Buya Hamka:  Tasawuf Modern dan Konsep Bahagia

Buya Hamka:  Tasawuf Modern dan Konsep Bahagia

Konsep kebahagiaan bukan hanya sebatas kegembiraan sesaat atau kesenangan materi, kebahagiaan hakiki, kata Hamka, terletak pada keharmonisan antara manusia dengan Allah SWT

Oleh: Abdullah Rifat Dhorif

HAJI Abdul Malik Karim Abdullah atau lebih akrab disapa HAMKA menulis buku “Tasawuf Modern” berisi seputar pemikiran hidup dalam meraih kebahagiaan yang hakiki sesuai tuntunan ajaran agama.

Konsep kebahagiaan bukan hanya sebatas kegembiraan sesaat atau kesenangan materi. Kebahagiaan sejati diyakini sebagai hasil dari keseimbangan dan keharmonisan dalam berbagai aspek kehidupan.

Bagi Hamka, kebahagiaan hakiki terletak pada keharmonisan antara manusia dengan Allah SWT, diri sendiri, serta sesama manusia yang dengan itu membawa keberkahan dalam kehidupan di dunia dan kebahagiaan yang abadi di akhirat.

Kebahagiaan dalam tasawuf dapat ditemukan melalui pencarian spiritual yang mendalam dan pemahaman akan hakikat kehidupan. Kebahagiaan sejati tidak hanya bersifat material atau fisik, melainkan juga bersumber dari kesadaran spiritual dan keseimbangan batin.

Kebahagiaan hakiki dicapai melalui hubungan yang erat dengan Allah, pemahaman akan tujuan hidup, serta kesadaran akan nilai-nilai spiritual.

Merawat jiwa, mencari kedekatan dengan Sang Pencipta, dan berusaha untuk hidup sesuai ajaran Islam adalah kunci utama menuju kebahagiaan sejati.

Seseorang dapat meraih kebahagiaan yang mendalam dan abadi, melebihi kebahagiaan sementara yang bersifat duniawi.

Buya Hamka, seorang ulama terkemuka dari Indonesia, memiliki pandangan yang kompleks terhadap tasawuf modern. Beliau menganggap bahwa tasawuf adalah bagian integral dari ajaran Islam yang memiliki nilai-nilai spiritual teramat penting. Salah satunya gapaian semua orang untuk mendapat hakikat kebahagiaan sejati.

Dr. Prof. Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau biasa dikenal dengan nama Buya Hamka, beliau dilahirkan di Sungai Batang Maninjau (Sumatra Barat) pada 17 Februari 1908 (14 Muharram 1326 H). Ayahnya ulama terkenal, Dr. Haji Abdul Karim Amrullah alias Haji Rasul, pembawa paham-paham pembaharuan Islam di Minangkabau.

Buya Hamka mempunyai nama lain saat kecil, yaitu Abdul Malik, Ia adalah anak pertama dari empat bersaudara, anak pasangan Abdul Karim Amrullah “Haji Rasul” dan Safiyah. 

Haji Rasul menikahi Safiyah setelah istri pertamanya, Raihana yang merupakan kakak Safiyah meninggal di Makkah. Raihana memberi Malik seorang kakak tiri, Fatimah yang kelak menikah dengan Syekh Ahmad Rasyid Sutan Mansur.

Muhammad Amrullah adalah seorang pemimpin Tarekat Naqsyabandiyah. Istri Amrullah, anduang bagi Malik, bernama Sitti Tarsawa adalah seorang yang mengajarkan tari, nyanyian, dan pencak silat. Ayahnya sering bepergian untuk berdakwah.

Saat berusia empat tahun, Malik mengikuti kepindahan orangtuanya ke Padang panjang, belajar membaca al-Quran dan bacaan shalat di bawah bimbingan Fatimah, kakak tirinya.

Memasuki umur tujuh tahun, Malik masuk ke Sekolah Desa. Kemudian di tahun 1916, Zainuddin Labay El Yunusy membuka sekolah agama Diniyah School, menggantikan sistem pendidikan tradisional berbasis surau. Sambil mengikuti pelajaran setiap pagi di Sekolah Desa, Malik mengambil kelas sore di Diniyah School. Kesukaannya di bidang bahasa membuatnya cepat sekali menguasai bahasa Arab.

Pada 1918, Malik berhenti dari Sekolah Desa setelah melewatkan tiga tahun belajar. Karena menekankan pendidikan agama, Haji Rasul memasukkan Malik ke Thawalib. Sekolah itu mewajibkan murid-muridnya menghafal kitab-kitab klasik, kaidah mengenai nahwu, dan ilmu saraf.

Setelah belajar di Diniyah School setiap pagi, Malik menghadiri kelas Thawalib pada sore hari dan malamnya kembali ke surau. Namun, sistem pembelajaran di Thawalib yang mengandalkan hafalan membuatnya jenuh.

Kebanyakan murid Thawalib adalah remaja yang lebih tua dari Malik karena beratnya materi yang dihafalkan. Dari pelajaran yang diikutinya, ia hanya tertarik dengan pelajaran arudh yang membahas tentang syair dalam bahasa Arab.

Dibayangi nama besar ayahnya Abdul Karim Amrullah, Hamka remaja sering melakukan perjalanan jauh sendirian. Ia meninggalkan pendidikannya di Thawalib, menempuh perjalanan ke Jawa dalam usia 16 tahun.

Setelah setahun melewatkan perantauannya, Hamka kembali ke Padang Panjang membesarkan Muhammadiyah. Pengalamannya ditolak sebagai guru di sekolah milik Muhammadiyah karena tak memiliki diploma dan kritik atas kemampuannya berbahasa Arab melecut keinginan Hamka pergi ke Makkah. Dengan bahasa Arab yang dipelajarinya, Hamka mendalami sejarah Islam dan sastra secara otodidak.

Kembali ke Tanah Air, Hamka merintis karier sebagai wartawan sambil bekerja sebagai guru agama di Deli. Dalam pertemuan memenuhi kerinduan ayahnya, Hamka mengukuhkan tekadnya untuk meneruskan cita-cita ayahnya dan dirinya

Hamka adalah ulama, sastrawan, pengarang, pujangga, dan filosof Islam. Ia diakui oleh lawan dan kawannya. Karena keahliannya pada tahun 1952 Pemerintah mengangkatnya menjadi anggota “Badan Pertimbangan Kebudayaan” dari Kementerian PP dan menjadi Guru Besar pada Perguruan Tinggi Islam Universitas Islam di Makassar juga menjadi penasihat pada Kementerian Agama.

Di samping keasyikannya mempelajari “Kesusasteraan Melayu Klasik”, Hamka pun bersungguh-sungguh menyelidiki Kesusasteraan Arab, sebab bahasa asing yang dikuasainya hanyalah semata-mata bahasa Arab. 

Dan pada tahun-tahun 70-an keluar pula buku-bukunya, “Soal Jawab” (tentang Agama Islam), “Muhammadiyah di Minangkabau’, “Kedudukan Perempuan dalam Islam”, Do’a-do’a Rasulullah”, dan lain-lain.

Pada Sabtu 6 Juni 1974 mendapat gelar “Dr.” dalam Kesusateraan di Malaysia. Bulan Juli 1975 Musyawarah Alim Ulama Seluruh Indonesia dilangsungkan. Hamka dilantik sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia pada tanggal 26 Juli 1975 bertepatan dengan 17 Rajab 1395.

Menurut Hamka, untuk mencapai bahagia menurut agama, harus mencapai 4 (empat) perkara; I’tikad  yang bersih, yakin, iman dan agama.

I’tikad

I’tikad  berasal daripada mengikat tepi-tepi barang, atau mengikatkan suatu sudut kepada sudut yang lain. Jadi timbulnya I’tikad  di dalam hati, ialah setelah lebih dahulu pikiran itu terbang dan lepas entah ke mana, tidak berujung dan tak tentu tempat hinggap.

Kemudian dapatlah suatu kesimpulan pandangan, lalu menjadi keyakinan. Terikat tidak retak lagi.

Sebab itu maka suatu pendapat yang tidak timbul dari pertimbangan akal pikiran yang hanya lantaran taklid buta, lantaran ikut-ikutan belumlah bernama I’tikad .

Orang yang berI’tikad  di dalam suatu perkara tidaklah mau mengerjakan suatu atau meninggalkan suatu pekerjaan dengan tidak berpikir. Kesimpulan pikirannya ialah I’tikad nya.

Dalam bahasa Indonesia I’tikad  itu telah berubah menjadi tekad. “Dan orang-orang yang mengerjakan satu perbuatan, atau menganiaya dirinya sendiri maka ingat mereka akan Allah. Lalu mereka memohon ampun atas kesalahan itu serta tidak tetap juga mereka atas perbuatan itu, sedang mereka telah mengetahui.” (QS. Ali Imran [3]: 135).

Demikian keadaan orang yang mempunyai I’tikad , kalau mereka terlanjur mengerjakan kesalahan. Orang yang tidak mempunya I’tikad , adalah menjadi puncak aru, menggulai ke mana gerak angin saja, ke mari bukan ke sana entah. 

Orang yang begini, meskipun bagaimana datang dan terangnya kebenaran di mukanya, tidak ada nilai hidupnya sebab kompas jantungnya telah rusak, sebab itu jarumnya tidak dapat menunjukkan utara dan selatan lagi. Jiwanya telah dimakan karat.

Orang yang begini selamanya tidak akan mendapat I’tikad  yang jernih, sebab pikirannya tidak bekerja lagi. Atau laksana arloji yang pandai. Akan tetapi harus diingat, kalau sekali per itu telah rusak dan kerapkali diperbaiki, tentu jalannya tidak sebaik dahulu lagi.

Ada pepatah Arab, “Peliharalah keindahan hati dari suatu penyakit, karena sukar sekali memperbaikinya kalau sekali sudah rusak.” Itulah sebabnya kita lebih banyak diperintah untuk menjaga hati daripada mengobatinya. Karena ongkos penjagaan tidak sebanyak ongkos pengobatan.

Yakin

Yakin artinya nyata dan terang. Yakin itu ialah lawan dari syak dan ragu-ragu. Maka tidaklah akan hilang syak dan ragu-ragu itu kalau tidak ada dalil atau alasan yang cukup.

Dan datangnya yakin itu setelah memperoleh bukti-bukti yang terang. Keyakinan datang setelah menyelidiki, kadang- kadang tidak diselidiki lagi karena dalil itu cukup terbentang di hadapan mata.

Cara mencapai dalil itu tidaklah sama di antara manusia. Banyak perkara yang diyakini oleh seorang, masih diragui oleh yang lain, sebab belum mendapat dalilnya.

Akan tetapi dalam perkara yang terang misalnya alasan bahwa hari telah siang, atau dua kali dua empat, lekas orang yang meyakininya.

Kemudian Raghib membagi tiga pula tingkatan yakin, yaitu: Ilmul Yaqin, Haqqul Yaqin, Ainul Yaqin. Ilmul yaqin artinya, ilmu yang timbul dari pendapat yang lahir setelah memperoleh dalil yang cukup.

Setelah cukup dalil lalu dicobakan maka timbullah Haqqul Yaqin. Setelah mendapat Haqqul Yaqin, lalu disaksikan sendiri pula lalu naik tingkatan itu kepada Ainul Yaqin, itulah yang setinggi-tinggi derajat yakin.

I’tikad  ialah kesimpulan pendapat pikiran. Keyakinan lebih daripada I’tikad  karena keyakinan adalah setelah diselidiki. Tegasnya I’tikad  tingkat pertama, keyakinan tingkat kedua. Sebab itu maka tiap-tiap keyakinan itu adalah I’tikad , tetapi tidaklah tiap-tiap I’tikad  itu keyakinan.

Maka janganlah mempunyai I’tikad  saja dengan tidak mempunyai keyakinan. Hendaklah I’tikad  diuji dengan batu ujian keyakinan.

Segala agama dan pendirian di dunia ini umumnya bernama I’tikad, tetapi tidak semuanya keyakinan pada zatnya. Agama Islam adalah suatu I’tikad. Sebab itu hendaklah kita jalankan pikiran, bersihkan hati dan jiwa setiap pagi dan petang, siang dan malam, supaya dia jadi I’tikad yang diyakini.

Iman

Iman artinya percaya. Jika perkataan Iman itu disendirikan, termasuklah kepadanya segala amalan yang lahir atau batin. Berkata setengah ahli pikir Islam, “Iman itu ialah perkataan dan perbuatan (qaulun wa’amalun)” (Diucapkan oleh lisan, diyakini dengan hati, dan diamalkan oleh perbuatan).

Allah SWT berfirman, yang artinya; “Sesungguhnya orang-orang mukmin (yang sebenarnya) hanyalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang benar.” (QS. Al-Hujurat [49]:15).

Firman-Nya pula, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal, (yaitu) orang-orang yang melaksanakan salat dan yang menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka akan memperoleh derajat (tinggi) di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia.” (QS. Al-Anfal [8]:2-4).

Jadi, iman itu lebih umum dari Islam dan lebih meliputi. Tiap orang yang beriman itu dia Islam, tetapi tidaklah tiap-tiap orang Islam itu beriman.

Terang pula bahwa arti iman dengan arti Islam jauh perbedaannya. Islam adalah bekas dari keimanan. Dalam Al- Qur’an senantiasa disebut orang yang beriman dan beramal shaleh. Amal shaleh itulah Islam.

Bertambah nyata lagi pada suatu hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dari Sayyidina Umar bin Khaththab, bahwa seketika Jibril datang merupakan dirinya sebagai seorang laki-laki, dia bertanya kepada Nabi Saw.,

“Apakah Islam?”

Jawab Nabi, “Islam ialah engkau ucapkan bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad utusan-Nya, mendirikan sembahyang, mengeluarkan zakat, puasa bulan Ramadhan, naik haji kalau kuasa.”

“Apakah Ihsan?”

“Ihsan ialah bahwa engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat Dia, jika engkau tidak melihat Dia, namun Dia tetap melihat engkau.”

Terang nyata kita lihat dari hadis itu bahwa uratnya ialah iman, pohonnya Islam, dan disiram terus supaya subur dengan ihsan. Apa sebab iman dikatakan uratnya? Memang karena tidaklah orang suka mengerjakan amal, yaitu Islam kalau hatinya sendiri belum percaya. Maka tidak diterima Allah amal orang yang munafik, sebab hatinya sendiri tidak percaya, meskipun dia sembahyang. Maka dari itu iman bisa subur dalam hati, hendaklah tersingkir hati dari sifat-sifat takabur, hasad, dan mencari kemegahan.

Keimanan memberikan perasaan kedamaian dan kepastian dalam menghadapi kehidupan. Ini memberikan ketenangan batin dan keyakinan bahwa ada sesuatu yang lebih besar di luar kendali manusia.

Melalui koneksi spiritual, orang sering merasa lebih terhubung dengan sesama manusia dan alam sekitar, yang dapat meningkatkan perasaan kebahagiaan dan kedamaian batin.

Selain itu, keyakinan akan adanya balasan ilahi atau pahala atas perbuatan baik juga bisa menjadi sumber motivasi yang besar dalam menjalani hidup. Ini memberikan perasaan bahwa kebaikan akan diakui dan dihargai, yang dapat meningkatkan kebahagiaan dan memberikan arti hidup yang lebih dalam.

Agama

Penyelidikan adalah tabiat manusia yang akil, itu sebabnya maka sudah beribu tahun agama-agama tersiar di dunia, padahal manusia belum berlindung kepada suatu agama saja. Hikmah kebenaran itu laksana berlian, mahal tetapi jauh tersembunyi.

Allah SWT berfirman, “Kalau Tuhanmu berkehendak, tentu dijadikannya segenap manusia ini menjadi umat yang satu: sekarang mereka masih tetap berselisih saja, kecuali orang yang beroleh rahmat dari Tuhanmu.” (QS. Hud [11]: 118-119)

“Kemudian mereka terpecah belah dalam urusan (agama)nya menjadi beberapa golongan. Setiap golongan (merasa) bangga dengan apa yang ada pada mereka (masing-masing).” (QS. [23]: 53).

Lantaran itu banyaklah perselisihan. Penganut suatu agama menyatakan agama lain salah, agamanya yang betul. Orang Yahudi mengatakan orang Nashrani itu tidak ada tempat tegaknya, orang Nashrani mengatakan agama Yahudi tak beralasan.

Kedatangan Islam ke dunia adalah di zaman pertikaian di antara agama-agama dengan sangat kerasnya, yang satu menghina yang lain, sepihak merendahkan lain pihak. Hanya sedikit golongan yang terlepas.

Datang Islam ke dunia mencela segala pertengkaran yang tak berujung itu. Islam menerangkan bahwa agama itu sekaliannya bukanlah kepunyaan manusia, tetapi kepunyaan Allah yang dibangun pada tiap-tiap zaman dengan perantaraan utusan-utusan-Nya. Dia ingatkan bahwa kedatangan Nuh, Ibrahim, Ismail sampai kepada Musa dan Isa, Sulaiman dan Daud, sampai kepada Muhammad ﷺ, hanyalah dari satu pihak, yaitu dari Tuhan.

Pokok agama itu satu, agama yang didatangkan Musa, itu juga yang dibawa oleh ‘Isa. Dan kedatangan Nabi Muhammad ﷺ di belakang itu adalah menyambung dan mencukupkan pelajaran yang telah dibawa oleh nabi nabi yang terdahulu daripadanya.

Agama itu satu ujud dan maksudnya, tidak dibangsakan kepada suatu keturunan sebagai Yahudi, dan tidak pula dibangsakan kepada suatu tempat sebagai negeri Nazareth, yaitu Nashrani. Ujud dan tujuannya satu, yaitu menyerahkan diri kepada Tuhan bulat- bulat, yang di dalam bahasa Arab dinamai Aslama, Yuslimu, Islaman (Menyerahkan diri, tunduk, patuh, dan taat).

Dari keempat poin tersebut perlu digaris bawahi bahwa keimanan kepada Allah dikaitkan dengan kebahagiaan karena banyak orang percaya bahwa memiliki keyakinan yang kuat kepada Sang Pencipta dapat memberikan rasa kedamaian, harapan, dan tujuan hidup yang mendalam.

Keyakinan ini juga bisa memberikan dukungan saat menghadapi cobaan dan kesulitan dalam hidup. Bagi sebagian orang, kesadaran akan keberadaan Dia Yang Mengatur Alam Raya juga memberikan perasaan bahwa mereka tidak sendirian dalam menghadapi segala hal karena sifat Maha Penyayang-Nya dapat memberikan ketenangan batin dan kebahagiaan yang lebih mendalam.*

Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, abdullahdhorif@gmail.com

HIDAYATULLAH