Di era modern ini, tradisi halal bi halal lebih sering dijadikan sebagai ajang networking, baik dalam ranah bisnis, politik, maupun sosial
SETIAP bulan Syawal kata Halal bi halal menjadi tren dan trending di Nusantara. Kata bahasa Arab yang bukan susunan atau ungkapan Arab ini sangat unik untuk dicermati, walau berasal dari bahasa Arab, tetapi susunannya adalah Nusantara.
Sebelum melihat pergeseran makna halal, mari kita urai arti kata halal. Halal (حلال), adalah masdar (kata verbal/kata benda grundial) dari Hal-Yahillu.
Kata yang terkait dengan kata halal yang sering kita dengar adalah tahallul, hilal (tandu untuk perempuan), tahlil, muhallil, hillu dan hallu (waktu tahallul), hullah (pakain), ibnu halal (anak sah), al-sihru al-halal (permainan sulap), dan halal dalam hukum syariah adalah sesuatu yang diperbolehkan.
Dan kata yang terkait dengan “halla” adalah bermakna memerdekakan diri (حل من), bebas, solusi (حَل), berdiri (حل ب), berhenti (حل), tetap (حل عليه), dicairkan (حُل الجامد), melepaskan, benar, dan masih puluhan kata yang berasal dari kata ini.
Kata halal ini tidak hanya digunakan untuk makanan (yang selama ini hanya ditemukan pada logo halal), tetapi juga pada hewan, pakaian, muamalah, dan sesuatu yang terkait dengan hukum syariat. Maka kata al-syar’i ada yang memaknai adalah dengan kata al-halal (seperti di atas).
Syeikh Ratib misalnya, “Mengapa harta halal disebut halal, karena ia sesuai dengan yang diharapkan jiwa, atau jiwa merasa senang dan tenang. Mengapa harta haram, disebut haram. Kerena ia menghalangi seseorang untuk bahagia.”
لماذا سمي المال الحلال حلالا، لأنه تحلو به النفس، والمال الحرام حراما لأنه يحرما السعادة.
Dan dalam Al-Islam;
سمي الحلال حلالا لانحلال عقدة الحظر عنه
Mengapa disebut Halal, karena mengurai dan melonggarkan (inhilal) tali/ikatan yang terlarang.
Dari beberapa kata yang terkait dengan kata halal di atas adalah, bahwa halal memberikan solusi, kemerdekaan/kebebasan, terurainya sesuatu yang terlarang, dan melepaskan sesuatu yang mengikat.
Rasulullah ﷺ bersabda, yang artinya: “Mencari sesuatu yang halal adalah kewajiban bagi setiap Muslim.” (HR: Al-Thabarani dari Ibnu Mas’ud).
Persoalan halal, bukan hal yang main-main dalam Islam, karena halal adalah bagian paling mendasar dalam agama. Sehingga kata halal disebut juga al-syari, yaitu syariat itu sendiri.
Mengapa harus halal?, agar mendapatkan ridha Allah, terjaga kehidupannya, mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan, dan memiliki akhlak yang baik.
Dalam hadits Nabi ﷺ disebutkan, yang artinya; ”Setiap tubuh yang tumbuh dari (makanan) yang haram, maka api neraka lebih utama baginya (lebih layak membakarnya).” (HR: At-Thabrani).
. قال سهل بن عبد الله: “النجاة في ثلاثة: أكل الحلال، وأداء الفرائض، والاقتداء بالنبي -صلى الله عليه وسلم
Sahl bin Abdullah berkata, keberhasilan seseorang disebabkan tiga hal; mengkonsumsi yang halal, melaksanakan kewajiban dan mengikuti Nabi Muhammad ﷺ.
Pergeseran Makna Halal bi Halal
Tradisi halal bi halal (الحلال بالحلال) adalah salah satu tradisi yang sudah lama dilakukan di Indonesia. Tradisi ini biasanya dilakukan setelah Hari Raya Idul Fitri, di mana keluarga, teman, dan tetangga saling mengunjungi dan saling memaafkan satu sama lain.
Pada awalnya, tradisi halal bi halal lebih dikenal sebagai suatu upaya untuk mempererat tali silaturahmi dan memperbaiki hubungan antar sesama. Dan sejarah halal bi halal cukup banyak bisa dilirik di berbagai sumber.
Namun, seiring dengan perkembangan zaman, makna dan cara pelaksanaan tradisi halal bi halal telah mengalami pergeseran. Di era modern ini, tradisi halal bi halal lebih sering dijadikan sebagai ajang networking, baik dalam ranah bisnis, politik, maupun sosial.
Banyak acara halal bi halal diadakan oleh perusahaan atau organisasi sebagai ajang untuk mempererat hubungan dengan karyawan, pelanggan, atau mitra bisnis. Di tahun politik seperti tahun ini (2023-2024), adalah moment paling istimewa untuk mengadalan halal bi halal.
Mengapa? Dalam konteks tahun politik, tradisi halal bi halal juga bisa menjadi momen yang tepat untuk mempererat hubungan antara sesama warga negara, apalagi di saat suasana politik yang cenderung memanas dan memecah belah. Tetapi, di sisi lain, ia menjadi momen konsolidasi massa, kampanye, dan lain-lainnya.
Selain itu, pelaksanaan tradisi halal bi halal juga seringkali disertai dengan acara makan-makan atau pemberian souvenir, sehingga tradisi ini juga menjadi ajang untuk memperlihatkan kedermawanan atau kemakmuran seseorang atau sebuah organisasi.
Maka, tergantung pada panitia halal bi halal, mau dibawa kemana acara ini, tetapi ruh dari halal bi halal tidak boleh hilang, yaitu menghalalkan untuk memberi maaf, dan orang yang dimintai juga menghalalkan untuk memberi maaf.
Meskipun demikian, tradisi halal bi halal tetap menjadi suatu tradisi yang penting bagi masyarakat Indonesia. Meskipun maknanya telah bergeser, namun tradisi ini masih dianggap sebagai suatu ajang untuk mempererat tali silaturahmi dan memperbaiki hubungan antar sesama.
Dan suasana fitri, jangan terkotori untuk berbagai kepentingan, agar pergeseran halal bi halal tidak terlalu jauh. Allahu alam bishawab.*/ Dr Halimi Zuhdy, Facebook Halimi Zuhdy