Bukti Ilmiah Penemu Benua Amerika Bukan Colombus Tapi Muslim

Sejak 1031, kekhalifahan yang berpusat di Cordoba jatuh. Wilayah Muslim di Andalusia terpecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil.

Pada 2 Januari 1492, Ratu Isabella I dari Castilla dan suaminya, Raja Ferdinand II dari Aragon, mengambil alih Granada, kerajaan terakhir Muslim di sana. Beberapa bulan kemudian, ia mendanai ekspedisi Christopher Columbus.

Namun, benarkah Columbus, pelaut asal Genoa, Italia, tersebut adalah penemu Benua Amerika pertama kali?  

Sejarah mencatat, sebelum Columbus, ada sejumlah ekspedisi trans- Atlantik yang diluncurkan oleh Muslim Spanyol. Dr Youssef Mroueh, dalam paper-nya, Pre-Columbian Muslims in the Americas, menginventarisasi ekspedisi-ekspedisi tersebut berdasarkan sumber-sumber sejarah.

Mroueh mencatat, penjelajah Muslim telah menjejakkan kakinya di Benua Amerika lima abad sebelum Columbus. “Sebagai contoh, pada pertengahan abad ke-10, pada era kekuasaan Khalifah Abdurrahman III (929-961), Muslim Afrika bertolak dari pelabuhan Delba (Palos) menuju ‘samudera gelap dan berkabut’. Setelah lama berlayar, mereka kembali dengan berbagai barang yang berasal dari tanah asing yang aneh,” tulis Mroueh.

Pelabuhan tempat mereka bertolak adalah Palos, sama dengan pelabuhan yang menjadi titik tolak Columbus menuju dunia baru. Kini Palos berada di wilayah Portugis.

Sejarawan Muslim, Abul-Hassan Ali bin al-Hussain al-Mas’udi (871-957), tulis Mroueh, juga mencatat ekspedisi yang bertolak dari Palos, dalam bukunya Muruj adh-Dhahab wa Maadin al-Jawhar (The Meadows of Gold and Quarries of Jewels). Ekspedisi ini terjadi pada era Abdullah bin Muhammad (888-912) menjadi emir Cordoba.

Saat itu, tepatnya 889, seorang navigator Muslim, Khashkhash bin Said bin Aswad dari Cordoba, berlayar menyeberangi Atlantik dan mencapai tanah asing (ard majhoola) dan kembali lagi dengan membawa harta benda yang menakjubkan. “Dalam peta dunia al-Mas’udi, ada daratan besar di Samudra Kegelapan dan Kabut, yang disebutnya sebagai tanah asing (Amerika),” tulis Mroueh.

Sejarawan Muslim lainnya, Abu Bakar bin Umar al-Guttiya, tulis Mroueh, juga menceritakan bahwa pada era Hisyam II (976-1009) menjadi Khalifah Umayyah di Spanyol, navigator Muslim asal Granada, Ibnu Farrukh, berangkat dari Kadesh pada Februari 999 menuju Atlantik.

Dia mendarat di Gando (kini Kepulauan Canary) dan mengunjungi Raja Guanariga. Kemudian, dia melanjutkan perjalanan ke barat di mana dia menjumpai dua pulau dan menamainya Capraria dan Pluitana. Ibnu Farrukh kembali ke Spanyol pada Mei 999.

Columbus yang bertolak dari Delba, Palos, pada 1492, tulis Mroueh, juga menuju Gomera (Kepulauan Canary). Gomera, kata Mroueh, berasal dari bahasa Arab.

Di sana Columbus jatuh cinta pada Beat riz Bobadilla, putri dari kapten penguasa pulau tersebut. “Nama keluarga Bobadilla ini berasal dari bahasa Arab, yaitu Abu Abdillah, yang berkaitan dengan Dinasti Abbadid yang menguasai Sevilla pada 1031-1091,” tulis Mroueh, mengutip tulisan Barry Fell dalam America BC yang diterbitkan di New York pada 1976.

Pada 12 Oktober 1492, tulis Mroueh, Columbus mendarat di Kepulauan Bahamas, yang oleh penduduk asli diberi nama Guanahani. Pulau ini kemudian diubah namanya menjadi San Salvador oleh Columbus.

“Guanahani merupakan derivasi dari bahasa Mandinka (Mali–Red) dan merupakan modifikasi dari bahasa Arab. Guana (ikhwana) berarti ‘saudara’ dan Hani adalah sebuah nama Arab,” tulis Mroueh, masih mengutip Barry Fell. 

Ferdinand Columbus, anak Christopher Columbus, tulis Mroueh, juga menulis tentang orang-orang berkulit hitam yang dilihat oleh ayahnya di Honduras. Fakta itu dikutip Mroueh dari buku Cyrus Gordon berjudul Before Columbus, yang terbit di New York pada 1971.

Ferdinand Columbus mencatat, “Orang-orang yang tinggal di bagian paling timur Pointe Cavinas, sejauh Cape Graciosa Dios, kebanyakan berkulit hitam.”

Pada saat bersamaan, di kawasan ini tinggal penduduk asli yang bernama Suku Almamy, yang telah memeluk Islam. “Dalam bahasa Mandinka atau Arab, Almamy adalah pertanda al-Imam atau al-Imamu, pemimpin sholat, atau dalam beberapa kasus ‘pemimpin sebuah komunitas’, dan atau anggota dari Komunitas Muslim Imami.”

Mroueh juga menyatakan bahwa sejarawan Amerika dari Universitas Harvard, Leo Weiner, dalam bukunya Africa and the Discovery of America (1920) menulis bahwa Columbus telah mengetahui keberadaan orang-orang Mandinka di dunia baru.

Ia juga mengetahui bahwa orang-orang Muslim dari Afrika barat telah tersebar mulai dari Karibia serta di Amerika bagian tengah, selatan, dan utara, termasuk Kanada, di mana mereka berdagang dan kawin-mawin dengan orang-orang Indian dari Suku Iroquous dan Algonquin.

“Columbus dan orang-orang Spanyol dan Portugis yang bisa menyeberangi Atlantik yang jaraknya 2.400 kilometer harus berterima kasih kepada informasi geografi dan navigasi Muslim, khususnya pada peta yang dibuat oleh para pedagang Muslim, seperti peta buatan al-Mas’udi dalam bukunya Akhbar az-Zaman (History of the World),” tulis Mroueh.

Mengutip buku lainnya yang ditulis Barry Fell, Saga America, yang terbit di New York pada 1980, Mroueh menyatakan Columbus mempunyai dua kapten Muslim dalam pelayarannya menyeberangi Atlantik.

Keduanya adalah Martin Alonso Pinzon yang menjadi kapten Pinta dan saudaranya Vicente Yanez Pinzon yang menjadi kapten Nina. Columbus berlayar dengan tiga kapal, yaitu Pinta, Nina, dan Santa Maria. Keluarga Pinzon mempunyai pertalian dengan Abuzayan Muhammad III (1362-1366), sultan Maroko dari Dinasti Marinid.

Masih banyak lagi catatan tentang ekspedisi trans-Atlantik yang dilancarkan Muslim, baik dari Spanyol maupun dari Afrika barat dan Afrika utara, antara lain yang diabadikan oleh ahli geografi terkenal, Al-Idrisi (1099- 1166), tentang ekspedisi yang bertolak dari Afrika utara menuju Samudera Gelap dan Berkabut, ekspedisi yang dicatatnya dalam kitab Nuzhat al-mushtaq fi ikhtiraq al-afaq. 

Richard V Francaviglia, professor emeritus dari Universitas Texas, Amerika Serikat, merupakan salah satu nama yang cukup dikenal dalam menelusuri jejak para penjelajah dunia baru, terutama soal pendapat yang menyatakan para pelaut Muslim telah lebih dahulu mencapai Amerika daripada Columbus. Salah satu karyanya berjudul Far Beyond the Western Sea of the Arabs…: Reinterpreting Claims about Pre- Columbian Muslims in the Americas.

Dalam karyanya yang dipublikasikan pada September 2014, Richard menggunakan pendekatan historigrafikal untuk memeriksa premis kontroversial tersebut. Menariknya, kata dia, orang-orang yang mengembangkan premis ini awalnya bukanlah Muslim. Mereka tidak membawa-bawa agama Islam dalam soal ini, tetapi menekankan pada soal-soal kultural dan geografi (Afrika dan/atau Arab).

Pada pertengahan hingga akhir abad ke-20, tulis Richard, pendukung premis ini kian banyak dan mereka memublikasikan berbagai literatur populer yang mengemukakan bukti-bukti tambahan, seperti kesamaan bahasa, cerita-cerita, peta eksplorasi, dan artefak budaya. Bukti-bukti tersebut, tulis Richard, tidak asal dimunculkan ke permukaan, tapi didapat setelah menelusurinya dengan menggunakan berbagai disiplin ilmu, seperti arkeologi, sejarah, dan linguistik.

“Bukti-bukti inilah yang dijabarkan dan dievaluasi di sini (“Far Beyond the Western Sea of the Arabs…”: Reinterpreting Claims about Pre-Columbian Muslims in the Americas),” tulis Richard, ahli historio-geografi, yang juga mengajar di Universitas Willamette, Oregon, ini.

KHAZANAH REPUBLIKA