Berbagi Kabar Gembira, Mengapa Sangat Dianjurkan Agama?

Ka’ab bin Malik ra, salah seorang sahabat yang dikenal piawai merangkai syair dan berdebat itu, pernah mendapat hukuman berupa pengasingan. Ia dikucilkan oleh seluruh warga Madinah selama 40 hari. Sanksi itu ia peroleh lantaran pengakuannya yang jujur kepada Rasulullah, bahwa ia tidak ikut pergi berperang saat peristiwa Tabuk terjadi.

Ketidakikutsertaannya itu bukan atas sebab yang diperbolehkan oleh syariat, selama perang berkecamuk, ia tidak melakukan aktivitas apa pun, selain berdirim diri di rumah. “Ketika aku duduk seperti yang telah disebutkan Allah, jiwaku terasa sempit dan bumi yang kupijak seakan tidak kukenali,” ucapnya dalam sebuah riwayat. Hukuman yang ia jalani, dirasakannya berat, ia pun bersungguh-sungguh menuju pertaubatan.

Di suatu fajar, betapa gembiranya sosok yang berasal dari suku Khazraj itu. Ia mendengar berita gembira, meski samar. Suara itu ia dengar dari ketinggian bukit Sala’ yang menyuruhnya bergembira, bahwa Rasulullah telah memberitahukan pertaubatannya telah diterima oleh Allah. Kurang yakin pada informasi tersebut, ia pun lantas bergegas menghadap Rasulullah dengan segala keterbatasan. Bahkan dikisahkan, ia sempat meminjam dua helai pakaian kala itu.

Sepanjang perjalanan, orang-orang menemuinya secara berkelompok. Mereka mengucapkan selamat atas diterimanya taubat. Sesampainya di Masjid Nabawi, ia mendapati Rasulullah sedang duduk dikelilingi sahabat lainnya. Thalhah bin Ubaidillah berdiri lalu menyalaminya sembari memberikan ucapan selamat. Rasulullah menyerukan ke Ka’ab agar bergembira di hari yang paling baik tersebut. “Bukan dariku, melainkan dari Allah,” titah Rasulullah dengan menampakkan wajah yang berseri-seri.

Kabar gembira serupa, meski dalam konteks dan kasus berbeda, juga diterima oleh orang-orang terdekat Rasulullah. Kabar gembira pernah diterima oleh Khadijah, berupa rumah di surga yang terbuat dari mutiara. Istri termuda Rasulullah, Aisyah, memperoleh berita gembira saat Allah SWT membebaskannya dari hadits al ifki, fitnah tentang perselingkuhan yang pernah dituduhkan  padanya, padahal tudingan itu sama sekali tidak benar. Selain mereka berdua, sahabat Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib, dan Bilal bin Rabah, pernah mendapat kehormatan dengan berita-berita gembira dari Rasulullah.

Bisyarah, atau kabar gembira sesuai dengan arti harfiahnya. Dalam Mu’jam Maqayis al-Lughah, Ibnu Faris menyebutkan arti kata itu bermakna terlihatnya sesuatu dengan indah. Bisa pula berarti member kabar gembira. Hal yang sama juga ditekankan oleh ar-Razi, secara umum, arti kata bisyarah digunakan untuk kabar baik. Jika kata tersebut dimaksudkan untuk keburukan dalam sebuah ayat, biasanya akan selalu disertai dengan keterangan tertentu, misal, ayat ke-21 surah Ali Imran.

Dalam Ensiklopedia Akhlak Muhammad, Mahmud al-Mishri menjelaskan, membiasakan diri untuk membawa kabar gembira untuk orang sekitar termasuk dari kesempurnaan iman. Menyebarkan berita gembira tersebut di antara amal baik yang mendatangkan kebahagiaan kepada Muslim lainnya. Dalam sebuah riwayat oleh Thabrani, dijelaskan bahwa manusia yang paling disukai allah adalah manusia yang paling bermanfaat dan amal yang paling disukai Allah adalah kamu mendatangkan kebahagiaan kepada Muslim.

Dalam Islam, anjuran menyampaikan kabar gembira tersebut sangat ditekankan. Berbagi kabar gembira kepada orang lain-sekalipun dalam praktiknya, sering kali penerimaan orang berbeda- memiliki manfaat yang banyak. Berbagi berita gembira mampu melapangkan dada dan membahagiakan hati, selain pula dapat menjadi ciri iman dan keislaman yang  baik, memperkuat tali silaturahim antara pemberi dan penerima kabar, serta dapat mendatangkan ketenangan dan meningkatkan kualitas spiritual.

Anjuran menyampaikan berita gembira tersebut tersurat dari amar-amar, atau perintah yang banyak termaktub berulang-ulang, baik dalam Alquran ataupun hadis. Banyak ayat Alquran yang berisi bisyarah yang ditujukan kepada hamba-hambanya. Salah satunya ialah ayat berikut: “Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembah-nya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba- hamba-Ku.” (QS. Az-Zumar [39] : 17).

Tidak hanya Alquran, hadis-hadis pun tak sedikit memuat kabar gembira untuk umat. Di antaranya, kabar gembira yang tertera dalam hadis riwayat Abu Dawud dan Turmudzi. Dalam hadis tersebut Rasulullah meminta agar memberikan kabar gembira akan cahaya yang sempurna di hari kiamat kepada orang-orang yang berjalan dalam kegelapan menuju masjid.

Akhlak para nabi

Memberi kabar gembira adalah bagian dari sifat para nabi dan rasul. Allah mengutus mereka sebagai penyampai risalah sekaligus berita gembira tentang nikmat bila mereka menjawab ajakan tersebut. Allah SWT berfirman: “Mereka Kami utus selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS an-Nisaa’ [4] : 165).

Aktivitas berbagi bisyarah juga termasuk unsur tak terpisahkan dari akhlak Rasulullah SAW. Allah mengutusnya dengan kebenaran dan ditunjuk sebagai pembawa berita gembira. “Dan, Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.”