Banyak anak jadi yatim piatu karena ayah dan ibunya sibuk dan tak memberi perhatian.
Hari ini bertepatan dengan 10 Muharram. Selain dikenal sebagai Hari Asyura, 10 Muharram disebut sebagai hari Lebaran Anak Yatim. Mengapa? Alasannya banyak majelis taklim dan masjid di Indonesia memberikan santunan kepada anak yatim pada 10 Muharram berbarengan dengan perayaan tahun baru Islam, sehingga kegiatan santunan itu menjadi tradisi. Namun, sebenarnya ada yang lebih menderita dari anak-anak yatim dan piatu yang mendapatkan bantuan itu, yakni anak-anak yang sudah menjadi yatim piatu sebelum ayah dan ibunya meninggal dunia.
Kita mengenal anak yatim adalah anak yang sudah ditinggal meninggal dunia bapaknya. Sementara anak piatu adalah anak yang ditinggal wafat ibunya. Kehilangan ayah, ibu, apalagi kehilangan keduanya, tentu memberikan dampak serius dalam kehidupan seorang anak.
Dalam Surah al-Kahfi ayat 82, disebutkan kata ‘yatiimaini’ yang bermakna dua orang anak yatim. Dalam ayat tersebut, dikisahkan Nabi Khaidir alaihi salam membangun tembok yang hampir roboh agar harta yang terpendam di bawahnya yang menjadi milik anak yatim itu tetap terlindungi.
Pakar tafsir Alquran dari Pusat Studi Alquran (PSQ) Jakarta, KH Muchlis M Hanafi mengatakan, kata yatim disebut dalam konteks anak-anak yang harus dilindungi dan diperlakukan secara baik. Penggunaan kata yatim umumnya banyak terdapat pada ayat-ayat Makkiyah (yang turun di Makkah). Anak yatim, kata KH Muchlis, sangat diperhatikan dalam Alquran sebab ayah merupakan tulang punggung keluarga, terutama dalam bidang ekonomi. Karenanya, ketika sang ayah meninggal itu diumpamakan seakan-akan rumah yang hampir roboh.
Anak yatim disebut sebagai anak yang kehilangan sandaran dalam kehidupannya. Karena itu anak yang dalam situasi tersebut tidak boleh diberi kesusahan lagi, salah satunya dengan cara tidak berkata kasar terhadapnya.
Baca juga : Jubir JK Luruskan Kabar Bohong yang Dibuat Warganet
Kehilangan ayah yang sebagai penjemput rezeki, di banyak keluarga menjadi persoalan utama. Apalagi jika sang ibu tidak memiliki pekerjaan di luar statusnya sebagai ibu rumah tangga. Sedangkan jika ditinggal meninggal ibu, seorang anak akan kehilangan sandaran hidup, lenyapnya kehangatan, dan kasih sayang.
Karena itu, seorang anak yatim, anak piatu, atau anak yatim piatu, tidak hanya membutuhkan bantuan finansial atau biaya pendidikan serta kehidupan sehari-hari. Bukan sekadar uang, mereka butuh perhatian, kasih sayang, seseorang yang memuji, membela, hingga tempat berbagi cerita.
Seorang anak yang ditinggal wafat ayahnya akan kehilangan sosok panutan. Ia tidak memiliki panutan dalam pembinaan dirinya sebagai pemangku tanggung jawab. Sifat kelaki-lakiannya pun bisa terganggu jika tidak ada sosok panutan dalam keluarga yang mengambil tanggung jawab itu.
Kita bisa belajar dari kisah hidup baginda Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Ketika ditinggal wafat sang ayah saat masih di dalam kandungan, sedari lahir Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak kehilangan panutan sebagai seorang laki-laki. Kakek dan paman Rasulullah menjadi penjaga sekaligus roles model Rasulullah menjadi seorang pemimpin. Ketika kehilangan ibunda Aminah, kasih sayang seorang ibu tetap didapatkan Rasulullah dari bibi-bibinya.
Psikolog anak Endang Widyorini menilai, anak yatim telah kehilangan sosok panutan mereka. Dalam konteks ini adalah figur ayah atau ibu atau bahkan keduanya, harus ada menggantikan peran mereka.
“Mereka harus dididik dengan kasih sayang dari orang-orang di sekitarnya. Usahakan ada figur ibu yang penuh kasih dan figur ayah yang mengajarkan tentang cara berjuang untuk hidup,” ujarnya saat diwawancara Republika beberapa waktu lalu.
Lantas bagaimana bisa seorang anak menjadi yatim piatu walau bapak dan ibunya masih hidup?