOZAIK