Pada hari Selasa, 2 Juni 2020, Menteri Agama RI, Fachrul Razi, menyampaikan keputusan Pemerintah untuk tidak memberangkatkan jemaah Indonesia pada musim haji 1441 H/2020M. Keputusannya itu secara tertulis tertuang dalam Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 494 tahun 2020 tentang Pembatalan Keberangkatan Jemaah Haji pada Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1441H/2020 M.
Tentu ini merupakan keputusan yang sangat pahit untuk diambil, tetapi memang itu adalah yang paling tepat. Keputusan Menteri Agama lalu disambut secara positif oleh berbagai kalangan, tak terkecuali oleh sejumlah organisasi masyarakat muslim besar di negeri ini, seperti Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Pengurus Pusat Muhammadiyah (PP Muhammadiyah), dan Majelis Ulama Indonesia Pusat (MUI Pusat). Bahkan, tidak hanya dari organisasi masyarakat muslim, sejumlah organisasi lintas agama pun memberikan apresiasi atas keputusan itu.
Menurut hemat penulis, keputusan Menteri Agama itu memang tepat untuk diambil. Meski ini berkonsekuensi pada semakin bertambahnya masa tunggu jemaah haji, tetapi keputusan ini memang harus segera diambil. Sekurang-kurangnya terdapat empat argumen yang membenarkan keputusan ini, yakni argumentasi syariat, regulasi, sejarah, dan pertimbangan teknis operasional.
Syariat
Setidaknya, terdapat dua hal mendasar dari Syariat Islam yang membenarkan keputusan ini. Pertama, dari aspek maqashid al-syariah atau maksud ditetapkannya syariat Islam.
Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lakhmi al-Syatibi yang biasa dikenal dengan Imam Al-Syatibi, filosof hukum Islam dari Spanyol yang bermazhab Maliki, merupakan tokoh utama yang mengembangkan perspektif Maqashid Syariah ini. Menurutnya, ditetapkannya suatu hukum adalah untuk kemaslahatan manusia.
Teks-teks dalam ajaran Islam menunjukkan, bahwa sebuah syariat itu disebabkan karena adanya illat (faktor penyebab ditetapkannya sebuah hukum). Dalam pandangan Al-Syatibi, ternyata illat hukum itu bermuara kepada kemaslahatan manusia sendiri, baik secara global (baca Q.S. Al-Anbiya: 107) maupun secara parsial (baca Q.S. Al-Maidah: 6). Oleh karenanya, kemaslahatan manusia menjadi dasar pijakan sebuah hukum.
Menurut Al-Syatibi, ajaran Islam sesungguhnya berorientasi pada lima kebutuhan dasar (al-dlaruriyat al-khamsah), yakni hifzh al-din (menjaga agama), hifzh al-nafs (menjaga jiwa), hifzh al-‘aql (menjaga nalar), hifzh al-nasl (menjaga keturunan), dan hifzh al-mal (menjaga harta benda).
Di tingkat implementasinya, kelima kebutuhan dasar ini akan dikategorisasikan menjadi dlaruriyah (primer), hajiyat (sekunder), dan tahsiniyah (tertier). Bisa jadi, bentuk ritualitas ibadah pada kondisi tertentu menjadi dlaruriyah (primer), tetapi dalam kondisi yang berbeda menjadi hajiyat (sekunder), karena mempertimbangkan fakta lokalitas dan pertimbangan implementasinya dari kelima kebutuhan dasar (al-dlaruriyat al-khamsah) tersebut.
Dalam konteks ibadah haji tahun 2020 M/1441 H, perspektif Maqashid Al-Syariah Al-Syatibi penting untuk dijadikan analisa. Ibadah haji ini merupakan perintah Allah SWT, sebagaimana dinyatakan dalam QS.Ali Imran: 97, dan ia merupakan bagian dari prinsip menjaga agama (hifzh al-din). Akan tetapi, pada aspek implementasinya di tengah situasi wabah pandemi coronavirus disease 2019 (Covid-19), ternyata pelaksanaan ibadah haji di tahun 2020 sangat potensial bertentangan dengan kesehatan dan keselamatan jemaah. Tentu, kesehatan dan keselamatan atas jiwa manusia sebagai dari menjaga jiwa (hifzh al-nafs) menjadi kebutuhan yang harus diprioritaskan (dlaruriyah) dibanding dengan pelaksanaan ibadah haji itu sendiri.
Di antara kaidah ushuliyah (kaidah yang dijadikan panduan dalam merumuskan hukum islam) menyebutkan bahwa hukum Islam harus dibangun atas prinsip La dharara wa La dhirara, tidak memudaratkan dan tidak pula dimudaratkan, atau tidak menularkan dan tidak pula tertularkan suatu penyakit. Dalam konteks pandemi saat ini, jemaah haji berpotensi akan tertular maupun menularkan covid-19 dari atau kepada jemaah lainnya.
Pada aspek ini, kita menjadi mafhum atas alasan yang dikemukakan oleh Menteri Agama, sebagaimana yang dinyatakan dalam website resmi Kementerian Agama RI, yang mengutamakan keselamatan jemaah dengan membatalkan keberangkatan haji 1441H/2020M.
Menurut Menteri yang berpangkat Jenderal itu, selain mampu secara ekonomi dan fisik, kesehatan, keselamatan, dan keamanaan jemaah haji harus dijamin dan diutamakan, sejak dari embarkasi atau debarkasi, dalam perjalanan, dan juga saat di Arab Saudi.
Kedua, dari aspek fiqh, syarat wajib ibadah haji sekurang-kurangnya meliputi lima hal, yakni Islam, berakal, baligh, merdeka, dan mampu (istitha’ah). Khusus aspek mampu (istitha’ah) dalam ibadah haji itu setidaknya meliputi mampu secara ekonomi, mampu secara fisik, dan kemampuan dalam perjalanan yang diwujudkan dalam bentuk aman selama perjalanan.
Dalam konteks keamanan dalam perjalanan ibadah haji di tengah pandemik covid-19, tentu ini menjadi pertanyaan sendiri. Pasalnya, Covid-19 yang kini tengah melanda lebih dari 200 (dua ratus) negara dan lebih dari 6,4 juta kasus itu sangat mengancam keselamatan dalam perjalanan ibadah haji. Dengan demikian, menurut hemat penulis, andai tanpa adanya keputusan pemerintah pun, masyarakat muslim Indonesia tidak memenuhi syarat wajibnya perjalanan ibadah haji itu sendiri, karena tidak amannya dalam perjalanan.
Regulasi
Meski negeri ini secara formal bukanlah negara agama, tetapi hampir seluruh kepentingan umat beragama telah diberikan regulasi dan fasilitas yang memadai oleh pemerintah, tak terkecuali dalam penyelenggaraan ibadah haji. Dengan adanya regulasi ini, pemerintah berkewajiban untuk melindungi serta memberikan fasilitas yang cukup dalam penyelenggaraan ibadah haji.
Melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah yang telah disahkan pada 26 April 2019, kedudukan ibadah haji demikian kuat. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 ini merupakan penyempurnaan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji yang ditetapkan pada tanggal 28 April 2008 sebelumnya. Dalam bagian keempat paragraf kedelapan pasal 41 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019, Menteri Agama dinyatakan “Bertanggung jawab memberikan perlindungan kepada jemaah haji dan petugas haji sebelum, selama, dan setelah Jemaah haji dan petugas haji melaksanakan ibadah haji”.
Amanah ini tentu menjadi kewenangan Menteri Agama untuk memastikan perlindungan bagi seluruh warga negara yang menunaikan ibadah haji. Akan tetapi, dalam situasi Covid-19 ini, perlindungan warga negara yang menunaikan ibadah haji tidak ada yang mampu melakukan jaminan itu. Sebab, sebagaimana dimafhumi, berbagai sebab dan kondisi orang yang terkena covid-19 memiliki dimensi yang cukup beragam.
Misalnya, mereka yang memiliki imunitas tinggi, sehingga meskipun terpapar Covid-19 tetapi tergolong orang tanpa gejala (OTG), dalam waktu bersamaan justru dapat menularkan virus kepada orang lain yang memiliki daya imunitas lemah.
Oleh karenanya, Menteri Agama sebagai penanggung jawab dalam pelaksanaan ibadah haji ini, ia memiliki otoritas dalam memutuskan penundaan keberangkatan jemaah. Hal ini secara konkret diwujudkan dalam Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 494 tahun 2020 tentang Pembatalan Keberangkatan Jemaah Haji pada Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1441H/2020 M.
Selain atas dasar Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, Menteri Agama selaku unsur pemerintah wajib turut serta dalam penanggulangan wabah. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular, terutama dalam Pasal 10, yang menyatakan “Pemerintah bertanggung jawab untuk melaksanakan upaya penanggulangan wabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)”. Jika merujuk pada tersebut, di antara upaya penanggulangan itu adalah melakukan upaya penanggulangan lainnya.
Menag mewujudkan upaya penanggulangan lainnya tersebut dengan tidak memberangkatkan jemaah haji guna mengurangi risiko penyebaran wabah Covid-19 . Sebaliknya, jika Menag tetap melakukan pemberangkatan jemaah haji, maka ia dinilai berpotensi turut serta menyebarkan wabah.
Sejarah
Sejatinya, pembatalan pemberangkatan ibadah haji baik dalam konteks Indonesia maupun di Arab Saudi sendiri, kali ini bukanlah yang pertama kalinya. Telah ada preseden dan kejadian serupa yang mendahuluinya. Dalam konteks negara Indonesia pasca merdeka, pada tahun 1947, Menteri Agama Fathurrahman Kafrawi, mengeluarkan Maklumat Kementerian Agama Nomor 4 Tahun 1947 tentang Penghentian Ibadah Haji di Masa Perang. Keputusan Menteri Agama saat itu didorong oleh pernyataan Hadratusy Syaikh KH Hasyim Asy’ari, pada tanggal 20 April 1946, yang disampaikan dalam orasinya melalui Radio bahwa berangkat haji tahun itu hukumnya haram karena kemerdekaan bangsa sedang terancam direbut kembali oleh penjajah Belanda, dan perjalanannya tidak aman. Ancaman penjajah Belanda, sebagai salah satu unsur penting indikator istatha’ah dalam wujud keamanan perjalanan, dijadikan dasar atas pembatalan ibadah haji.
Pemerintah Indonesia bukanlah yang pertama memutuskan pembatalan keberangkan jemaah haji untuk tahun 2020 M/1441 H. Sebelumnya pada akhir Maret 2020, Pemerintah Mesir melalui Kementerian Wakaf meminta warganya untuk menunda niat haji tahun ini, karena anggaran negara untuk haji dialihkan untuk penanganan Covid-19.
Dari sisi sejarah ibadah haji di tanah suci, pembatalan ibadah haji juga telah beberapa kali dilakukan. Merujuk tulisan Oman Fathurrahman, guru besar UIN Jakarta sekaligus juru bicara Kementerian Agama RI, musim haji tahun 749 H/1348-1349 M dibatalkan karena terjadi wabah di Mekah yang menyebabkan sejumlah besar jemaah haji meninggal dunia.
Pada tahun 1865 M, rute perjalanan ibadah haji ke dan dari Mekkah/Madinah menjadi kluster penyebaran wabah kolera yang amat mengerikan hingga korban sebanyak 15.000 jemaah haji meninggal akibat wabah tersebut. Bahkan, pada November 2009, WHO mencatat sebanyak 17.000 korban jemaah haji akibat flu A H1N1.
Berdasarkan data-data ini, kita semua semakin yakin bahwa sebuah wabah itu dapat menimpa kepada siapapun. Ia tidak memandang agama, negara, dan sedang melakukan aktivitas apapun. Umat Islam yang sedang menunaikan ibadah haji pun bisa menjadi bagian dari korban atas terjadinya wabah itu. Demikian halnya dengan wabah Covid-19, ia juga berpotensi akan menimpa siapapun, termasuk kepada jamaah haji jika ia melaksanakannya.
Teknis Operasional
Argumen keempat atas dimakluminya pembatalan keberangkatan jemaah haji adalah dari sisi teknis-operasional pelaksanaan ibadah haji. Sebagaimana dimaklumi, Pemerintah Arab Saudi hingga tanggal 1 Juni 2020 belum memberikan kepastian tentang pelaksanaan ibadah haji untuk tahun 2020 M/1441 H. Sementara, pemerintah Indonesia dengan jumlah jemaah yang demikian besar, direncanakan seharusnya sudah menerbangkan kelompok terbang (kloter) pertama pada 26 Juni 2020 menuju Madinah. Artinya, hanya terdapat rentang selama 25 hari saja sejak 1 Juni 2020.
Sementara, proses penerbitan visa, sewa perbangan, sewa hotel, pemesanan makanan, dan lain-lain belum dipastikan, sebab belum adanya kepastian dari Pemerintah Saudi sendiri. Bahkan, andaipun hal tersebut telah dilakukan, dalam situasi Covid-19 ini, diperlukan waktu 28 (dua puluh delapan) hari untuk masa karantina sesuai protokol kesehatan, yakni 14 hari karantina di embarkasi di Indonesia, dan 14 hari karantika di demarkasi di Saudi Arabia.
Melihat waktu yang tidak memungkinkan ini, tentu menjadi persoalan tersendiri yang memiliki dampak mudarat yang lebih besar jika ibadah haji tetap dilaksanakan.
Kerumitan secara teknis penyelenggaraan ibadah haji memang bukanlah hal yang mudah. Tidak semua hal-hal teknis penyelenggaraan ibadah haji sepenuhnya menjadi otoritas pemerintah Indonesia, tetapi sebagian besar memang sangat tergantung dari otoritas Pemerintah Saudi Arabia. Ketika jemaah itu sudah berada di tanah suci, Makkah Madinah, dan beberapa tempat di Saudi Arabia, maka tentu jemaah haji telah terikat dengan ketentuan-ketentuan yang diberlakukan oleh pemerintah Arab Saudi. Apalagi dengan persoalan sewa hotel, persediaan makan, tenda di Arafah dan Mina, visa haji dan penerbangan, serta hal-hal teknis lainnya, itu semua sangatlah rumit dan sama sekali tidak sederhana.
Belum lagi dari aspek jumlah pembiayaan yang harus dikeluarkan. Dari sisi penerbangan, misalnya, jumlah satu kloter yang biasanya diisi oleh sekitar 400 jemaah, oleh karena harus mengikuti ketentuan jaga jarak (physical distancing), maka hanya dapat diisi oleh separuhnya saja, yakni sekitar 200 (dua ratus) jemaah. Belum lagi, jumlah jemaah untuk setiap kamar, maka tentu dibutuhkan banyak kamar dan hotel yang harus disiapkan. Jumlah pembiayaan yang digunakan untuk penerbangan dan hotel, menurut hemat penulis, akan menimbulkan biaya yang jauh lebih besar; tentu ini juga akan menjadi perhatian kita semua.
Inti dari semuanya, mulai dari aspek syariat hingga aspek teknis operasionalnya, jika ibadah haji tetap dilaksanakan memang cenderung menyulitkan dan tidak mudah untuk dilaksanakan. Oleh karenanya, keputusan Menteri Agama untuk membatalkan perjalanan ibadah haji ini sungguh sangatlah tepat.
Demikian, semoga manfaat.
Dr. Hj. Mesraini, SH. M.Ag
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta