bidah

Apakah Amal Pelaku Bid’ah Tidak Diterima?

Di antara bahaya bid’ah adalah menyebabkan amal menjadi tertolak atau tidak diterima. Namun, apakah seluruh bagian amalannya tertolak atau hanya bagian yang bid’ah saja yang tertolak? Simak uraian berikut ini.

Tertolaknya amalan bid’ah

Hal ini didasari oleh banyak dalil. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ، فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang mengada-adakan suatu perkara di dalam urusan (agama) kami ini yang tidak ada dasar di dalamnya, maka amal itu tertolak.” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)

Sebagaimana juga perkataan sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkaitan tentang bid’ah qadariyyah (sekelompok orang yang berbuat bid’ah dalam perkara akidah dengan mengingkari takdir),

فَإِذَا لَقِيتَ أُولَئِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنِّي بَرِيءٌ مِنْهُمْ، وَأَنَّهُمْ بُرَآءُ مِنِّي» ، وَالَّذِي يَحْلِفُ بِهِ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ «لَوْ أَنَّ لِأَحَدِهِمْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا، فَأَنْفَقَهُ مَا قَبِلَ اللهُ مِنْهُ حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ

“Apabila kamu bertemu mereka, maka kabarkanlah kepada mereka bahwa saya berlepas diri dari mereka, dan mereka berlepas diri dariku. Dan demi Zat yang ‘Abdullah bin ‘Umar bersumpah dengan-Nya, kalau seandainya salah seorang dari mereka berinfaq dengan emas sebesar gunung Uhud, niscaya sedekahnya tidak akan diterima hingga dia beriman kepada takdir (baik dan buruk).” (HR. Muslim no. 8)

Juga sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkaitan dengan kelompok Khawarij,

يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ مُرُوقَ السَّهْمِ مِنَ الرَّمِيَّةِ

“Mereka keluar dari agama (Islam) sebagaimana keluarnya anak panah dari busur panah.“

Setelah sebelumnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan,

يَخْرُجُ فِيكُمْ قَوْمٌ تَحْقِرُونَ صَلاَتَكُمْ مَعَ صَلاَتِهِمْ، وَصِيَامَكُمْ مَعَ صِيَامِهِمْ، وَعَمَلَكُمْ مَعَ عَمَلِهِمْ، وَيَقْرَءُونَ القُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ

“Akan muncul suatu kaum di tengah-tengah kalian yang kalian akan meremehkan salat kalian bila melihat salat mereka, begitu juga dengan puasa kalian jika melihat puasa mereka, serta amal kalian jika melihat amal mereka. Mereka membaca Al-Qur’an, namun bacaan mereka tidak sampai melewati batas tenggorokan.” (HR. Bukhari no. 3414, 4771, 5058, 5811, 6532 dan Muslim no. 1063)

Dalam hadis di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggambarkan kondisi orang-orang khawarij yang sangat gemar beribadah. Kuantitas salat, puasa, atau amal mereka secara umum itu lebih dari amal yang dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Akan tetapi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggambarkan keluarnya mereka dari agama seperti anak panah yang mampu menembus tubuh hewan (sasaran panah) karena begitu kuatnya anak panah tersebut melesat dari busur panah.

Oleh karena itu, jika telah ditetapkan bahwa amal sebagian pelaku bid’ah (dalam hal ini adalah qadariyyah dan khawarij) itu tidak diterima, maka setiap pelaku bid’ah perlu merasa khawatir akan memiliki nasib yang sama.

Rincian amalan bid’ah yang tertolak

Penjelasan Syekh Muhammad bin Sa’id Ar-Raslan

Dalam kitab “Diraasatun fil Bid’ati wal Mubtadi’in” [1], dijelaskan oleh Syekh Muhammad bin Sa’id Ar-Raslan bahwa ada dua kemungkinan maksud dari “amal pelaku bid’ah tidak diterima”, yaitu:

Kemungkinan pertama

Semua amal ibadahnya tidak diterima sama sekali, baik amal yang sesuai dengan sunnah (tidak tercampur bid’ah) atau amal yang merupakan bid’ah. Kemungkinan pertama bisa saja terjadi dalam salah satu dari tiga bentuk berikut ini:

Pertama, semua status amalan pelaku bid’ah dihukumi sesuai zahir dalil-dalil di atas. Yaitu semua pelaku bid’ahbid’ah apapun itu, maka amalnya tidak diterima sama sekali. Baik amal tersebut dimasuki bid’ah ataukah tidak.

Kedua, seluruh amalannya tertolak jika bid’ah yang dilakukan itu terjadi pada salah satu landasan pokok agama, sedangkan banyak amalan yang bercabang dari landasan tersebut.

Sebagaimana jika seseorang memiliki keyakinan bahwa tidak boleh mengamalkan hadis ahad secara mutlak. Karena mayoritas taklif (pembebanan syariat) dibangun di atas hadis-hadis tersebut. Dan beban syariat itu diberlakukan kepada seseorang, atas dasar dalil Al-Qur’an dan Sunnah rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika dalilnya ditolak, maka konsekuensinya, semua amalannya juga tertolak.

Ketiga, dalam sebagian perkara ta’abbudiyah dan juga beberapa perkara lainnya, terkadang keyakinan bid’ah-nya tersebut akan menyeretnya untuk melakukan takwil (merubah makna dalil). Kemudian takwil ini akan mempengaruhi akidahnya sehingga menjadi lemah, dan berujung membatalkan semua amalnya karena lemah dan rusaknya akidah.

Bentuk ketiga ini bisa diperjelas dengan beberapa contoh berikut ini:

Contoh pertama, seseorang yang melakukan bid’ah, terkadang lama kelamaan ia akan meyakini bahwa selain dalil, akal juga bisa menetapkan syariat. Dan dalil itu hanya sebagai penguat dari apa yang ditunjukkan oleh akalnya. Sehingga pelaku bid’ah ini menjadikan dalil itu sebagai pendukung dan penguat saja, bukan penentu utama dalam penetapan hukum syar’i. Namun, penentu utamanya adalah akal. Sehingga semua amal yang dia lakukan dibangun di atas apa yang ditunjukkan atau ditetapkan oleh akalnya, bukan atas apa yang ditunjukkan oleh dalil. Ini adalah akidah yang rusak dan menyimpang. Sehingga, dalam kondisi inilah, seseorang bisa tertolak semua amalannya karena rusaknya akidah.

Contoh kedua, orang yang melakukan bid’ah, ia menganggap bid’ah itu sebagai sebuah kebaikan. Konsekuensinya, ia beranggapan bahwa syariat Islam itu belum sempurna sehingga perlu ditambah dan dimodifikasi kembali. Ini akan menyeret dia untuk mengingkari atau men-takwil firman Allah Ta’ala,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian.” (QS. Al-Maidah [5]: 3)

Dalam kondisi inilah, seseorang bisa tertolak semua amalannya karena menolak atau mentakwil ayat Al-Qur’an.

Keempatbid’ah yang menyebabkan seluruh amal tertolak adalah jika seseorang terjerumus dalam bid’ah yang sampai pada level kekufuran. Misalnya, bid’ah qadariyyah seperti yang disebutkan dalam riwayat di atas. Orang yang tidak beriman kepada takdir, maka dia kafir. Dan sebanyak apa pun amal ibadah orang kafir, tidak akan diterima amalannya.

Kemungkinan kedua

Amalan yang tidak diterima adalah hanya amalan yang tercampur dengan bid’ah. Adapun amal lain yang sesuai dengan sunnah, maka tetap diterima. Hal ini ditunjukkan oleh sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ، فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa yang mengada-adakan suatu perkara di dalam urusan (agama) kami ini yang tidak ada dasar di dalamnya, maka amal itu tertolak.” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)

Di dalam riwayat Muslim dengan lafaz,

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka dia tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)

Penjelasan Syekh Sa’ad bin Nashir Asy-Syatsri

Syekh Sa’ad bin Nashir Asy-Syatsri menjelaskan bahwa terkait dengan tertolak tidaknya suatu amal ibadah yang mengandung bid’ah, terdapat rincian yang perlu diperhatikan:

Pertama, jika bid’ah itu 100% murni baru, tidak ada asal usulnya sama sekali dari syariat. Jika ini yang terjadi, maka keseluruhan ibadah baru tersebut tertolak. Misalnya, jika seseorang berbuat bid’ah dengan mendirikan salat wajib keenam dalam sehari semalam.

Kedua, jika ibadah tersebut pada asalnya ada tuntunan dari syariat, namun dilakukan dengan suatu tata cara yang bid’ah. Jika ini yang terjadi, ada dua rincian:

Rincian pertama, jika bid’ah tersebut menyebabkan bentuk lahiriah dari suatu ibadah berubah. Misalnya, seseorang mendirikan salat zuhur lima rakaat. Rakaat kelima dalam hal ini adalah bid’ah yang menyebabkan bentuk lahiriah salat zuhur berubah. Oleh karena itu, yang tertolak bukan hanya rakaat kelima saja, namun keseluruhan salat zuhur yang didirikan orang tersebut juga tertolak.

Rincian kedua, bid’ah yang ada tidak sampai menyebabkan berubahnya bentuk lahiriah dari suatu ibadah. Misalnya, seseorang salat zuhur dengan membaca niat “usholli … “ dengan suara keras. Bacaan usholli dengan suara keras sebelum salat tidaklah mengubah bentuk lahiriah salat. Dalam kondisi ini, yang tertolak hanyalah amalan bid’ah-nya saja (yaitu, bacaan usholli), sedangkan amal yang tercampur dengan bid’ah (yaitu, salat zuhur) tidaklah tertolak. [2]

Penjelasan Syekh Abdul Karim Al-Khudhair

Syekh Abdul Karim Al-Khudhair juga menjelaskan, “Apakah salat yang mengandung bid’ah dianggap satu bagian seluruhnya? Apakah kita katakan bahwa salat itu satu bagian sejak awal takbir sampai salam? Apakah dengan adanya praktek bid’ah dalam salat lalu membuat semua bagian salatnya batal? Karena teks hadis “maka amalannya tertolak” bisa berkonsekuensi membuat seluruh salatnya batal.

Kita katakan, masalah ini terkait dengan kaidah, “Jika ada amalan makruh atau haram dalam salat, maka salatnya batal dan tertolak.” Ini merupakan kaidah ulama zahiriyah. Yang mereka memandang bahwa adanya perkara yang dilarang dalam suatu amalan, akan berkonsekuensi batalnya amalan. Namun, jumhur ulama tidak demikian. Mereka merinci hal ini. Jika perkara terlarang yang dilakukan itu terkait dengan bagian inti dari ibadah, atau terkait dengan syarat dari suatu ibadah, maka ibadahnya batal.

Namun, perkara terlarang yang dilakukan itu terkait dengan perkara eksternal dari ibadah tersebut, apakah ibadahnya menjadi batal?

Contohnya, jika seseorang lelaki salat menggunakan surban dari sutra. Jika mengikuti kaidah ulama zahiriyah, salat orang tersebut batal dan ia adalah mubtadi‘ dalam masalah ini. Karena ia mengamalkan amalan yang tidak Nabi tuntunkan dalam salat. Namun, jumhur ulama tidak berpendapat demikian. Menurut jumhur ulama, salat orang tersebut sah, namun ia mendapat dosa karena memakai kain sutra. Berbeda jika ia melakukan perkara terlarang pada bagian inti dari salat. Seperti orang yang mengerjakan salat sunnah pada waktu yang terlarang tanpa sebab, atau seorang wanita salat dalam keadaan haid, atau salat dalam keadaan junub, maka ini semua batal salatnya. Demikian juga, sebagaimana orang yang puasa di hari ‘Id, ini juga tertolak puasanya. Karena ia melakukan perkara yang terlarang yang terkait dengan inti amalan.

Demikian juga, jika melakukan perkara yang terlarang yang terkait dengan syarat amalan. Padahal syarat adalah sesuatu yang menyebabkan amalan menjadi tidak sah tanpanya. Maka ketika itu, salat menjadi batal, ibadahnya batal, dan akadnya batal.

Namun, jika melakukan perkara terlarang yang bersifat eksternal, maka ini tidak membatalkan amalannya. Ia mendapatkan pahala, salatnya sah, tidak tertolak ketika itu, namun ia mendapatkan dosa.” [3]

Demikian penjelasan ini, semoga bermanfaat.

***

Oleh seorang hamba yang sangat butuh ampunan Rabbnya,

Penulis: M. Saifudin Hakim

Referensi:[1] Disarikan dari kitab Diraasatun fil Bid’ati wal Mubtadi’in, karya Syekh Dr. Abu ‘Abdillah Muhammad bin Sa’id Ar-Raslan, penerbit Daarul Minhaj KSA, cetakan pertama tahun 1436 H (hal. 88-91). [2] Penjelasan ini dinukil secara makna oleh guru kami, Ustadz Dr. Aris Munandar hafizhahullah, dalam website beliau di sini. [3] Ar-Riyadhuz Zakiyyah Syarhu Al-Arba’in An-Nawawiyyah, karya Syekh Abdul Karim Al-Khudhair, cetakan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama tahun 1438 H, hal. 120. [4] Penulis mengucapkan jazakallahu khairan kepada Ustadz Yulian Purnama, S.Kom yang telah memberikan saran dan koreksi atas draft artikel ini.

Sumber: https://muslim.or.id/69538-apakah-amal-pelaku-bidah-tidak-diterima.html