Begini Cara Mengelola dan Hak Amil Zakat menurut Ulama Salaf

Begini Cara Mengelola dan Hak Amil Zakat menurut Ulama Salaf

Imam Syafi’i cenderung pada pendapat bahwa amil digaji sesuai kadar pekerjaannya, sementara menurut Imam Nawawi, amil tidak boleh menerima lebih dari ujratul mitsli dari harta zakat

SEDANG heboh gaji amil zakat dan pengelola lembaga charity dan pengumpul donasi masyarakat. Beritanya digoreng kesana kemari. Daripada larut dalam perbincangan tanpa dasar, yuk kita tengok bagaimana para ulama mengulas masalah ini dalam karya-karya mereka.

Imam Nawawi (w. 676 H) dalam al-Majmu’ (VI/168-169) menjelaskan bahwa menarik zakat sebenarnya kewajiban imam atau negara. Maka negara menunjuk orang-orang yang ditugasi mengumpulkan, mengelola, dan mendistribusikannya.

Olehnya, gaji amil ditentukan oleh negara, dengan dua cara;

Pertama, tidak disebutkan nominalnya di depan dan nanti dia diberi gaji setelah menyelesaikan tugas, dengan gaji yang pantas menurut kadar pekerjaan yang dia lakukan (ujratul mitsli) yang diambilkan dari harta zakat. Mungkin, ini semacam UMR di zaman kita.

Kedua, digaji dengan suatu bagian tertentu yang telah disebutkan nominalnya sejak awal dari harta zakat itu. Pemberian ini bisa disebut ujrah (upah, gaji) bisa juga kompensasi (ju’alah).

Tapi, gaji amil tidak boleh melebihi ujratul mitsli. Lantas, bagaimana jika negara menggaji amil lebih besar dari ujratul mitsli atau UMR?

Menurut Imam Nawawi, penetapan seperti itu — dan ini yang paling sahih menurut beliau — tidak sah dan amil tidak boleh menerima lebih dari ujratul mitsli yang diambilkan dari harta zakat. Menurut pendapat lain, penetapan seperti itu tidak batal, dan amil wajib digaji sesuai ujratul mitsli yang diambilkan dari harta zakat, lalu kekurangannya diambilkan dari baitul maal (kas negara). Alasannya, akad seperti itu sah dan konsekuensinya bersifat mengikat.

Imam Syafi’i dalam Kitab al-Umm (II/80) — menurut kami —  cenderung pada pendapat bahwa amil digaji sesuai kadar pekerjaannya.

Menurut Syeikh Wahbah az-Zuhaili (Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, III/1953), orang-orang yang termasuk dalam pengertian amil adalah pengumpul, pencatat, penggembala hewan zakat (mis. terkait zakat ternak), penghitung, penakar, penimbang, dsb.

Bagaimana dengan gajinya?

Menurut Syeikh az-Zuhaily, pemberian itu adalah upah atas pekerjaan yang dia lakukan, bukan bagian dari zakat dan sedekah. Maka, amil bisa diberi meskipun kaya. Jika bagian itu dianggap dari zakat dan sedekah, maka orang kaya tidak boleh menerimanya.

Bagaimana jika harta zakat terkumpul sangat banyak, dan jika dibagi menjadi delapan sesuai ashnaf  yang delapan itu maka bagian setiap ashnaf  (termasuk hak amil) menjadi berlebih? Imam Syafi’i merinci dalam al-Umm (II/82-84) bahwa kelebihannya harus digabungkan kepada ashnaf  yang lain. Bagaimana pun, sangat tidak mungkin jumlah amil akan lebih banyak dibanding 7 ashnaf  yang lain.

Lantas, bagaimana jika hak bagian suatu ashnaf  kurang saat dibagi kepada individu-individu yang termasuk dalam kategorinya? Dalam kasus ini, tidak boleh diambilkan dari bagian ashnaf  lain kecuali jika pada ashnaf  lain itu individu-individu yang berhak menerima sudah tercukupi semua, atau tidak ditemukan.

Dalam kasus lain, masih menurut Imam Syafi’i, bagaimana jika hak bagian suatu ashnaf  tidak memadai untuk dibagikan berdasar kadar kebutuhan per individu?

Misal, orang yang tergolong gharim (terlilit utang) ada 10 orang, sementara hutang mereka tidak sama nominalnya, dan hak ashnaf  mereka 1000 dinar. Jika tiap orang diberi sesuai kadar utangnya maka hak bagian ashnaf  itu tidak memadai.

Dalam kasus ini, mereka diberi bagian 10% dari utang mereka masing-masing. Hitungannya bukan berdasar nominal yang diberikan, tapi 10% dari tanggungan utang masing-masing. Ini adil. Sebab jika 1000 dinar langsung dibagi 10, maka akan ada yang berkelebihan atau berkekurangan, disebabkan utang mereka yang tidak sama. Wallahu a’lam.*/Alimin Muhtar, pengajar di Ponpes Arrahmah Putri-Batu, Jatim

HIDAYATULLAH