Argumentasi Quraish Shihab tentang Bid’ah dan Praktik Keberagamaan yang Salah

Argumentasi Quraish Shihab tentang Bid’ah dan Praktik Keberagamaan yang Salah

Berikut ini argumentasi Quraish Shihab tentang bid’ah dan praktik keberagamaan yang salah.Tanpa disadari, perkembangan zaman memunculkan banyak hal-hal baru dalam kehidupan masyarakat, termasuk praktik beragama. Hal baru ini dianggap oleh beberapa kelompok merupakan bid’ah yang dilarang oleh syariat Islam

Kelompok ini pun cenderung menyalahkan hal baru yang datang padahal banyak ulama tidak melarangnya. Lalu bagaimana konsep bid’ah yang benar? Apakah semua yang baru itu dilarang oleh Islam?

Syahdan. Bid’ah adalah sesuatu yang baru. Lalu apakah semua yang baru itu dinamakan bid’ah? Jika ditinjau dari segi bahasa maka jawabannya adalah apapun yang baru itu bid’ah. Apakah semua yang baru Anda lakukan tetapi tidak dilakukan oleh Nabi itu bid’ah? Kelompok takfiri mengatakan itu adalah bid’ah. Jabat tangan habis Ashar apakah bid’ah apa bukan? Maulid Nabi apakah termasuk bid’ah? Jawabannya iya bid’ah karena Nabi tidak melakukannya.

Sebagian ulama yang luas wawasannya yang memiliki toleransi besar, belum tentu yang tidak diamalkan oleh Nabi itu bid’ah, dan belum tentu juga yang diamalkan oleh Nabi itu sunnah. Akan tetapi, kalau Nabi mengamalkan dan Anda mengikutinya karena cinta Nabi, maka Anda akan mendapatkan pahala. Dalam hal ini, pahala didapatkan bukan karena Anda mengamalkannya, melainkan karena Anda cinta kepada Nabi.

Salah satu tokoh Ahlussunnah yang banyak menyerang Mu’tazilah yaitu Ar-Razi dalam tafsirnya mengatakan, ketika dia menafsirkan surat Al-Alaq 9-10. Allah Swt. berfirman:

اَرَءَيْتَ الَّذِيْ يَنْهٰى. عَبْدًا اِذَا صَلّٰى

Artinya: “Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang. Seorang hamba ketika dia melaksanakan shalat.” (QS. Al-Alaq [96]: 9-10).

Ar-Razi mengatakan, Sayyidina Ali pernah Shalat Idul Fitri, dan sebelum shalat dilapangan ada orang-orang yang berdiri shalat sunnah. Lalu teman-teman Sayyidina Ali berkata “Itu shalat sunnah memangnya boleh?” Ali menjawab “Yang saya tau Nabi tidak melakukannya. Silahkan Anda larang.” Dia berkata “Tidak. Saya takut jika melarang masuk kelompok yang dikecam oleh Allah.”

Itu artinya, jangan melarang semua orang, karena bukan berarti yang tidak dilakukan oleh Nabi itu terlarang, dan tidak semua yang diamalkan oleh Nabi itu dianjurkan. Memang ada hal-hal boleh jadi kita berbeda pendapat. Misalnya Nabi sebelum fajar sudah bangun, dan Bilal ketika fajar Adzan memanggil orang nunggu shalat subuh. Nabi sambil duduk baring-baring. Apakah baring-baring sunnah atau tidak? Contoh lain, Nabi tidak makan biawak (Dhab), lalu haramkah biawak? Nabi berkata “Tidak. Saya hanya tidak suka.”

Banyak ha ditinggalkan Nabi yang bukan berarti bahwa hal itu tidak boleh. Namun berbeda dengan kelompok pemurnian yang mengatakan bahwa apa yang tidak dilakukan oleh Nabi, maka hal itu tidak boleh dikerjakannya. Yang jelas, sesuatu yang tidak diamalkan oleh Nabi waktu itu karena belum ada dorongan untuk melakukannya.

Seperti Nabi tidak membukukan al-Qur’an karena saat itu belum diperlukan. Kemudian Nabi pernah melarang menulis haditsnya, karena saat itu yang pandai menulis hanya sedikit dan alat tulis masih sedikit. Dalam hal ini, kita harus melihat apakah motivasinya ibadah apa bukan. Itu sebabnya Al-Ghazali berkata bukan semua yang baru itu terlarang, melainkan yang terlarang itu adalah yang bertentangan dengan sunnah yang telah disepakati. Pendek kata berbeda boleh asalkan tidak bertentangan.

Quraish Shihab mengatakan, kalau Anda ingin agar kita hidup seperti zaman Nabi, maka kita bisa maju. Yang ingin kita kembali persis seperti pada zaman Nabi itu adalah orang yang terlambat lahirnya. Mestinya dia lahir dulu. Dan yang berkata semuanya bid’ah (ini tidak boleh), itu mestinya hidupnya zaman dulu jangan sekarang. Bukankah Islam itu kita akui “shalih likulli zaman wa makan” (sesuai kapan waktunya dan kapan tempatnya).

Islam mengajarkan apa yang dinamakan hak veto. Misalnya, jika Anda lapar yang memungkinkan bisa menyebabkan kemudharatan, apakah boleh memakan babi atau tidak? Artinya, Islam banyak mengajarkan dan menjadika bahwa “oh ini bisa diamalkan” walaupun berbeda dengan yang dulu. Sebaliknya, kalau Anda berkata harus sama dengan yang dulu, maka habislah kita semua.

Sama sekali tidak terlarang pakai jenggot dan akan sangat bagus kalau Anda mengikuti Nabi, tetapi jangan salahkan orang yang tidak pakai jenggot. Sekali lagi, bagus kalau tujuan Anda mengikuti Nabi. Karena itu, kalau ada orang yang mengatakan ini dan itu haram dan bid’ah, maka berarti pemahaman Islamnya kurang, kata Quraish Shihab. Kekeliruan orang-orang yang berkata demikian sudah membelenggu kita, tidak bisa begini dan begitu.

Tak heran jika para ulama-ulama kemudian merumuskan kaidah-kaidah. Misalnya, ketika Nabi mengutus sahabat Muadz bin Jabal ke Yaman. Nabi kemudian bertanya kepada Muadz “Bagaimana cara kamu menetapkan hukum?” Muadz menjawab “Saya merujuk ke al-Qur’an.” Nabi bertanya lagi “Kalau kamu tidak dapat di al-Qur’an?”

Muadz menjawab lagi “Saya merujuk ke hadits dan jika di hadits tidak ada maka saya menggunakan nalar saya.” Nabi terus berkata “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan tuntunan kepada utusan Rasulullah sesuai dengan apa yang direstui dan disetujui oleh Allah dan Rasul-Nya.”

Dari sini kita tahu, bahwa tidak semuanya ada di dalam al-Qur’an, hadits. Semuanya sudah sepakat ada analogi, ada mashalih mursalah. Jadi bukan ijma’, melainkan kita juga harus menggunakan nalar. Jelasnya, jangan mudah mengkafirkan, mendurhakakan seseorang, dan berkata ini dan itu tidak boleh kalau tidak asal-usulnya serta alasannya.

Misalnya lagi, ketika waktu perayaan maulid dilaksanakan di bulan Dzul Hijjah apakah salah? Jawabannya tidak salah. Sebab, kata Quraish Shihab, saya melihat nilai-nilainya yang ada di sana. Itu sebabnya ulama-ulama dulu berkata:

ولو انا عملنا كل يوم لأحمد مولدا قد كان واجب

Artinya: “Seandainya setiap hari kita adakan maulid untuk Nabi itu wajib dan wajar.”Sekali lagi, kita tidak melihat tanggalnya, melainkan melihat nilai-nilainya. Dan di dalam al-Qur’an tidak ada disebut tanggal dan tahun, melainkan yang disebut adalah nilainya.

Demikian penjelasan terkait argumentasi Quraish Shihab tentang bid’ah dan praktik keberagamaan yang salah. Wallahu a’lam bisshawab.

BINCANG SYARIAH