Di era digital, apapun bisa disebar, baik melalui handphone, tablet, komputer, atau perangkat canggih lainnya. Cepat dan real time. Tiap detik, info-info anyar bisa dicari, dibagi, dan diterima. Mulai soal resep masakan hingga isu politik.
Menjadi fenomena kekinian, setiap orang seakan ingin menjadi yang pertama bisa share informasi. Adakalanya info itu berbentuk berita (link), infografis, video pendek, atau gift. Ironisnya, banyak yang tidak peduli, apakah info itu benar atau salah. Fakta atau hoax. Ignorance, begitu orang bule bilang. Pokoknya, sekali klik, nyebar dan bangga. Meski akibatnya timbul pro-kontra sekalipun.
Dus, harus disadari, ini problem nyata kita. Secara psikologis, orang yang suka membuat, mengkonsumsi dan menyebar hoax itu punya masalah. Ada yang bilang kena wabah gangguan ketahanan intelektual, meski dari kalangan berpendidikan sekalipun. Ada juga yang menganggap soal rendahnya “sense” sosial. Yang pasti, daya kritisnya berkurang dan empatinya rendah.
Demikian juga yang suka posting konten hate-speech (ujaran kebencian), ghibah (bicara keburukan orang), dan bullying. Mereka tidak sadar, apa yang dilakukan itu merugikan orang lain; minimal mengganggu. Apalagi dalam sebuah grup yang diikuti banyak orang. Belum lagi jika postingannya disebar ulang, dimodivikasi, dan ditambah-kurang oleh orang lain. Lalu, hebohlah jagad maya dan isunya jadi viral.
Kehebohan bisa bertambah, jika pihak-pihak yang berkepentingan mengelola hoax berulah. Hoax dijadikan komoditas ekonomi yang menguntungkan. Mereka tidak peduli menimbulkan kegaduhan. Yang jelas, semakin ribut di Medsos, semakin menjanjikan bertambahnya pundi-pundi penghasilan.
Pertanyaannya, apa manfaat semua itu bagi kehidupan? Jawabnya jelas, tidak ada sama sekali! Menyebar hoax, menggaungkan hate-speech dan bullying pada pihak tertentu hanya merugikan diri sendiri dan orang lain. Dalam terminologi agama itu masuk kategori perbuatan dosa adami. Dosanya akan termaafkan jika pihak yang disakiti memaafkan.
Jika dosa tersebut dilakukan dan disebarluaskan melalui Medsos, maka disebut dosa viral. Melalui dunia maya, dosa itu menyebar luas tanpa batas (borderless). Istilah bekennya “never ending sin”, entah kapan dosa itu akan berhenti. Bisa jadi, dosa model ini “tak terampuni”. Innalillah!
Efek Dosa Viral
Tahukah anda, bagaimana efek dosa viral itu? Perlu dicatat bahwa sifat dari kehidupan dunia maya (digital) itu “abadi”. Artinya, sekali kita menorehkan jejak digital, selamanya tersimpan dalam bigdata digital; sebuah tempat penyimpanan di dunia maya yang tak terbatas. Bahkan, meski telah diremove berkali-kali, file-nya tetap ada.
Sebuah postingan di media sosial, meski sudah dihapus pemilik akun, suatu saat info tersebut bisa dimunculkan kembali. Postingan yang diunggah sangat mungkin sudah tersimpan di puluhan atau ratusan server. Bisa pula disimpan ratusan/jutaan komputer/HP. Ingat, kasus video porno artis kenamaan dalam negeri? Meski sudah dihapus pada situs penyebar, tapi banyak yang save di HP atau komputer pribadi. Nah, saat muncul kepentingan, sewaktu-waktu postingan tersebut bisa diunggah kembali. Bahkan, meski orang yang melakukan sudah tobat atau mati sekalipun, dosa digitalnya masih bisa muncul. Artinya, apa yang telah dibagikan atau tersebar di dunia maya, bersifat “abadi” atau never ending.
Ada guyonan seperti ini. Sekali kita posting di dunia maya, maka akan dicatat oleh server maya yang super canggih. Karenanya, kerja malaikat pencatat amal menjadi ringan. Gak perlu “cape-cape” mencatat. Semua sudah ada di bigdata. Terekam rapi, lengkap dan jelas. Tinggal klik, buka, atau cetak.
Karena sifatnya yang “abadi” itulah, perilaku digital kita harus dikontrol. Harus pernuh pertimbangan. Hati-hati, begitu orang tua bilang. “Think before you write“. Pikir dulu sebelum menulis atau share sesuatu. Saring sebelum sharing. Sebelum sharing, dipikir dulu, bermanfaat tidak buat orang lain. Kalau tidak, buat apa?
Nah, jika postingan info itu ternyata hoax, mengandung unsur hate-speech dan bullying terkait seseorang, berarti masuk kategori “ghibah” atau menggunjing. Dalam ajaran agama, ghibah adalah perbuatan yang sangat tercela, termasuk dosa besar.
Dalam QS: Al-Hujurat: 12 menegaskan soal dosa ghibah. “Hai orang-orang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Suka-kah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentu kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat dan Maha Penyayang.”
Ayat di atas dengan tegas menuntut seorang beriman dilarang berprasangka buruk atau menuduh tanpa dasar terhadap sesama. Karena, itu dosa adami. Dosa yang timbul antar sesama. Allah juga mengingatkan agar jangan menggunjing kepada sesama. Diibaratkan, menggunjing itu sama seperti orang yang memakan daging saudaranya. Ngeri sekali!
Seorang mufassir berkata: “ghibah adalah jika engkau membicarakan sesuatu yang jelek tentang saudaranya. Jika yang dibicarakan tidak benar, maka itu berarti menfitnah (menuduh tanpa bukti).” Demikian dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri. (Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qur’an, 26: 167). Jadi, membicarakan yang buruk meski benar saja dilarang. Apalagi hal buruk dan tidak benar.
Nah, bentuk ghibah paling kecil itu berupa isyarat. Ada seorang wanita yang menemui ‘Aisyah RA. Tatkala wanita itu hendak keluar, ‘Aisyah berisyarat pada Nabi SAW dengan tangannya untuk menunjukkan bahwa wanita tersebut pendek. Nabi lalu bersabda, “Engkau telah mengghibahnya.” (HR. Ahmad).
Ghibah juga rentan munculnya fitnah. Saat gunjingan muncul, pasti ada perkataan yang ditambah atau dikurangi. Karena memang ghibah itu masuk wilayah persepsi. Sementara setiap orang memiliki tingkat kecerdasan berbeda-beda. Otomatis, ketika ghibah sudah dimasuki fitnah, maka dosanya menjadi dua macam. Dosa berlipat. Keduanya masuk dosa besar yang sangat sulit dimaafkan.
Pertanggung jawaban dosa ghibah bukan hanya kepada Allah swt. Yang paling berat justru kepada orang yang digunjing. Akan sangat beruntung jika orang yang digunjing mau memaafkan. Namun jika tidak dimaafkan, dosa ghibah akan terus mengalir selama-lamanya. Mengalir hingga datangnya hari pembalasan. Naudzubillah!
Hujjatul Islam, Imam Ghazali, menyebut, dosa ghibah lebih keji dibanding melakukan zina sebanyak 30x. Sebuah metafora yang sangat mengerikan. Demikian juga At-Thabari menyebut ghibah diharamkan karena di dalamnya ada pertengkaran antara setan dan niat baik manusia. Anehnya, sebagian besar umat manusia membicarkan keburukan sesamanya. Ghibah begitu ringan dan dilakukan berulang.
Dus, di atas adalah uraian terhadap ghibah yang dilakukan secara off-air. Dilakukan antara dua pihak atau sekumpulan orang secara langsung (face to face).
Lain lagi jika ghibah dilakukan di media digital. Yang mendengar bukan hanya satu-dua orang. Yang menangkap pesan bukan hanya satu kelompok. Sekali postingan ghibah disebar, maka konten itu sampai kepada puluhan, ribuan, bahkan jutaan orang. Ghibah itu menyebar, bahkan dari satu generasi ke generasi. Konten itu juga akan tersimpan dan saat diperlukan dapat dimunculkan kembali.
Ghibah, hate-speech, bullying, dan postingan negatif lainnya itu lalu menjadi tabungan dosa di “bank jagad raya” yang harus dipertanggungjawabkan. Orang-orang yang tersakiti akan meminta amal baik pelaku ghibah hingga dia bangkrut oleh dosa digital yang dilakukannya. Dia bangkrut oleh kelakukan jari jemari yang asyik menari tanpa kendali, menyebar informasi yang penuh dengan unsur kebencian dan kebohongan.
Sebaliknya, postingan positif akan menjadi tabungan amal shaleh tak terhingga. Pahalanya akan mengalir bak air jernih yang tak berkesudahan sampai hari kiamat. Bisa jadi kelak sebagai penebus dosa-dosa lain yang akan menyelamatkan kita dari ancaman neraka. Wallahu a’lam.
Thobib Al-Asyhar
(Penulis buku, Dosen SKSG Universitas Indonesia)