Ust. Wahyudi Abdurrahim, Lc. M.M:
Ada sebuah penelitian yang ditulis oleh Bisri Tanjung dan dirilis jurnal Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyah Imam Syafi’I Jember. Judul penelitiannya sangat unik, yaitu “HERMENEUTIKA HADIS YUSUF QARDAWI (Studi Analisa Terhadap Metodologi Interpretasi Qardawi). Hasil penelitian menyimpulkan bahwa beliau adalah seorang tokoh Hermeneutika yang “moderat-eklektis. Penulis juga menyebutkan bahwa Qaradhawi dalam sebagian metodenya masih komitmen menelusuri metode dan prinsip interpretasi para ulama klasik yang berkutat pada urusan ibadah. Namun semangat interpretasi kaum liberal telah mendominasi kerangka berpikir beliau
Lalu penulis menukil hasil penelitian lain, dengan mengatakan “Analisa ini juga menjawab hasil penelitian Mir’atun Nisa’ “Hermeneutika Hadis Yusuf Qardawi dalam Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis”, yang menyimpulkan bahwa Qard}a>wi belum menyentuh pada langkah menganalisa pemahaman teks-teks hadis dengan teori social, politik, ekonami, dan sains terkait. Justru dari analisa yang kami temukan Qardawi juga telah menyentuh teori hermeneutika sains, ekonomi, politik apalagi sosial dan agama”
Ia juga menambahkan, Bahkan beliau dikatakan mengamini metode hermeneutika hadits yang diusung oleh para tokoh “intelek” Islam masa kini yang akrab didengar adalah metode kaum Liberal. Pasalnya, interpretasi hadis beliau lebih mengarah pada konteks kekinian.”
Nurun Najwah sebagaimana yang dikutip oleh Mir’atun Nisa menjelaskan, di antara langkah konkrit hermenetik yang diambil oleh Yusuf Qardawi adalah memaknai teks dengan menyarikan ide dasar dengan membedakan wilayah tekstual dan kontekstual. Prosedur membedakan wilayah tekstual dan kontekstual yang ditawarkan oleh Yusuf Qardawi adalah dengan metode membedakan antara sarana yang berubah-ubah (wasilah) dengan sarana yang tetap (gayah). Paradigma normatifnya terletak pada gayah sedang historisnya terletak pada wasilah. Dengan demikian beliau terkesan mengamini metode kaum liberal.
Penulis juga menukil tulisan Mir’atun Nisa yang berkesimpulan bahwa Yusuf Qardawi telah menyentuh sisi Hermeneutik teks dari beberapa sisi, di antaranya memahami aspek bahasa, memahami konteks sosio historis, mengkorelasikan secara tematik-komperhensif dan integral, serta memaknai teks dengan menyarikan ide dasar dengan membedakan antara wilayah tekstual dan kontekstual.
Saya sendiri telah lama berinteraksi dengan buku-buku Qaradhawi. Barangkali puluhan buku beliau sudah saya lahap. Biasanya saya membacanya dari awal, dari judul buku, mukadimah, daftar isi sampai pada tulisan kecil di sampul belakang buku. Dari hasil pembacaan saya tersebut, saya tidak menemukan satu katapun terkait hermeneutika yang kemudian dijadikan sebagai pisau analisis untuk membaca teks. Bahkan Qaradhawi tidak pernah menukil pendapat para tokoh hermeneutika seperti F.D.E. Schleiermacher, Jurgen Habermas, Hans-Georg Gadamer, Wilhelm Dilthey, Dilthey, Edmund Husserl, Heidgger, Gadamer, Derridam Ricouer dan lain sebagainya. Sebaliknya, jika kita buka laman buku-bukunya, yang sering dinukil adalah pendapatnya Imam Syathibi, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Ibnu Asyur dan para ulama ushul fikih lainnya.
Dari kandungan pun, yang muncul adalah kaedah-kaedah ushul fikih, terutama yang terkait dengan ushul fikih mqashid. Bahkan biasanya, di awal-awal buku sebelum masuk kepada bahasan yang lebih jauh, beliau menuliskan sandaran teoritis yang diambil dari kaedah-kaedah ushul fikih. Lihatlah misalnya di buku fiqhul awlawiyat, Fiqhul Aqalliyaat al-Muslimah, Fiqhul Muqazanat, Min Fiqhiddaulah fil Islam dan lain sebagainya.
Mungkin akan timbul pertanyaa, bukankah Qaradhawi sering menggunakan konteks sejarah dan juga sosio kultural masyarakat tempatan sebagai bagian dari pertimbangan ijtihad? Benar memang itu dilakukan oleh Qaradhawi. Benar juga bahwa Qaradhawi sering membedakan antara tujuan (ghayat) dan sarana (wasilah). Hanya saja, Qaradhawi merujuknya ke kitab kitab ushul fikih dan bukan kepada para tokoh hermeneutic.
Bisa saja di sini ada irisan antara ilmu ushul fikihdengan hermeneutika, terutama terkait dengan teks dan konteks serta sosiokulutral masyarakat tempatan. Hanya saja, ini tidak bisa dijadikan sebagai alasan bahwa beliau menggunakan teori hermeneutika.
Dalam ushul fikih, terutama yag terkait dengan ushul fikih maqashid, realita sosial suatu masyarakat sangat penting. Ia bahkan menjadi kunci utama untuk dijadikan pertimbangan dalam menentukan kepastian hukum fikih. Jadi, realitas social tu memang menjadi rumusan teoritis ilmu ushul fikih. Memang ada kesamaan, namun sisi perbedaan antara ilmu ushul fikih dengan hermeneutika jauh lebih besar.
Upaya penulis menarik-narik Qaradhawi dengan menyatakan bahwa tulisannya menggunakan metode hermeneutika sungguh mengada-ada. Bahkan bisa saya katakan bahwa penulis sekadar latah saja. Atau mungkin ia tidak memahami hermeneutika secara utuh.
Lucunya lagi, penulis menyebutkan beberapa sandara teoritis yang menurutnya dari hermeneutika, padahal itu murni dari ushul fikih. Perhatikan kutipan di bagian sub “Apa dan Bagaimana Prosesi Interpretasi Teks-teks Hadis yang Disebut Metode Hermeneutik; Manhaj syumuli, manhaj mutawazin, dan manhaj muyassar, karakter teks ala Qardawi”.
Sejak kapakah hermeneutika mengenal Manhaj syumuli, manhaj mutawazin, dan manhaj muyassar? Siapakah tokoh-tokoh Barat yang memperkenalkan hermeneutika dengan berbagai terminology tersebut? Di di buku apa bisa kita dapatkan?
Sebaliknya jika kita buka kita ushul, kita akan menemukan sandaran teoritis tersebut banyak disebutkan. Bahkan ia bagian dari kata kunci dalam ilmu maqashid. Ia adalah bagian kecil dari rumusan teoritis dari kaedah maqashid syariah.
Di sini nampaknya penulis “gagal paham”, baik dengan teori hermeneutika, maupun ushul fikih. Ketidakmampuan atas penguasaan dua system pembacaan teks tadi, menjadikan tulisannya sangat rancu. Kaedah ushul ditarik-tarik menjadi kaedah hermeneutika. Jadi, penulis semacam sedang mengalami “pubertas pemikiran” sehingga gagap terhadap berbagai macam pemikiran baru yang muncul.
Umumnya mereka ini adalah orang-orang yang tidak paham dan tidak menguasai kitab kuning, khususnya terkati dengan metodologi para ulama terdahulu. Bagi orang yang biasa berinteraksi dengan kitab kuning, terutama ushul fikih, kajian terkait teks, konteks, sosiokultural masyarakat tempatan dan lain sebagainya, bukanlah sesuatu yang asing. Semua itu menajdi bagian tak terpisahkan darai ilmu ushul fikih. Hanya saja, ushul fikih tetap mengacu pada kaedah yang berasal dari kajian induktif terhadap teks al-Quran.
Para ulama kita terdahulu tidak mengenal istilah hermeneutika. Istilah ini baru muncul belakangan di abad 19. Meski demikian, kajian terkait system pembacaan teks di kalangan ulama kita terdahulu sudah sangat berkembang. Bahkan buku-buku terkait rumusan system ijtihad tersebut serasa sangat melimpah. Bahasnya pun sangat mendetail dan lebih sesuai dengan karakteristik bahasa al-Quran.
Ketidak mampuan dalam mengenal terhadap turas Islam inilah yang mengakibatkan pemikir Islam kontemporer mudah latah dan “gumunan”. Maka kembalilah kepada turas Islam. Pelajari lagi ilmu ushul fikih niscaya kita tidak akan kaget dengan berbagai varian pembacaan teks kontemporer. Wallahu a’lam