Bismillah. Wa bihi nasta’iinu.
Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam. Salawat dan salam semoga tercurah kepada hamba dan utusan-Nya; sang penyeru menuju agama Allah di atas bashirah. Amma ba’du.
Pandemi yang melanda dunia mempengaruhi berbagai lini aktifitas manusia. Perekonomian, ibadah, pendidikan dan juga kegiatan kemasyarakatan. Kegiatan rutin di masjid-masjid yang dulunya berjalan berupa majelis ilmu dan pengajian kini pun lama tak lagi kita jumpai seperti di masa-masa sebelum pandemi. Inilah kenyataan yang semestinya menyadarkan kita tentang pentingnya pendidikan dan proses pembelajaran yang bisa dilakukan di rumah atau di tengah keluarga.
Bagi mereka yang telah menempuh jalan ilmu, maka muroja’ah atau mengulang-ulang pelajaran tentu satu hal yang bisa lebih maksimal dilakukan pada masa-masa semacam ini. Bagi mereka yang selama ini menekuni dunia dakwah maka metode pelajaran online pun menjadi salah satu solusi yang paling digemari. Bahkan sekolah, pendidikan tinggi dan pesantren pun banyak yang harus mengalihkan metode pembelajaran dengan lebih banyak secara online atau belajar dari rumah.
Hal ini kembali menyadarkan kita tentang pentingnya menciptakan suasana rumah yang tarbawi. Suasana rumah yang diwarnai pembinaan dan pendidikan bagi manusia dan keluarga. Rumah adalah sekolah pertama bagi generasi. Hal ini yang selama ini luput dan banyak dilalaikan para orang tua dengan alasan kesibukan mencari nafkah dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga; anak dan istri. Maka pendidikan anak pun seolah kurang mendapat prioritas oleh ayah dan ibunya sendiri. Kondisi pandemi semacam ini mau tidak mau menuntut ayah dan ibu untuk lebih perhatian kepada pendidikan dan pembinaan anak-anaknya sendiri.
Pada hari ini, sesungguhnya peran orang tua dalam menanamkan kecintaan kepada ilmu agama adalah sesuatu yang dinilai sangat-sangat berharga. Karena situasi pandemi yang masih saja meliputi dan anak-anak yang berada di rumah bersama sarana-sarana yang bisa saja merusak generasi tanpa mereka sadari. Orang tua sering beranggapan bahwa kunci kesuksesan anak adalah dengan semata-mata menyekolahkan anak setinggi mungkin. Padahal, kunci kebaikan itu ada pada kepahaman tentang agama. Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَن يُرِدِ اللهُ به خيرًا يُفَقِّهْه في الدينِ
“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan niscaya Allah pahamkan dia dalam agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kebaikan seorang terletak sejauh mana dia memahami agama ini dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Kecintaan kepada ilmu agama inilah modal yang harus diberikan dan dipupuk oleh orang tua kepada anak-anaknya. Para ulama kita terdahulu pun telah mengajarkan kepada kita untuk menjadi sosok pendidik yang rabbani; yaitu yang membina manusia dengan ilmu-ilmu yang dasar sebelum ilmu-ilmu yang besar. Ilmu itu dipelajari dan dicari seiring dengan perjalanan malam dan siang hari. Sedikit demi sedikit dan terus-menerus. Sehingga dengan panduan ilmu itulah seorang hamba mengenali jalan menuju Rabbnya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
“Barangsiapa menempuh jalan dalam rangka mencari ilmu (agama) maka Allah mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)
Dalam menuntut ilmu dibutuhkan kesabaran dan perjuangan. Yahya bin Abi Katsir mengatakan, “Ilmu tidak diperoleh hanya dengan cara bersantai-santai.” Sebagian penyair arab berkata:
Katakan kepada orang yang mendamba
Perkara-perkara mulia dan utama
Tanpa perjuangan maka
Kau hanya mengharap sesuatu yang mustahil adanya
Kemuliaan umat ini bergantung pada perjuangan mereka untuk memahami agama ini dan mengamalkannya. Karena itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong umatnya untuk belajar Islam dan mengajarkannya. Beliau bersabda,
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)
Belajar al-Qur’an mencakup membacanya dengan benar, memahami isinya dan merenungkan kandungan hukum dan pelajaran berharga yang tersimpan di dalamnya. Sebab ia menjadi petunjuk bagi manusia dan pembimbing bagi orang yang bertakwa. Dengan mengikuti ajarannya manusia menjadi mulia. Dan karena mencampakkan ajarannya manusia pun hina.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِين
“Sesungguhnya Allah akan memuliakan dengan Kitab ini beberapa kaum dan akan merendahkan kaum-kaum yang lain dengannya pula.” (HR. Muslim)
Mendidik keluarga untuk mengenali al-Qur’an dan mencintainya adalah perkara yang banyak dilupakan oleh manusia, bahkan oleh banyak di antara kaum muslimin sekalipun. Rutinitas membaca al-Qur’an pun terkalahkan oleh hoby membaca komik, kegemaran menonton televisi, dan bermain game yang tidak mendidik. Padahal al-Qur’an menyimpan obat bagi penyakit-penyakit hati. Ia menjadi rahmat bagi manusia yang beriman dan pelajaran bagi ulil albab.
Sosok kepahlawanan para pendahulu yang salih diantara umat ini pun tersingkir oleh pahlawan fiktif dan tokoh-tokoh khayalan. Hal ini tidaklah terjadi kecuali disebabkan kesalahan manusia dan masyarakat itu sendiri. Allah berfirman,
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka merubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (ar-Ra’d : 11)
Maka minimnya suasana tarbawi dan kurangnya pembinaan nilai-nilai agama di tengah keluarga dan masyarakat secara umum adalah fenomena yang timbul akibat kurangnya perhatian kita terhadap ilmu agama dan sikap meremehkannya. Padahal ilmu agama ini adalah ‘panglima’ bagi seluruh ucapan dan amal perbuatan hamba. Mungkin kita masih ingat perkataan emas Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya yaitu Bab Ilmu sebelum ucapan dan amalan.
Di masa pandemi ini, tidaklah berlebihan kalau para orang tua kembali memberikan perhatian besar kepada pembinaan ruhiyah anak-anaknya. Karena rumah anda adalah sekolah pertama bagi generasi penerus bangsa. Keteladanan dan bimbingan dari orang tua akan memberikan pengaruh besar ke dalam pertumbuhan dan keadaan anak setelah taufik dari Allah kepadanya. Karena itu Islam mengajarkan kepada para orang tua untuk memerintahkan anak-anak untuk mulai mengerjakan sholat walaupun usianya masih belia. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengajarkan aqidah kepada anak kecil di antara para sahabatnya.
Para orang tua hendaknya belajar kembali tentang Islam dengan pemahaman yang benar. Karena tidaklah Islam itu terbatas hanya dengan mengucapkan dua kalimat syahadat tanpa memahami isi dan konsekuensinya. Sebagaimana yang dijelaskan para ulama bahwa islam adalah kepasrahan kepada Allah dengan bertauhid, tunduk kepada-Nya dengan penuh ketaatan, dan berlepas diri dari syirik dan pelakunya. Islam dan tauhid inilah agama yang diajarkan oleh setiap nabi kepada umatnya, walaupun syari’at mereka berbeda-beda.
Islam tegak di atas tauhid; yaitu pemurnian ibadah kepada Allah dan meninggalkan syirik kepada-Nya. Tauhid ini pula yang menjadi tujuan penciptaan segenap jin dan manusia. Allah berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56).
Seorang ulama besar binaan manusia terbaik dan teladan bagi para pemuda Islam yaitu Ibnu Abbas menafsirkan maksud ayat ini bahwa maksud beribadah kepada Allah adalah dengan mentauhidkan-Nya, sebagaimana disebutkan al-Baghawi dalam tafsirnya.
Tauhid ini pula perintah terbesar di dalam agama. Hak Allah yang paling wajib untuk ditunaikan oleh setiap insan kepada Rabbnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أن يعبدوه ولا يشركو به شيأ
“Hak Allah atas para hamba adalah hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sudahkah para orang tua belajar tentang tauhid dan mengajarkan tauhid ini kepada keluarganya?
Penulis: Ari Wahyudi, S.Si
Artikel: Muslim.or.id