Aksi teror yang meresahkan dan mengancam keharmonisan sosial rupanya tidak ada habisnya. Sialnya, para teroris seringkali memakai atribut dari agama tertentu. Alhasil, terjadilah stereotipe yang kelewat menyebalkan.
Teroris itu punya agama atau enggak? Ini pertanyaan yang sulit. Kalau dijawab punya, berarti kita sedang mengafirmasi agama tertentu mengajarkan aksi-aksi nir-kemanusiaan. Tapi kalau dijawab enggak punya, faktanya mereka mengklaim dirinya sedang melakukan misi keagamaan.
Untuk itu, saya kira penting membincang apa itu agama. Mula-mula, sebut saja ia sebagai sebuah institusi kepercayaan dengan segala infrastrukturnya. Dan, anggaplah itu sebagai agama.
Sementara, para pesohor dari rumpun ilmu sosial memberi keterangan bahwa agama merupakan sarana manusia dalam mengakui adanya kekuatan lain di luar dirinya. Ini seperti diungkap oleh Edward Burnett Tylor yang dikutip dari Seven Theories of Religion (1996) karya Daniel L. Pals. Hal senada juga dikatakan James George Frazer dalam The Golden Bough. Meski begitu, ia membedakan antara sihir dengan agama. Menurutnya, agama adalah keyakinan bahwa alam ini dikuasai oleh satu (atau lebih) dewa.
Di lain pihak, al-Quran punya sedikitnya dua diksi, ad-Din dan Millah. Keduanya merujuk pada makna yang kurang lebih sama namun dengan penggunaan yang berbeda. Pada yang pertama, umpamanya, sebuah ayat menyebut al-yauma akmaltu lakum diinakum…(telah Kusempurnakan pada hari ini untukmu agamamu), sedang pada yang kedua biasanya melekat dengan leluhur Nabi Muhammad, millata Ibrahim.
Meski begitu, millah terkadang dipakai juga untuk pengertian yang lebih teknis. Misalnya adalah kata millah dalam Surah al-Baqarah ayat 120 yang merujuk pada Yahudi dan Nasrani. Dengan demikian, disebut millah karena nabi-nabi yang memunculkannya dahulu sudah mengimlakkan untuk umat mereka.
Sebaliknya, seorang penafsir senior bernama Imam Ja’far ath-Thabari menulis dalam Jamiʿal-Bayan an Taʾwil ay al-Qurʾan bahwa kata ad-Din adalah serupa dengan ath-thaʿah (ketaatan). Namun, ketaatan dan kepatuhan di sini tidak sekadar “iya-iya” aja, atau membeo.
Artinya, ada semacam kesadaran bahwa ketaatan itu dibangun bukan dalam pengertian yang politis, tetapi totalitas. Maka di sini, ayat inna ad-dina inda Allah al-Islam menjadi relevan: bahwa sesungguhnya ketaatan yang diterima di sisi Allah adalah ketaatan yang totalitas dipersembahkan untuk-Nya saja.
Lagi pula, kata al-Islam sendiri berasal dari kata kerja aslama yang berarti: “masuk ke dalam kepasrahan dan ketundukan yang total”. Oleh karena itu, al-Islam bermakna kepatuhan cum ketundukan (al-Inqiyad bil-khudhluʿ), tanpa adanya resistensi sedikit pun.
Di titik ini, adalah tidak masuk akal jika para pelaku teror mengklaim aksinya sebagai ejawantah dari ajaran Islam. Apalagi jika mau sedikit lebih teliti membaca al-Quran, pastilah peledakkan rumah ibadah itu tidak akan pernah terjadi.
Lha gimana, Gusti Allah sendiri kok yang bilang “…kalau bukan lantaran Allah menolak keganasan manusia, sebagian dengan sebagian yang lain, tentulah sudah roboh biara-biara, gereja-gereja, sinagog-sinagog, dan masjid-masjid yang di dalamnya disebut nama Allah banyak sekali…” (Q.S. al-Hajj [22]: 40)
Rupanya, ayat ini memang cukup menarik. Tidak saja diawali (dalam teks utuhnya) oleh sebuah situasi getir berupa potret ketidakadilan sebagian manusia, tetapi ayat tersebut juga memposisikan masjid pada urutan yang paling belakang. Situasi redaksional ini, menurut Muhammad Ali dalam The Holy Quran, menyiratakan bahwa kehidupan seorang muslim mestinya bukan saja dikurbankan untuk menghentikan penganiayaan terhadap dirinya, tetapi seharusnya diabdikan juga untuk melayani masjid-masjid, dan juga memastikan keamanan gereja-gereja, dan sinagog, dan rumah ibadah lainnya.
Maka, jika umat Muslim bersepakat dengan tawaran tafsir tersebut, kita boleh sedikit berbangga karena belum tentu terdapat ajaran seadiluhung itu dalam kitab suci agama lain. Persoalannya, benarkah segenap umat Muslim sudah betul-betul “mendengar”, meresapi, atau sekadar mengakses ayat tentang Biara, Gereja, Sinagog, dan Mesjid?
Kalau melihat realitas yang ada, lewat kasus pembakaran, perusakan, dan bahkan pengeboman rumah ibadah, rasanya kita hanya semakin lantang menyeru “kembali ke al-Quran” tanpa pernah benar-benar membacanya.
Jadi, omong kosong kalau ada pelaku teror mengklaim dirinya, atau aksinya, atau misinya adalah bagian dari ajaran agama. Dan, kalau dipikir-pikir lagi, bukankah agama itu tidak lebih dari mata pelajaran di bangku sekolah?
Untuk itu, ketimbang berdebat soal “apa agama teroris”, saya kira akan lebih relevan mendebat “di mana para teroris mengenyam sekolah agama”. Heuheu…