Baca pembahasan sebelumnya Ayat-Ayat Shiyam (Bag. 4)
Tafsir QS. al-Baqarah ayat 187
Allah Ta’ala berfirman,
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ ۗ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ ۖ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ ۚ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.” [QS. al-Baqarah: 187]
Baca Juga:
Sebab Turun Ayat
Terdapat riwayat dari al-Barra bin Azib radhiallahu ‘anhu bahwa beliau menuturkan sebab turunnya ayat yang mulia ini. Beliau menyatakan,
كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ الرَّجُلُ صَائِمًا فَحَضَرَ الْإِفْطَارُ فَنَامَ قَبْلَ أَنْ يُفْطِرَ لَمْ يَأْكُلْ لَيْلَتَهُ وَلَا يَوْمَهُ حَتَّى يُمْسِيَ وَإِنَّ قَيْسَ بْنَ صِرْمَةَ الْأَنْصَارِيَّ كَانَ صَائِمًا فَلَمَّا حَضَرَ الْإِفْطَارُ أَتَى امْرَأَتَهُ فَقَالَ لَهَا أَعِنْدَكِ طَعَامٌ قَالَتْ لَا وَلَكِنْ أَنْطَلِقُ فَأَطْلُبُ لَكَ وَكَانَ يَوْمَهُ يَعْمَلُ فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ فَجَاءَتْهُ امْرَأَتُهُ فَلَمَّا رَأَتْهُ قَالَتْ خَيْبَةً لَكَ فَلَمَّا انْتَصَفَ النَّهَارُ غُشِيَ عَلَيْهِ فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ { أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ } فَفَرِحُوا بِهَا فَرَحًا شَدِيدًا وَنَزَلَتْ { وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمْ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنْ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ
“Di antara para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam ada seseorang apabila sedang berpuasa lalu tiba waktu berbuka dia pergi tidur sebelum berbuka sehingga tidak memakan sesuatu pada malam dan siang hari hingga petang hari. Dan pada suatu hari ketika Qais bin Shirmah al-Anshari sedang melaksanakan berpuasa, lalu tiba waktu berbuka dia mendatangi isterinya seraya berkata, ‘Apakah kamu punya makanan?’ Isterinya berkata, ‘Tidak, namun aku akan keluar mencari makanan buatmu’. Kemudian di siang harinya Qais bekerja keras hingga mengantuk lalu tertidur. Kemudian isterinya datang. Ketika isterinya melihatnya sedang tertidur, isterinya berkata, ‘Rugilah kamu’. Qais pun tetap berpuasa, hingga pada tengah hari dia pun jatuh pingsan.
Lalu persoalan ini diadukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka turunlah firman Allah Ta’ala di surat alBaqarah ayat 197 (yang artinya), ‘Dihalalkan bagi kalian pada malam bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kalian’. Dengan turunnya ayat ini para sahabat merasa sangat senang, hingga kemudian turun lanjutan ayatnya, ‘Dan makan minumlah kalian hingga terang bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu di waktu fajar’.” [HR. al-Bukhari: 1915]
Dari al-Barra radhiallahu ‘anhu, beliau menyatakan,
لما نزل صوم رمضان كانوا لا يقربون النساء رمضان كله وكان رجال يخونون أنفسهم فأنزل الله علم الله أنكم كنتم تختانون أنفسكم فتاب عليكم وعفا عنكم
“Ketika ada perintah wajib Puasa Ramadhan, para Sahabat tidak mendekati istri mereka selama bulan Ramadhan. Akan tetapi, kaum lelaki tidak mampu menahan diri mereka, maka Allah menurunkan ayat (yang artinya), ‘Allah mengetahui bahwa kalian tidak dapat menahan diri kalian, tetapi Dia telah menerima taubat kalian dan memaafkan kalian’ [al-Baqarah: 187].” [HR. al-Bukhari: 4508]
Dari Sahl bin Sa’ad radhiallahu ‘anhu, beliau menuturkan,
أنزلت وكلوا واشربوا حتى يتبين لكم الخيط الأبيض من الخيط الأسود ولم ينزل من الفجر فكان رجال إذا أرادوا الصوم ربط أحدهم في رجله الخيط الأبيض والخيط الأسود ولم يزل يأكل حتى يتبين له رؤيتهما فأنزل الله بعد من الفجر فعلموا أنه إنما يعني الليل والنهار
“Ketika turun ayat, ‘Dan makan minumlah kalian hingga terang bagi kalian benang putih dari benang hitam’ dan belum diturunkan ayat lanjutannya yaitu ‘dari fajar’, ada seseorang di antara para Sahabat yang apabila hendak berpuasa mengikat seutas benang putih dan benang hitam pada kakinya. Dia senantiasa meneruskan makan dan minumnya hingga jelas terlihat perbedaan benang-benang itu. Maka Allah Ta’ala kemudian menurunkan ayat lanjutannya ‘dari fajar’. Dari situ mereka mengetahui bahwa yang dimaksud dengan benang hitam dan putih adalah malam dan siang’.” [HR. al-Bukhari: 1917 dan Muslim: 1091]
Makna Ayat
Diperbolehkan bagi kalian menggauli istri di malam-malam bulan Ramadhan. Istri-istri kalian laksana pakaian kalian, wahai para suami, sebagaimana kalian laksana pakaian mereka ketika menggauli mereka. Sungguh Allah Ta’ala mengetahui bahwa kalian tak mampu menundukkan hawa nafsu sehingga kalian bermaksiat kepada-Nya, dimana kalian tidak mampu melaksanakan perintah Allah Ta’ala kepada kalian untuk tidak menggauli istri di malam-malam bulan Ramadhan. Namun, sungguh Allah telah mengampuni kalian dengan menghalalkan hal itu yang dahulu diharamkan oleh-Nya. Dia telah memaafkan perbuatan menuruti hawa nafsu yang dahulu kalian lakukan.
Maka saat ini –setelah kelapangan dari Allah ini- kalian diperbolehkan menggauli istri. Carilah apa yang ditakdirkan Allah bagi kalian [1]. Kalian diperbolehkan makan dan minum di setiap saat yang kalian inginkan dari waktu malam hingga nampak dan nyata putihnya siang dari gelapnya malam (terbit fajar). Di saat itu, barulah kalian wajib menahan diri dari makan, minum, dan jimak hingga matahari terbenam.
Dan janganlah kalian menggauli istri di saat i’tikaf untuk beribadah di rumah-rumah Allah. Inilah hukum-hukum yang diterangkan Allah Ta’ala dalam ayat ini yaitu seperti pengharaman makan, minum, jimak, dan keharaman yang lain di siang hari bulan Ramadhan. Allah Ta’ala telah menerangkan dan menjelaskannya kepada kalian agar apa yang halal bagi kalian itu nyata dan jelas. Kalian berkewajiban menahan diri dan menjauh dari hal tersebut.
Sebagaimana Allah Ta’ala menjelaskan hukum-hukum puasa dengan penjelasan yang sangat sempurna, demikian pula Allah menjelaskan hukum-hukum agama yang lain dalam kitab-Nya atau melalui lisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia menjelaskannya dengan informasi yang sangat jelas agar para hamba mampu melaksanakan seluruh apa yang diperintahkan dan menjauhi segenap apa yang dilarang [Tafsir Ibnu Jarir 3/229-275; Tafsir Ibnu Katsir 1/510-520; Tafsir as-Sa’di hlm. 87-88; Tafsir Ibnu Utsaimin – al-Fatihah wa al-Baqarah – 2/346-350].
Faidah-Faidah Ayat
- Setiap orang terkadang mengkhianati dirinya sendiri sebagaimana ia mengkhianati orang lain. Dia berkhianat pada diri sendiri tatkala dirinya bermaksiat kepada Allah Ta’ala. Berlandaskan hal itu, maka jiwa atau diri manusia adalah amanah yang ada di sisinya seperti apa yang difirmankan oleh Allah Ta’ala,
عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ
“Allah mengetahui bahwasanya kalian mengkhianati diri kalian sendiri.” [Tafsir Ibnu Utsaimin – al-Fatihah wa al-Baqarah – 2/352]
- Pada firman Allah Ta’ala,
وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ۚ
“ … dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu”
terdapat anjuran untuk mencari Lailatul Qadr berdasarkan pendapat yang menyatakan bahwa tafsir dari redaksi “مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ” adalah Lailatul Qadr. Selain itu, pada firman Allah tersebut terdapat anjuran untuk berniat mendapatkan keturunan dan menegakkan sunnah ketika berjimak, dan tidak sekadar berlezat-lezat berdasarkan pendapat yang menyatakan tafsir dari redaksi “ما كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ” adalah anak [Al-Iklil hlm. 42].
- Pada firman Allah Ta’ala,
فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ
terdapat indikasi akan kebolehan mencumbui istri hingga fajar terbit, karena Allah membolehkan berjimak hingga waktu tersebut. Dan mandi junub tidaklah wajib dilaksanakan sebelum fajar. Karena apabila bercumbu diizinkan hingga fajar terbit, tentu mandi wajib hanya bisa dilaksanakan setelah itu. Oleh karena itu, tidak mengapa apabila seorang memasuki waktu Subuh dalam kondisi junub, kemudian mandi dan menyempurnakan puasa. Terdapat riwayat yang valid bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kondisi junub ketika waktu Subuh karena menggauli istri, kemudian beliau tetap berpuasa [Tafsir Abu Hayyan 2/217; Tafsir Ibnu Katsir 1/516; Tafsir Ibnu Utsaimin – al-Fatihah wa al-Baqarah – 2/354. Hadits yang dimaksud diriwayatkan oleh al-Bukhari: 1931 dan Muslim: 1109 dari Aisyah radhiallahu ‘anha]
- Firman Allah Ta’ala,
حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ
“hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar”
dijadikan dalil sebagian ulama bahwa orang yang ragu apakah fajar telah terbit, diperbolehkan makan, karena Allah Ta’ala membolehkan makan hingga fajar telah terbit dengan jelas, tanpa ada keraguan [Al-Iklil hlm. 42].
- Izin untuk bercumbu, makan, dan minum hingga fajar terbit bagi orang yang hendak berpuasa dalam firman Allah,
فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ
“Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.”
terdapat indikasi bahwa tidak ada kewajiban mengqadha puasa bagi setiap orang yang ragu akan terbitnya fajar dan melakukan hal-hal di atas, kemudian mengetahui bahwa fajar telah terbit, lalu dia berpuasa [Tafsir Abu Hayyan 2/216-217]
- Pada firman Allah Ta’ala,
حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ
“hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar”
disebutkan kata fajar karena terbitnya fajar berpotensi menimbulkan keragu-raguan, terlebih apabila cahayanya bercampur dengan cahaya bulan di malam-malam purnama, sehingga boleh jadi shalat Subuh telah dilakukan kemudian diketahui bahwa fajar belum terbit. Hal ini dialami oleh sejumlah sahabat dan selain mereka. Berbeda dengan matahari dan peristiwa terbenamnya.
Oleh karena itu –wallahu a’lam- Allah memanjangkan waktu makan di malam hari hingga fajar nampak dengan jelas, kemudian Allah berfirman (yang artinya), “…kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam”. Maka Allah menjadikan waktu fajar terkait dengan penampakannya yang jelas dan nyata, yaitu pada saat isfar (terang dan bercahaya) yang telah ditetapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ketika menyampaikan waktu berpuasa, Allah tidak mengungkapkan “…kemudian sempurnakanlah puasa itu hingga terang/nyata bagi kalian waktu malam” karena masuknya waktu malam dapat jelas diketahui, tanpa ada keraguan [Syarh al-‘Umdah kitab ash-Shalah karya Ibnu Taimiyah hlm. 222].
- Firman Allah Ta’ala,
ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ ۚ
“ … kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam”
dijadikan sebagian ulama sebagai dalil untuk menetapkan bahwa seorang tidak diperbolehkan makan dan berbuka puasa apabila dia ragu akan terbenamnya matahari [Al-Iklil hlm. 432].
- Firman Allah Ta’ala,
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ ۗ
“…(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid.”
dijadikan dalil bagi sebagian ulama bahwa puasa merupakan syarat beri’tikaf, karena pembiacaraan dalam ayat tersebut dikhususkan bagi orang yang berpuasa, sehingga jika puasa itu bukan merupakan syarat beri’tikaf, tentu tidak ada faidahnya. Ayat ini juga dijadikan dalil bahwa waktu i’tikaf tidak boleh kurang dari sehari sebagaimana waktu puasa yang tidak kurang dari sehari [Al-Iklil hlm. 43].
- Firman Allah Ta’ala,
عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ ۗ
“ … sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid.”
dengan keumumannya, dijadikan dalil untuk menetapkan bahwa i’tikaf disyari’atkan untuk dilakukan di masjid [Al Hidayah ilaa Bulugh an-Nihayah 1/627].
- Pada firman Allah Ta’ala,
ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
“Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”
terdapat keterangan bahwa ilmu agama adalah sebab terwujudnya ketakwaan. Alasannya adalah karena Allah menyampaikan tercapainya derajat ketakwaan setelah redaksi ayat (yang artinya), “Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia”. Hal ini menunjukkan bahwa setiap kali ayat-ayat Allah diketahui dengan jelas oleh hamba, maka terwujudlah ketakwaan itu. Hal itu juga dikuatkan oleh firman Allah Ta’ala,
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ ۗ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” [QS. Fathir: 28]
Dengan demikian, setiap kali hamba mengetahui ayat-ayat Allah, niscaya ketakwaannya pun bertambah. Oleh karena itu ada ungkapan,
من كان بالله أعرف كان منه أخوف
“Semakin mengenal Allah, seorang akan semakin bertakwa dan takut kepada-Nya” [Tafsir Ibnu Utsaimin – al-Fatihah wa al-Baqarah 2/361]
- Pada firman Allah Ta’ala,
كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
“Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”
terdapat isyarat bahwa derajat ketakwaan merupakan derajat yang tinggi karena rangkaian ayat-ayat tersebut dijelaskan sedemikian rupa kepada manusia agar mereka bisa mencapainya [Tafsir Ibnu Utsaimin – al-Fatihah wa al-Baqarah 2/361]
- Redaksi firman Allah Ta’ala,
لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
“… supaya mereka bertakwa.”
disampaikan setelah perintah yang memberatkan jiwa. Redaksi di atas diungkapkan dalam ayat ini, karena larangan agar manusia berpuasa dari hal-hal yang sangat disukai adalah hal yang memberatkan. Tidak ada yang memotivasi mereka sehingga mampu melakukannya kecuali karena adanya dorongan ketakwaan. Oleh karena itu, ayat ini diakhiri dengan redaksi di atas [Tafsir Abu Hayyan 2/223]
Aspek-Aspek Balaghah pada Ayat
- Pada firman Allah Ta’ala,
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ ۚ
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu;”
subyek (fa’il) dihapus dari kata kerja (fi’il) “أُحِلَّ”, dimana kata kerja tersebut disampaikan dalam bentuk pasif (bina lil majhul), karena etikanya penyebutan “ar-rafats” selayaknya tidak dikaitkan secara tegas dengan Dzat yang menghalalkan hal itu di malam hari bulan puasa [Badai’ al-Fawaid 2/19]
- Pada firman Allah Ta’ala,
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ ۚ
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu;”
Allah menggunakan redaksi “إِلَىٰ نِسَائِكُمْ” dan bukan dengan redaksi “بنسائكم” karena kata “ar-rafats” (bercampur) mengandung arti “al-ifdha” (mendatangi).
Apabila ada kalimat,
أفضى الرجل إلى المرأة
“Pria itu mendatangi istrinya”
maka kalimat di atas berarti,
إذا جامعها
“Pria itu mencampuri istrinya” [Tafsir Abu Hayyan 2/212].
- Mengenai firman Allah Ta’ala,
هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ ۗ
“ … mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.”
terdapat pendapat alim ulama yang menyatakan bahwa redaksi di atas adalah permulaan kalimat yang menjelaskan sebab penghalalan jimak di malam-malam bulan puasa, dimana jimak sulit ditinggalkan karena seringnya suami berinteraksi dan bersentuhan dengan istri [Tafsir Abu as-Su’ud 1/201].
- Pada firman Allah Ta’ala,
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ
“dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.”
fajar shadiq diserupakan dengan seutas benang, karena demikianlah kondisi awal kemunculannya yang seperti benang putih. Cahayanya nampak tipis, kemudian naik menyebar. Maka, dengan terbitnya kondisi awal fajar shadiq di ufuk, wajib untuk menahan diri dan mulai berpuasa. Demikianlah kondisi awal penampakan fajar yang melintang dan cahayanya yang meluas di ufuk dalam gelapnya malam, yang diserupakan dengan benang putih dan benang hitam [Tafsir Abu Hayyan 2/216; tafsir Abu as-Su’ud 1/202].
- Penyandaran kata “al-hudud” kepada Allah Ta’ala dalam firman-Nya,
تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ
“Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya.
menunjukkan ungkapan ekspresi yang berlebihan bahwa larangan Allah itu jelas, tidaklah samar, sehingga redaksi tersebut tidak diungkapkan dalam bentuk nakirah ataupun makrifah dengan menggunakan alif dan lam [Tafsir Abu Hayyan 2/222]
- Firman Allah Ta’ala,
تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ
“Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya.
disampaikan setelah penyampaian beberapa hal yang diharamkan. Maka sangatlah sesuai apabila juga disampaikan larangan untuk mendekatinya, karena larangan untuk mendekati suatu hal yang diharamkan lebih mengena daripada larangan untuk mengerjakannya. Sebagaimana dalam surat yang sama, juga disampaikan dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,
تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا ۚ
“Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya.”
redaksi di atas disampaikan setelah penyampaian perintah-perintah Allah Ta’ala. Oleh karena itu, sangat sesuai apabila juga disampaikan larangan agar tidak melanggar perintah-perintah tersebut [Ad-Durr al-Mashun 2/299; Tafsir as-Sa’di hlm. 87].
[Selesai]
Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.
Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/56279-ayat-ayat-shiyam-bag-5.html