RAMADHAN sudah tinggal sejengkal, namun sudahkah umat Islam menyiapkan dengan baik akan kedatangannya? Terlebih, beberapa hari lagi akan memasuki bulan Sya’ban yang merupakan bulan paling dekat dengan Ramadhan di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam begitu gencar berpuasa dan beribadah di dalamnya.
Sejenak kita baca kembali sejarah ulama dan tokoh muslim terdahulu. Menurut Mu’alla bin Fadhl rahimahullah, para generasi terdahulu memiliki kebiasaan unik terkait persiapan Ramadhan. Persiapan mereka untuk menyambut Ramadhan bukan seperti kebanyakan orang di masa kini yang baru siap ketika Ramadhan dekat. Kalaupun siap, kebanyakan hanya berkutat pada masalah persiapan ragawi, bukan rohani.
Mereka –para salaf saleh- enam bulan sebelum Ramadhan sudah mempersiapkan dengan baik dan meminta kepada Allah ta’ala agar diberi kesempatan kembali merasakan berkah Ramadhan.
Dalam buku berjudul “Nidâ al-Rayyân fii Fiqhi al-Shaumi wa Fadhli Ramadhân” (1417: 163-164) Sayyid Husain Affani mencatat dengan sangat baik kondisi mereka. Alkisah, ada suatu kaum dari kalangan salaf yang menjual budak wanitanya. Ketika Ramadhan sudah dekat, sang budak melihat mereka (tuan baru dan keluarga) bersiap-siap menyediakan makanan dan yang lainnya. Lalu budak itu bertanya perihal itu. Mereka menjawab, “Kami siap-siap untuk berpuasa Ramadhan.”
Mendengar jawaban demikian, lantas sang budak berkomentar, “Kalian tidak berpuasa melainkan Ramadhan! Sesungguhnya aku dulu berada pada suatu kaum yang semua waktunya adalah Ramadhan. Kembalikan aku pada tuanku yang dulu!” Narasi dan statement ini –meski dari budak- begitu bermutu tinggi. Ia mengungkap kondisi salaf saleh yang tidak membeda-bedakan ibadah baik di dalam maupun di luar Ramadhan. Karenanya, kalau mereka ditanya sudah siap menghadapi Ramadhan? Maka akan senantiasa siap karena hari-harinya adalah disadari laksana Ramadhan.
Senada dengan kisah tersebut, suatu hari, Hasan bin Shalih rahimahullah menjual budak wanita miliknya. Ketika pada pertengahan malam (di rumah tuan barunya), budak tersebut bangun untuk shalat dan memanggil seisi rumah, “Wahai penghuni rumah, shalat! Shalat!” Mereka menjawab, “Apa sudah waktunya shalat Subuh?” Ia menjawab, “Apakah kalian tidak shalat melainkan shalat wajib saja?” Ketika Hasan datang, budak itu berkata, “Kamu menjualku pada suatu kaum yang tidak shalat melainkan yang wajib saja. Kembalikan aku, kembalikan aku (kepadamu)!” Kalau pada kisah sebelumnya titik tekannya adalah puasa, pada kisah ini tekanannya adalah shalat malam. Persamaannya adalah ibadah mereka, di dalam maupun di luar Ramadhan tidak pernah dibeda-bedakan.
Suatu hari ada yang bercerita kepada Biysr rahimahullah, bahwa ada kaum yang beribadah dan bersungguh-sungguh dalam Ramadhan saja. Kemudian beliau berkomentar, “Betapa jeleknya kaum itu, hanya mengenal Allah pada waktu Ramadhan saja. Sesungguhnya orang saleh adalah yang beribadah kepada-Nya dan bersungguh-sungguh sepanjang tahun.”
Pernyataan Biysr ini semakin meneguhkan betapa mantapnya persiapan pasa salaf saleh dalam menghadapi Ramadhan.
Ketika salah seorang saleh ditanya mengenai mana yang paling utama antara bulan Rajab dan Sya’ban, ia menjawab, “Jadilah orang yang rabbani dan jangan menjadi Sya’bani!” Artinya, meski masing-masing memiliki keutamaan, mereka tidak membeda-bedakan antara bulan Ramadhan dengan bulan lain dalam hal ibadah dan kesungguhan.
Lebih mengesankan dari semua itu, ada diksi menarik yang diungkapkan sebagian salaf saleh terkait puasa, “Berpuasalah saat di dunia, dan jadikan waktu berbukamu adalah kematian. Dunia semuanya adalah Ramadhan. Orang-orang bertakwa berpuasa di dalamnya (dunia) dari syahwat-syahwat yang diharamkan. Jika maut telah menjemput, maka bulan puasa mereka sudah habis dan mereka memulai hari raya mereka.”
Mereka menganggap sebagai orang yang berpuasa (dalam arti mengendalikan diri) selama di dunia, dan baru merayakan Idul Fitrinya ketika sudah kembali kepada Allah.
Lalu, apa kabar Ramadhan? Sebagaimana salaf, sudahkah kita mempersiapkannya dengan baik jauh-jauh hari? Masihkah di antara kita ada yang membeda-bedakannya dengan bulan lain? Jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, akan berpengaruh pada kualitas Ramadhan tahun ini jika masing-masing dari umat Islam mau mengevaluasi diri dan meneladani apa yang dilakukan salaf saleh.
Tulisan ini akan penulis tutup dengan dua buah bait syair dari salaf saleh:
وَقَدْ صُمْتُ عَنْ لَذَّاتِ دَهْرِيْ كُلِّهَا
وَيَوْمَ لَقَاكُمْ ذَاكَ فِطْرُ صِيَامِيْ
Sungguh aku telah berpuasa dari segenap kelezatan hidupku
Pada hari saat bertemu dengan-Mu (saat meninggal) itulah hari raya Fitriku.*/Mahmud Budi Setiawan