APAKAH dunia serasa begitu sempit menghimpit sendi-sendi kehidupan kita? Kebutuhan dan penghasilan yang tidak seimbang, sehingga kegalauan finansial sering datang menghantui pada malam dan siang hari? Mungkin salah satu jalan keluarnya adalah berhijrah. Pindah tempat tinggal dan mencari jalan rezeki yang lebih mudah.
Pindah atau hijrah bisa menjadi sebuah solusi permasalahan kehidupan, terutama rezeki, yang selalu menghimpit kehidupan banyak manusia. Allah berfirman di dalam Al-Quran:
“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak.” (an-Nisa’: 100)
Hijrah sebagaimana dikatakan oleh Imam Raghib al-Asfahani adalah keluar dari negeri kafir menuju negeri iman, sebagaimana Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabat yang berhijrah dari Makkah ke Madinah. Hijrah di jalan Allah, menurut Rasyid Ridha, harus dalam arti sejati. Maksudnya, tujuan orang melakukan hijrah itu untuk mendapatkan ridha Allah dengan menegakkan agama-Nya. Hal itu merupakan kewajiban yang dicintai Allah. Hijrah juga bertujuan untuk menolong saudara-saudara seagama dan seiman yang menyelamatkan diri dari orang-orang kafir.
Yang dimaksud ayat di atas agar manusia berani dan mau melakukan hijrah. Sedangkan yang dimaksud dengan hijrah di jalan Allah, bisa jadi umum, yaitu semua jalan yang diizinkan dan diperintahkan oleh Allah. Tempat hijrah seharusnya merupakan sebuah tempat yang lebih luas.
Apa yang dilakukan pemerintahan Presiden Soeharto dengan program transmigrasinya, bisa jadi termasuk hijrah. Beberapa keluarga memilih untuk pindah dari tanah Jawa yang sudah padat penduduknya, ke Kalimantan dan Sumatera yang penduduknya relatif lebih jarang. Di sana, para transmigran disediakan tempat tinggal dan bekerja demi mencari rezeki yang berkah dan halal.
Banyak keluarga yang kemudian menjadi penduduk baru di sana, akhirnya menjadi orang-orang sukses dan berkecukupan. Namun, ada juga yang pulang ke tanah kelahirannya karena satu dan lain alasan. Meskipun demikian, orang-orang yang bertransmigrasi dan sukses di tempat tinggalnya yang baru itu, jelas merasakan kemudahan dalam membuka pintu-pintu rezeki yang telah disediakan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala di bumi yang luas ini.
Di dalam potongan ayat di atas, Allah memberikan janji kepada orang-orang yang berhijrah. Janji itu setidaknya mencakup dua hal; pertama, tempat hijrah yang luas dan kedua, rezeki yang banyak.
Janji pertama yang diterjemahkan sebagai tempat hijrah yang luas ini, bisa jadi bukan sebuah tempat dalam arti yang sesungguhnya. Imam Fakhrur Razi menafsirkan bahwa yang dimaksud adalah orang yang berhijrah dari tempatnya menuju tempat lain, kemudian dia menjadi orang sukses di tempat baru itu, serta banyak mendapatkan kenikmatan dan rezeki. Akibatnya, musuh-musuh orang tersebut kebakaran jenggot dan menyesal karena memusuhi orang tersebut.
Sedangkan janji yang kedua dalam ayat itu adalah mendapatkan rezeki berupa kekayaan harta yang banyak. Penafsiran itu disampaikan oleh Ibnu ‘Abbas radiyallahu anhu, ‘Atha’, adh-Dhahhak, dan mayoritas ulama. Bisa jadi rezeki yang dimaksud tidak selalu berupa harta, tetapi berupa jalan kebenaran dan petunjuk dari Allah. Dengan kata lain, luas dan banyaknya rezeki yang dijanjikan Allah, bisa jadi berupa harta atau kenikmatan Allah yang lain.
Fakta di sekitar kita menunjukkan, masih banyak orang yang meninggalkan tanah kelahirannya untuk mengais rezeki ke luar kota, ibu kota, luar pulau, bahkan ke luar negeri menjadi TKI dan TKW. Mereka semua adalah bukti bagaimana hijrah menjadi salah satu kunci untuk membuka pintu rezeki Allah, terlepas apakah mereka berangkat karena yakin terhadap janji Allah ataupun tidak.
Apabila kita menengok sejarah Rasulullah dan para sahabatnya yang hijrah dari Makkah ke Madinah, tentu kita akan mendapatkan bukti dari janji Allah untuk membukakan pintu rezeki kepada manusia yang berhijrah. Rasulullah dan Abu Bakar meninggalkan Makkah tanpa membawa harta benda apa pun, kemudian Allah memberikan kelapangan rezeki di tempat hijrah yang baru, Madinah.
Sebagian sahabat ada yang meninggalkan hartanya di Makkah, lalu dihadang di tengah jalan agar mau memberitahukan tempat simpanan harta kekayaan mereka di Makkah. Namun di tempat hijrahnya, mereka mendapatkan penggantinya berupa harta yang melimpah dan berkah.
Banyak sahabat Rasulullah yang saat tinggal di Makkah merupakan orang-orang yang miskin dan fakir. Namun, setelah mereka hijrah ke Madinah, Allah membalik nasib mereka dan membukakan banyak pintu rezeki untuk mereka.
Tidak sedikit di antara sahabat merupakan orang-orang yang rendah status sosialnya lagi lemah. Namun, setelah mereka berhijrah, Allah memberikan kemuliaan dan menjadikan mereka para pemimpin yang tidak kekurangan harta. Begitulah jika orang mukmin berhijrah dengan penuh keyakinan tanpa rasa takut, demi menjalankan aturan Allah. Tidak mungkin Allah membiarkan mereka sengsara hanya karena urusan rezeki.
Tidak hanya berhenti dari Makkah ke Madinah saja. Silakan membaca sejarah para sahabat Rasulullah. Banyak sekali sahabat yang dahulu dihina, direndahkan, bahkan disiksa di Makkah, menjadi orang-orang yang sangat dihormati dan disegani di Madinah. Mereka menjadi orang kaya dan penguasa. Lihat pula, bagaimana mereka menjadi para pemimpin di wilayah-wilayah kekuasaan umat Islam yang baru di Mesir, Irak, Suriah, dan berbagai wilayah kekuasaan umat Islam lainnya. Para sahabat yang telah berhijrah dari tanah kelahirannya, tidak lagi menjadi orang-orang Islam yang lemah, miskin, dan mudah ditindas.
Imam Fakhrur Razi menjelaskan kesimpulan tafsir dari ayat di atas: “Allah Subhanahu Wa Ta’ala seakan-akan mengatakan: ‘Wahai manusia, apabila kalian membenci hijrah dari tanah kelahiranmu hanya karena takut mendapatkan kesulitan dan ujian dalam perjalanan, maka sekali-kali jangan demikian, karena Allah akan memberi kalian berbagai nikmat dan pahala yang besar dalam hijrah kalian. Hal itu akan menyebabkan rendahnya musuh-musuh kalian dan lapangnya rezeki dalam hidup kalian.”
Bukti bahwa hijrah merupakan salah satu kunci pembuka pintu rezeki Allah adalah firman-Nya:
“Dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, kemudian mereka dibunuh atau mati, benar-benar Allah akan memberikan kepada mereka rezeki yang baik (surga). Dan sesungguhnya Allah adalah sebaik baik pemberi rezeki.” (al-Hajj: 58)
Rezeki dari Allah tidak terbatas pada harta benda dunia. Namun, rezeki yang abadi di akhirat itu jauh lebih penting dan mulia.
Firman Allah ini dengan gamblang memberikan janji rezeki yang baik berupa surga kelak di akhirat. Rezeki yang tidak hanya dalam bentuk harta dunia yang fana, melainkan rezeki yang bersifat abadi, yaitu dalam kehidupan manusia di surga.
Ayat di atas hampir sama dengan firman Allah:
“Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya, maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (an-Nisa’:100)
Tidak ada salahnya jika kita kembali menggugah kesadaran kita tentang rezeki Allah yang tidak hanya terbatas dengan harta benda. Sebaiknya persepsi kita dalam hal ini lebih dikembangkan, sehingga kita menyadari bahwa yang jauh lebih penting adalah rezeki yang abadi di akhirat. Demikianlah persepsi dan pemahaman orang-orang yang bertakwa sesungguhnya.
Kita pun perlu menyegarkan pemahaman bahwa rezeki harta di dunia diberikan Allah kepada siapa saja yang dikehendaki, baik orang-orang mukmin atau orang-orang kafir sekalipun. Namun, kenikmatan surga di akhirat tidak akan diberikan oleh Allah, kecuali kepada orang-orang mukmin yang berani berhijrah sesuai tuntunan Allah. Jangan sampai terlena dengan rezeki harta, sehingga menjadi orang-orang yang disinggung Allah dalam firman-Nya berikut ini.
“Allah meluaskan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. Mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit).” (ar-Rad: 26).*Nur Faizin M., M.A, dari bukunya Rezeki Al-Quran-Solusi Al-Quran untuk yang Seret Rezeki