Alasan Logis Mengibaskan Tempat Tidur Ketika Hendak Tidur

Sebelum tidur, ada sunnah yang terlupakan. Satu diantaranya adalah mengibaskan tempat tidur ketika hendak tidur.

Abu Hurairah ra meriwayatkan bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:

“Bila seseorang di antara kalian beranjak menuju ke tempat tidur, maka hendaklah dia mengibaskan tempat tidurnya dengan menggunakan bagian dalam sarungnya. Karena dia tidak tahu apa yang ada di balik tempat tidur tersebut. Setelah itu hendaklah dia berdoa, ‘Bismika Rabbi Wadha’tu Janbi wa Bika Arfa’uhu. In Amsakta Nafsi Farhamha, wa in Arsaltaha Fahfazhha bima Tahfazhu bihi Ibadaka Ash-Shalihin (Wahai Tuhanku, dengan menyebut namaMu aku meletakkan rusukku dan dengan namaMu pula aku mengangkatnya. Bila Engkau menahan jiwaku, maka rahmatilah ia. Dan bila Engkau melepasnya, maka jagalah ia sebagaimana Engkau menjaga hamba-hambaMu yang shalih.” (HR. Al-Bukhari: Muslim: Abu Daud: At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Dalam teks milik At-Tirmidzi, di awal hadits, “Bila salah seorang dari kalian telah beranjak dari tempat tidurnya, lalu kembali lagi, maka hendaklah ia mengibaskan tempat tidur tersebut.”

At-Tirmidzi mengatakan bahwa status hadits ini adalah hasan.

Adapun dalam riwayat Al-Bukhari disebutkan,

“Bila salah seorang di antara kalian menuju tempat tidurnya, maka hendaklah dia menggunakan bagian dalam sarungnya untuk mengibaskan tempat tidur tersebut, lalu menyebut nama Allah.”

Dalam Syarh Muslim, Imam An-Nawawi menjelaskan,

“Bagian dalam sarung; ujung bagian dalam sarung, artinya orang tersebut disunnahkan untuk mengibaskan tempat tidurnya sebelum memasuki atau menempatinya, karena barangkali di dalamnya ada ular, kalajengking atau hewan membahayakan lainnya. Hendaklah dia mengibaskan dengan tangan yang dilindunginya dengan ujung bagian dalam kain sarungnya, karena bila ada sesuatu yang membahayakan maka tangannya tidak akan tersentuh oleh sesuatu tersebut.”

Adapun kata ‘Dengan menggunakan bagian pakaiannya’ , Ibnu Hajar menuturkan beberapa pendapat mengenai arti kalimat ini. Lalu Ibnu Hajar sendiri dalam kitab Fath Al-Bari mengatakan, “Seharusnya pendapat yang lebih utama dalam masalah ini mengatakan bahwa arti yang dikehendaki adalah bagian dalam, untuk menyatukan dua riwayat yang ada.”

Wallahu a’lam.

 

[Paramuda/BersamaDakwah]