Ammatoa: Islam dan Adat dalam Satu Tarikan Nafas

Ammatoa adalah salah satu komunitas adat yang berada di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Mereka tinggal di wilayah perbukitan yang luasnya sekitar 50 kilometer. Desanya disebut dengan Tana Toa (tanah yang tertua). Warganya percaya bahwa Tana Toa adalah tempat di mana Tuhan menciptakan bumi pertama kali. Karenanya, wilayahnya diabadikan dengan nama Tana Toa, yang berarti tanah tertua di dunia.

Komunitas adat Ammatoa berpegang pada nilai-nilai Pasang ri Kajang (pesan-pesan Kajang) yang diturunkan secara turun temurun dan diyakini bersumber dari Tuhan. Pasang memuat ilmu pengetahuan dan falsafah hidup yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan lingkungannya.

Nilai-nilai Pasang Ri Kajang tercermin dalam kehidupan sederhana mereka. Kesederhanaan hidup ini dikenal juga dengan istilah “Kamase-Masea”. Ajaran yang tertuang dalam Pasang, sebagaimana yang disampaikan Disnawati dalam Jurnal Sabda, antara lain;

Anre kalumannyang kelupepeng. Ria’ kamase-mase & angnganre na rie’. Cgre-care na rie’. Pammallijuku’na rie’. Koko na rie’. Balla situjuluju.

Artinya: “Kekayaan itu tidak kekal. Yang ada hanya kesederhanaan. Makan secukupnya. Pakaian secukupnya. Kebun secukupnya. Rumah seadanya.”

Kesederhanaan telah menjadi prinsip dan gaya hidup warga Ammatoa. Mata pencaharian mereka, pekerjaan yang mereka lakukan, adalah sebatas untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Tidak untuk mendapatkan lebih dari yang dibutuhkan, tidak untuk kaya raya. Secukupnya.

Sebagaimana suku Baduy, warga adat Ammatoa juga terbagi ke dalam dua wilayah, yaitu Ammatoa Dalam dan Luar.  Berbagai atribut modern seperti sepeda motor, mobil, ponsel, hanya boleh digunakan di Ammatoa Kawasan Luar. Sementara Ammatoa Dalam tidak memperbolehkannya. Warga Ammatoa Dalam menggunakan atribut modern tersebut hanya ketika mereka berada di Kawasan Luar.

Ammatoa Dalam sangat memegang teguh aturan nilai-nilai Pasang dan lebih membatasi diri dengan dunia modern. Dalam banyak aktivitas sehari-hari, mereka tidak mengenakan alas kaki, memakai ikat kepala bagi laki-laki, dan berpakaian warna hitam. Bagi masyarakat Ammatoa, warna hitam mempunyai makna kesederhanaan sedangkan tidak mengenakan alas kaki mempunyai makna menyatu dengan tanah, menyatu dengan alam di mana manusia berasal. 

Praktik keagamaan Ammatoa

Komunitas adat Ammatoa sendiri mengaku telah memeluk Islam sejak abad ke-17 M. Meskipun begitu, mereka tidak serta merta meninggalkan nilai-nilai adat yang telah mereka pegang. Bagi penganut Ammatoa, Islam dan adat bukanlah sesuatu yang perlu dipertentangkan. Keduanya bisa bersatu, bisa berdampingan, dan tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari.

Penyatuan ini dapat dilihat dalam keseharian mereka, seperti penggunaan jilbab warna hitam bagi perempuan, seragam putih-hitam untuk anak sekolah, hingga ritual-ritual adat yang tetap dilaksanakan di samping ritual agama. Ketika ada yang meninggal dunia, jenazah tetap dimandikan, dishalatkan, dikuburkan secara Islam, tetapi juga diupacarakan secara adat (Chusnul, 2021, h. XVI).

Mereka juga tetap menjalankan ritual sesaji. Bagi warga Ammatoa, hubungan manusia dengan alam adalah hubungan antar-subjek, hubungan interpersonal. Bukan subjek-objek. Ritual sesaji yang dilakukan oleh penganut Ammatoa Kajang ini merupakan bentuk kasih dan penghormatan bagi alam semesta yang telah menyediakan banyak hal untuk hidup manusia.

Sayangnya, ekspresi penghormatan dan cara berkomunikasi warga suku dengan alam ini sering mendapatkan respons negatif. Mereka kerap dituduh animis, primitif, dilabeli musyrik, bid’ah, hingga sesat. Padahal, cara berkomunikasi berbeda dengan menyembah, berbeda dengan menuhankan.

Cara pandang dan praktik keagamaan warga Ammatoa memang berbeda dengan Muslim kebanyakan. Karenanya mereka juga sering dianggap tidak berislam secara kaffah. Namun, bukankah ini justru menunjukkan corak Islam yang beragam? Ajaran yang mereka pegang, ajaran yang sering dianggap sesat itu, adalah ajaran yang telah merawat dan menjaga alam dari berbagai kerusakan karena keserakahan manusia. Wallahua’lam.

BINCANG SYARIAH