Alquran diletakkan di awal Alquran karena sejumlah keutamaannya
Jika diibaratkan sebuah istana, surat al-Fatihah adalah pintu gerbangnya. Kemegahan istana dapat dinilai melalui keindahan pintu gerbangnya.
Surat al-Fatihah, secara harfiah berarti pembukaan (the Opening, the Prologue), mengesankan adanya jalan terbuka bagi hamba siapapun yang hendak mendekati diri-Nya.
Penempatan letak surat al- Fatihah sebagai awal atau permulaan Alquran tentu memiliki rahasia di mata Allah SWT.
Menurut Syekh Muhammad Abduh dalam Tafsir Al-Manar, surat al-Fatihah bukan hanya penempatannya yang pertama, melainkan surat ini paling awal diturunkan Allah SWT. Hal ini tidak bertentangan dengan riwayat yang mengatakan ayat yang pertama turun ialah lima ayat pertama dari surat al-‘Alaq. Betul sebagai ayat yang pertama turun, tetapi sebagai surat pertama utuh turun sekaligus ialah surat al-Fatihah.
Kandungan suraT al-Fatihah sangat dalam dan kom prehensif, mulai hal-hal yang bersifat langit (celestial) sampai ke hal-hal yang bersifat bumi (terestrial); dari hal-hal yang bersifat duniawi (worldly) sampai ke hal-hal yang bersifat ukhrawi (escatologis), janji dan ancaman, dan penghambaan diri kepada Allah SWT.
Meskipun hanya ada tujuh ayat dalam surat al-Fatihah, ketujuh ayat ini mencakup keseluruhan, baik urusan makrokosmos berupa alam semesta maupun urusan mikrokos mos, baik urusan dunia maupun urusan akhirat, baik urusan Tuhan maupun urusan manusia dan alam lingkungan hidupnya. Semuanya dibicarakan secara komprehensif dan saling mendukung satu sama lain di antara ayat-ayatnya.
Ada ulama menyatakan bahwa sesungguhnya surat al-Fatihah sudah cukup untuk menuntun hambanya menemukan diri-Nya, tetapi Allah SWT menambahkan surah-surah lain. Makin banyak petunjuk (directions) menuju ke sebuah alamat, makin kecil kemungkinan seseorang salah alamat. Bandingkan dengan The Ten Com mandments, 10 Perintah Tuhan, yang disampaikan kepada Nabi Ibrahim AS.
Kesepuluh perintah itu berisi pesan yang amat padat, yakni pengesaan Allah, penghormatan kepada orang tua, pemeliharaan har-hari suci Tuhan, larangan penyembahan berhala, penghujatan, pembunuhan, perzinaan, pencurian, ketidakjujuran, dan hasrat kepada hal-hal yang buruk.
Bisa dibayangkan, 10 petunjuk diberikan kepada Nabi Ibrahim dan 6.666 ayat Alquran yang berikan ke pada Nabi. Ini semua melambangkan kasih sayang Tuhan terhadap kita sebagai umat Nabi Muhammad SAW. Ayat pertama sampai ayat ketiga berbicara tentang urusan kehidupan di dunia. Allah menggambarkan kelembutan dan kasih sayang-Nya.
Diri-Nya sebagai pribadi (Allah) lebih ditekankan sebagai Mahapengasih (al-Rahman al-Rahim) dan diri-Nya sebagai Tuhan (ÑÈ) tetap lebih ditonjolkan sebagai Tuhan Mahapengasih lagi Mahapenyayang. Jadi, pengulangan kata ini sebetulnya tidak ada unsur kemubaziran kata (redundant).
Akan tetapi, ayat keempat dan seterusnya surat ini berbicara tentang hari kemudian, setelah hari kehidupan fisik manusia. Setelah manusia wafat, seolah-olah pintu kasih sayang Allah sudah tertutup, lalu diteruskan dengan ayat: مَٰلِكِ يَوْمِ ٱلدِّينِ Maaliki yaum al-din (Yang menguasai hari pembalasan (QS al-Fatihah [1]:4).
Seseorang yang membaca surat al-Fatihah diharapkan sudah menyingkirkan semua urusan dan kepentingan. Sedapat mungkin kita membayangkan kehadiran Allah SWT di hadapan kita. Inilah makna ayat:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ Iyyaka na’bud wa iyyaka nasta’in (Hanya kepada Engkaulah kami me nyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan (QS al-Fatihah [1]:5).
Ayat ini menggunakan kata iyyaka (hanya Engkau), bukan iyyahu (hanya Dia). Ini artinya Allah SWT tampil sebagai pihak kedua yang diajak berbicara (mukhathab), bukan pihak ketiga yang dibicarakan. Wajar jika kita diminta fokus dan mengerah kan segenap pikiran dan konsentrasi kita kepada Allah SWT saat membaca ayat ini.
Bisa kita bayangkan, bagaimana jadinya jika mulut kita membaca iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in, tetapi dalam ingatan kita sepatu atau kendaraan kita di luar. Seolah-olah yang kita sembah adalah sang sepatu atau kendaraan.
Surat al-Fatihah juga mengandung kekuatan inti atau puncak segala doa, yaitu: ٱهْدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ ihdina alshirath al-muataqim (Tunjukilah kami jalan yang lurus/QS al-Fatihah: 6). Jika Allah SWT sudah menunjukkan jalan lurus dan sekaligus mengabulkan doa ini, mau minta apa lagi? Bukankah doa-doa lain hanya penegasan detail dari doa ini?
Oleh : Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof KH Nasaruddin Umar