Allah Tidak Beranak dan Tidak Diperanakkan

Bahwa Allah itu Esa. Karena Esa maka seluruh makhluk berhajat kepada-Nya, dan bukan sebaliknya. Karena Esa itu maka mustahil Allah “beranak” (melahirkan) dan “diperanakkan” (dilahirkan).

SUATU hari, datanglah rombongkan kafir Quraisy menghadap Rasūlillāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam dan berkata, “Wahai Muhammad, bagaimana sih rupanya hakikat Tuhanmu itu? Coba terangkan kepada kami!”

Karena pernyataan mereka itu, turunlah firman Allah dalam Sūrah al-Ikhlāsh yang maknanya: “Katakanlah (olehmu, hai Muhammad kepada mereka): ‘Allah itu Esa. Dialah Allah tempat bergantung segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan (tidak melahirkan dan tidak dilahirkan). Dan tidak ada sesuatupun yang setara dengan-Nya.” (HR. at-Tirmidzī)

Kata الصمد maknanya adalah: الذى لم يلد ولم يولد (yang tidak beranak dan tidak diperanakkan). Karena setiap yang ‘dilahirkan’ (diperanakkan) akan mati. Dan setiap yang mati akan diwarisi. Sementara Allah tidak mati. Dengan demikian Dia tidak diwarisi. (Imam Ibn Katsīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azhīm (Kairo: Dār al-Hadīts, 1432 H/2011 M): 4/702).

Menurut pakar pemikiran Imam al-Ghazālī sekaligus salah seorang pemikir dan filsuf Muslim besar Islām abad ini, Prof. Dr. SMN al-Attas, Sūrah al-Ikhlāsh ini merupakan kritikan dan labrakan pertama dari Islām terhadap keyakinan kaum Kristen. (Prof. Dr. SMN al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001), 15).

Maknanya, Islām datang untuk meluruskan penyimpangan akidah yang merasuk ke dalam daftar keyakinan kaum Kristen. Bahwa Allah itu Esa. Karena Esa maka seluruh makhluk berhajat kepada-Nya, dan bukan sebaliknya. Karena Esa itu maka mustahil Allah “beranak” (melahirkan) dan “diperanakkan” (dilahirkan).

Menurut Syekh al-Ghazāli, memang tidak pernah terjadi Wahyu menyatakan: ‘Allah punya anak. Dan anak ini kemudian mengorbankan hidupnya demi menebus dosa manusia. Yang ada justru sebaliknya. Di dalam Kitab Suci Al-Qur’ān Allah berfirman: “Belumkah diberitakan mengenai apa yang ada di dalam lembaran-lembaran (yang turun) Mūsā? Dan yang turun kepada Ibrāhīm yang menepati janji? Bahwa seseorang tidak mewarisi dosa orang lain. Dan seorang insan akan menerima balasan amal yang diusahakannya. Dan usahanya niscaya akan diperlihatkan padanya. Kemudian usahanya itu akan dibalas dengan balasan yang sempurna” (Qs. an-Najm: 36-41).

Dan hakikat Islām dan tabiatnya tersebut dikuatkan oleh Taurāt yang turun kepada nabi Mūsā (Qs. 5:44). (Syekh Muhammad al-Ghazālī, al-Mahāwir al-Khamsah li al-Qur’ān al-Karīm (Damaskus: Dār al-Qalam, 1440 H/2019 M), 110).

Sekali lagi, tidak ada dasarnya bahwa Allah itu “beranak” (melahirkan) dan “diperanakkan” (dilahirkan). Ini bukan saja dalam keyakinan umat Islām, tapi juga dalam kekristenan awal.

Di dalam Bible juga tidak ditemukan bahwa Yesus itu “anak Tuhan”. Dalam Yohanes (17:3) Yesus mengakui demikian: “Inilah hidup yang kekal, yaitu supaya mereka mengenal Engkau, Allah yang Esa, dan Yesus Kristus yang telah Engkau suruhkan itu.”

Jika pun kaum Kristen mengklaim bahwa dalil Yesus dalam Bible sebagai “Anak Tuhan” ada dalam Matius (3:17): “Maka suatu suara dari langit mengatakan: “Inilah anakku yang kukasihi. Kepadanya aku berkenan.” Atau dalam Lukas (4:41), tidak sertama merta secara harfiah dimaknai bahwa memang demikian maksudnya. Karena akan berbenturan dengan Matius (5:9): “Berbahagialah segala orang yang mendamaikan orang, karena mereka itu akan disebut anak-anak Allah.” Kalau demikian, maka bukan Yesus saja yang dianggap sebagai “Anak Tuhan”.

Apa yang ditegaskan oleh Allah di dalam Sūrah al-Ikhlās sejatinya adalah pengembalian ulang keyakinan yang keliru ke pengkalnya. Ia bukan sekadar kritik, tapi juga penyadaran. Dan ini disebutkan juga dalam Perjanjian Lama (The Old Testament; al-‘Ahd al-Qadīm), dalam Kitab Ulangan (4:35): “Maka kepadamulah ia itu ditunjuk, supaya diketahui olehmu bahwa Tuhan itulah Allah, dan kecuali Tuhan yang Esa tiadalah yang lain lagi.”

Apa yang disebutkan dalam Perjanjian Lama juga ditegaskan di dalam Perjanjian Baru (The New Testament; al-‘Ahd al-Jadīd), dalam Markus (12:29): “Maka jawab Yesus kepadanya. Hukum yang utama ialah: Dengarlah olehmu hai Israil, adapun Allah kita, ialah Tuhan yang Esa.” Jika kembali lagi di cross-check ke Perjanjian Lama, maka akan ketemu Kitab Ulangan (6:4) yang berbunyi: “Dengarlah olehmu hai Israil, sesungguhnya Hua Allah kita, Hua itu Esa adanya.”

Dalam Bible: Anak Allah Banyak

Jika dalam ulasan sebelumnya dapat kita fahami dua hal penting: Allah itu Esa dan tidak punya maka, maka berikut ini akan ditegaskan ulang bahwa ternyata dalam Bible “Anak Allah” banyak. Bukan hanya Yesus. Sebelumnya sudah pula disebut bahwa “orang yang mendamaikan orang lain” disebut sebagai “Anak Allah”.

Dalam Kitab Keluaran (4:22) disebutkan bahwa Israil adalah anak laki-laki Allah, anak-Nya yang sulung; dalam Yeremia (31:9) disebutkan bahwa Afraim adalah ‘anak sulung Tuhan’. Ini artinya, “Anak Allah” atau “Anak Tuhan” bukanlah dalam makna harfiah. Ia adalah simbolik. Yaitu setiap orang yang dikasihi Tuhan. Bukan anak sebenarnya. Bukan anak secara biologis.

Sungguh, nabi-nabi dan rasul-rasul Allah itu, termasuk nabi ‘Īsā ‘alayhis-salām, menyampaikan bahwa Allah itu Esa, tidak ada Tuhan yang lain daripada-Nya. Itulah kesimpulan yang benar. Dia Esa. Tempat bergantung segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan, tidak seorang pun yang setara dengan-Nya.[]

Penulis buku “Teologi Islam vs Kristen” (2010)  dan “Pendeta Menghujat, Ustadz Meralat” (2015) 

HIDAYATULLAH