Ini Niat Ketika Hendak Sujud Sahwi

Menurut ulama Syafi’iyyah, ketika seseorang hendak melakukan sujud sahwi, maka terlebih dahulu dia wajib melakukan niat ketika hendak sujud sahwi di dalam hatinya. Jika tidak melakukan niat di dalam hatinya dengan sengaja dan dia mengetahui mengenai hukum keharusan melakukan niat, maka shalatnya batal kecuali berstatus sebagai makmum. Jika berstatus sebagai makmum, maka baginya tidak wajib niat melakukan sujud sahwi karena sudah diwakili oleh niat imamnya.

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah berikut;

الشافعية قالوا: سجود السهو هو أن يأتي المصلي بسجدتين كسجود الصلاة قبل السلام، وبعد التشهد والصلاة على النبي وآله بنية، وتكون النية بقلبه لا بلسانه، لأنه إن تلفظ بها بطلت صلاته..وإذا سجد بدون نية عامداً عالماً بطلت صلاته، وإنما تشترط النية للإمام والمنفرد، أما المأموم فإنه لا يحتاج للنية اكتفاء بنية الاقتداء بإمامه

Ulama Syafiiyah berkataSujud sahwi adalah dua sujud seperti sujud shalat yang dilakukan oleh orang yang shalat sebelum salam, setelah tasyahud serta shalawat atas Nabi Saw dan keluarganya dengan disertai niat. Niat tersebut wajib dilakukan di dalam hatinya, bukan dengan lisannya karena jika ia melafadzkan niat, maka shalatnya batal..Jika ia sujud sahwi tanpa niat dengan sengaja dan tahu, maka shalatnya batal. Syarat niat ini bagi imam dan orang yang shalat sendirian. Adapun makmum tidak perlu niat karena cukup hanya niat mengikuti imamnya.

Adapun niat ketika hendak sujud sahwi adalah sebagai berikut;

نَوَيْتُ سُجُوْدَ السَّهْوِ لله تَعَالَى

Nawaitu sujuudas sahwi lillaahi ta’alaa.

Aku berniat sujud sahwi karena Allah Ta’ala.

BINCANG SYARIAH

Nak, Jagalah Allah

ALLAH  SWT memiliki kekuasaan mutlak atas dunia seisinya. Lalu, mengapa anak disuruh menjaga Allah Yang Maha Kuasa dan bagaimana pula caranya?

“Nak, belajar yang rajin, ya. Nanti besar jadi seperti itu loh, yang banyak uangnya, bisa membangun sekolah, dan kamu bisa jadi orang terhormat, Nak!”

Ungkapan di atas adalah ilustrasi perihal harapan dan antusiasme para orangtua dalam mendidik anak-anaknya. Mereka berharap, anak-anaknya dapat menjadi orang yang berada, memiliki segalanya, kemudian bisa beramal baik.

Tentu sangat wajar jika orangtua berharap kebaikan dan kemudahan hidup bagi putra-putrinya. Tetapi, sadarkah kita sebagai orangtua, bahwa anak kita tidak saja hidup di dunia, tetapi juga di akhirat.

Dan, berkenaan dengan itu, Allah SWT secara tegas mengingatkan seluruh orangtua untuk benar-benar memperhatikan keluarganya, agar jangan sampai jatuh ke dalam neraka.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allâh terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (HR: At-Tahrîm [66]: 6).

Terhadap makna ayat tersebut Abdullah bin Abbâs Radhiyallahu anhu berkata, “Lakukanlah ketaatan kepada Allâh dan jagalah dirimu dari kemaksiatan-kemaksiatan kepada Allâh, dan perintahkan keluargamu dengan dzikir, niscaya Allâh Azza wa Jalla akan menyelamatkanmu dari neraka.”

Jadi, yang prinsip sebenarnya, tidak begitu soal anak kita kelak menjadi apa, berapa penghasilannya, dan bisa memiliki apa. Tetapi yang paling inti adalah, mampukah anak-anak kita menjadi pribadi yang berpegang teguh pada tali (ajaran) Allah, sehingga mereka menjadi generasi yang cemerlang bagi tegaknya ajaran Islam.

Mungkin anak kita tidak kaya, tidak menjadi pejabat, atau bahkan tidak menjadi pengusaha, tetapi selama kelak mereka menjadi suluh di dalam gulita, dimana kehadirannya menjadi penawar bagi kegersangan ruhani umat, maka sungguh itu lebih dari apapun dari kehidupan dunia ini.

Hal itulah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ﷺ terhadap Ibn Abbas. Beliau berdoa kepada Allah SWT agar anak pamannya itu menjadi seorang ahli ilmu.

“Ya Allah,pahamkan dia terhadap agama dan ajarilah ia ilmu tafsir”.

Berkat berkah doa Rasulullah ﷺ ini ia menjadi seorang yang pakar dalam tafsir al-Quran dan pakar dalam ilmu agama lainnya, hingga beliau digelari “Habrul Ummah” (Ahli Ilmu Umat ini).

Dengan demikian, bukan perkara mudah, mengantarkan anak sampai pada tahap yang demikian. Butuh keuletan dan doa dari orangtua dalam membina anak-anak agar memiliki ilmu dan adab.

Sayyidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu, berpesan, “Berikanlah kepada keluargamu itu ilmu, ajarkan kepada keluargamu itu adab.” Lantas, ilmu seperti apa yang dimaksudkan dalam nasihat suami Fatimah Az-Zahrah itu?

Tentu saja ilmu yang diajarkan oleh Allah SWT kepada Rasulullah ﷺ, yakni ilmu yang mengantarkan anak mengenal Allah SWT, mengenal Rasulullah ﷺ, mengenal ajaran Islam, dan ilmu yang mengantarkan hati mereka memiliki ketaqwaan kepada-Nya.

Terkait ini, ada suatu kisah menarik yang dialami oleh Ibn Abbas radhiyallahu anhu.  Abdullah bin ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma– menceritakan, “Suatu hari saya berada di belakang Nabi ﷺ.

Beliau bersabda, “Nak, aku ajarkan kepadamu beberapa untai kalimat: Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kau dapati Dia di hadapanmu. Jika engkau hendak meminta, mintalah kepada Allah, dan jika engkau hendak memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah. Ketahuilah, seandainya seluruh umat bersatu untuk memberimu suatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang telah Allah tetapkan untukmu.

Dan andaipun mereka bersatu untuk melakukan sesuatu yang membahayakanmu, maka hal itu tidak akan membahayakanmu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.” (HR. Tirmidzi).

Menjaga Allah SWT tentulah sebuah kata yang sangat singkat, namun dalam dan luas makna serta implementasinya. Menjaga Allah SWT berarti kita mendorong anak-anak kita mengenal perintah dan larangan-Nya, kemudian mengamalkannya.

Menanamkan hal ini tidaklah mudah. Sebab jangankan anak-anak, para orangtua pun tidak sedikit yang goyang keimanannya karena satu dan lain hal. Tetapi, bagaimana pun beratnya, tetaplah berupaya dan terus tanamkan kepada putra putri kita.

Sampaikan bahwa kelak akan ada kebahagiaan yang menyapa kehidupannya. “(Kepada mereka dikatakan), “Inilah nikmat yang dijanjikan kepadamu, kepada setiap hamba yang senantiasa bertobat (kepada Allah) dan menjaga (segala peraturan-peraturan-Nya).” ( Qaf [50]: 32).

Sisi yang paling penting ditanamkan kepada anak-anak agar mereka selamat dari neraka adalah mengenalkan kepada mereka perihal perkara yang sangat Allah SWT benci, yakni kemusyrikan, yang di dalam al-Qur’an disebut dengan adz-dzulmun adhim (kedhaliman yang besar).

‘Hak Allah atas hamba-Nya adalah beribadah hanya kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya.” (HR. Bukhari).

Dan, secara operasional hal ini dapat dirujuk pada apa yang ditegaskan oleh Nabi, bahwa apabila siapapun mampu menjaganya dengan baik, niscaya surga akan menjadi tempatnya. Rasulullah ﷺ bersabda, “Jika kalian bisa menjamin enam hal, maka aku akan jamin kalian masuk surga: [1] Jujurlah dalam berucap; [2] tepatilah janjimu; [3] tunaikanlah amanatmu; [4] jaga kemaluanmu; [5] tundukkan pandanganmu; [6] dan jaga perbuatanmu.” (HR. Al Hakim).

Pada akhirnya, kita akan menyadari sebagai orang tua, bahwa yang terpenting di dalam kehidupan ini adalah penjagaan Allah SWT atas kehidupan dan keimanan putra-putri kita. Dan, untuk sampai pada tahap Allah SWTmenjaga anak-anak kita, kita selaku orangtua harus berjuang mengantarkan mereka pada surga.

Hal itulah yang diteladankan oleh Nabi Ya’kub AS kepada putranya Nabi Yusuf AS. Dimana sekalipun hidup penuh dengan derita, ia tetap menjaga Allah SWT, sampai Allah SWT pun menjaganya dari rusaknya iman dan kehinaan.

كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ

“Demikianlah kami palingkan Yusuf dari keburukan dan kekejian. Sungguh dia terasuk dari hamba kami yang terpilih.” (QS: Yusuf [12]: 24). Allahu a’lam.*/Imam Nawawi, Ketua Syabab Hidayatullah

HIDAYATULLAH

Benarkah Agama adalah Sebab dari Perselisihan dan Pertumpahan Darah?

Sebelum kita menjawab pertanyaan dalam judul diatas, perlu kita buka bahasan kali ini dengan firman Allah SWT,

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ ۗ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ ۗ وَمَنْ يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.” (QS.Ali Imran:19)

Jika kita perhatikan, ayat ini ingin menjelaskan bahwa perselisihan yang terjadi dalam lingkup agama bukan selalu disebabkan oleh kebodohan. Tapi penyebab utamanya adalah fanatisme, kedzaliman, ketamakan dan penyimpangan dari jalan kebenaran.

Andai setiap manusia (khususnya para ulama’ mereka) membuang sikap fanatik, iri, dengki, tamak, merebut hak orang lain dan kemudian fokus untuk memperdalam hukum Allah dengan hati yang terbuka dan netral maka segala perselisihan itu akan hilang dalam waktu yang singkat.

Ayat ini juga ingin menjawab berbagai tuduhan bahwa agama adalah penyebab dari perselisihan dan pertumpahan darah sepanjang sejarah manusia.

Mereka menyamakan antara “agama” dengan “fanatisme keagamaan”. Jika kita mau mempelajari semua agama samawi, maka akan kita temukan satu tujuan yang sama. Dan semua agama itu hadir untuk memberikan jalan kebahagiaan bagi manusia. Walaupun agama itu datang bertahap sesuai dengan zamannya.

Agama samawi itu seperti air hujan yang turun dari langit untuk memberi kehidupan. Air itu murni, namun bila jatuh ke tanah yang mengandung garam, maka air itu akan menjadi asin.

Begitulah agama yang turun dari Allah, semuanya hadir untuk mengantarkan manusia pada kebahagiaan. Namun ketika diterima oleh “orang yang bermasalah” maka agama itu bisa digunakan untuk berbagai kepentingan dan kejahatan. Perselisihan terjadi bukan karena agama yang diturunkan oleh Allah, tapi karena “para pengikutnya” yang bermasalah.

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Allah SWT mengharuskan hamba-Nya berbaik sangka kepada orang lain

porsi haji

Sukarjakepada saya
1 jam yang laluDetailAllah SWT mengharuskan hamba-Nya berbaik sangka kepada orang lain

Di dalam banyak ayat Alquran dan hadits, berprasangka baik memang amat dianjurkan. Agama menjelaskannya dengan kata husnuzzhan, atau berbaik sangka. 

Menurut Syekh Mahmud Al-Mishri dalam Ensiklopedia Akhlak Rasulullah,  husnuzzhan, bahkan bisa dihukumi sebagai kewajiban ketika menyangkut hubungan manusia dengan Allah SWT. Nabi SAW bersabda: 

لا يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إلَّا وَهو يُحْسِنُ الظَّنَّ باللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ “Jangan sampai kalian mati kecuali dalam keadaan husnuzzhan, kepada Allah SWT.” (HR Muslim).

Husnuzan juga dianjurkan dalam hubungan antarsesama manusia. Rasulullah SAW selalu mencontohkan kepada para sahabatnya untuk berbaik sangka terhadap setiap orang. 

عن أبي هُرَيْرةَ ، قالَ : بَعثَ النَّبيُّ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ عُمرَ بنَ الخطَّابِ على الصَّدقةِ فمَنعَ ابنُ جميلٍ ، وخالدُ بنُ الوليدِ ، والعبَّاسُ ، فقالَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ : ما يَنقِمُ ابنُ جميلٍ إلَّا أن كانَ فقيرًا ، فأغناهُ اللَّهُ ، وأمَّا خالدُ بنُ الوليدِ ، فإنَّكم تظلِمونَ خالدًا ، فقدِ احتَبسَ أدراعَهُ ، وأعتُدَهُ في سبيلِ اللَّهِ ، وأمَّا العبَّاسُ عمُّ رسولِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ فَهيَ عليَّ وَمِثْلُها ،

Abu Hurairah RA meriwayatkan suatu ketika Rasulullah SAW mengutus Umar RA untuk menarik zakat. Namun, Ibnu Jamil, Khalid bin Walid, dan Abbas paman Rasulullah SAW tidak menyerahkan (zakat) sehingga beliau bersabda.

“Tidak ada sesuatu yang membuat Ibnu Jamil enggan untuk menyerahkan zakat kecuali karena dirinya fakir, kemudian Allah menjadikannya kaya. Adapun Khalid, sesungguhnya kalian berbuat zalim kepadanya (karena) ia menginfakkan baju besi dan peralatan perangnya di jalan Allah. Adapun Abbas, aku telah mengambil zakatnya dua tahun yang lalu.”

Sebaliknya, dengan suuzhan, yakni berprasangka buruk. Allah SWT mengingatkan kita agar menjauhi berprasangka jelek:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا “Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka. Sesungguhnya sebagian dari prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain…” (QS al-Hujurat: 12).

KHAZANAH REPUBLIKA

Hoaks Tentang Vaksin Bisa Hambat Imunisasi Umat Muslim

Banyak Muslim yang percaya vaksin Covid-19 mengandung gelatin babi yang diharamkan.

Ketidakpercayaan terhadap vaksin adalah masalah yang berkembang di komunitas Muslim. Hal ini karena banyak Muslim yang percaya vaksin Covid-19 mengandung gelatin babi yang diharamkan.

Menanggapi masalah ini, saat peluncuran vaksin Pfizer / BioNTeck Covid-19, seorang dokter Muslim mengaku prihatin atas klaim bahwa vaksin baru biasanya akan mencakup bahan-bahan hewani.

“Kami membayar harga untuk itu sekarang karena orang mengatakan ‘Oh, vaksin memiliki gelatin’. Sebenarnya mereka hanya tidak tertarik untuk mendengarkan kami,” kata British Islamic Medical Association (BIMA), Salman Waqar dilansir dari About Islam, Selasa (15/12).

Dr. Waqar yang bekerja sebagai dokter umum di Berkshire dan peneliti akademis di Universitas Oxford, menegaskan bahwa vaksin baru tidak mengandung produk hewani. Kekhawatiran tentang vaksin tidak terbatas pada komunitas Muslim.  Beberapa hari terakhir ini ia melihat peningkatan kesalahan informasi yang dibagikan secara online termasuk seputar penggunaan sel janin yang diaborsi.

“Ada hal-hal biasa yang ada dalam semangat anti-vaksin, tetapi juga menyasar bagian-bagian tertentu yang secara khusus memicu komunitas Muslim,” kata Dr. Waqar.

Dia menambahkan bahwa orang-orang terpercaya di kalangan Muslim termasuk imam dan profesional medis Muslim, harus berbagi pesan yang mendorong agar umat muslim mau divaksin. BIMA telah mengeluarkan pernyataan yang mendorong individu yang berisiko tertular Covid-19 untuk mengambil vaksin.  Pernyataan posisi BIMA mengikuti konsultasi dengan profesional perawatan kesehatan Muslim, ulama Islam, dan badan perwakilan dari seluruh Inggris.

Dewan Muslim Inggris (MCB) juga telah bekerja untuk memerangi disinformasi Covid-19. “Potensi media sosial dalam konteks penyebaran informasi yang salah dan mitos merupakan faktor yang mempengaruhi Muslim dan komunitas lain secara nasional,” kata juru bicara MCB.

“Ada ayat yang sangat berguna dari Alquran yang telah kami gunakan dalam brosur tentang berita palsu, yang mendesak umat Islam untuk menyelidiki informasi yang diterima. Agar Anda tidak menyakiti orang karena ketidaktahuan dan menjadi, atas apa yang telah Anda lakukan, menyesal. Kami mengaitkan keyakinan dan ajaran kami sebagai Muslim dengan tantangan umum yang kami hadapi saat ini, seperti menjadi korban berita palsu dan menyebarkannya,” jelasnya.

Di tingkat lain, para sarjana dari beberapa seminari Islam paling berpengaruh di Inggris telah mengeluarkan fatwa yang mengatakan bahwa vaksin Pfizer BioNTech Covid-19 yang baru adalah halal.

KHAZANAH REPUBLIKA

Benarkah Godaan Wanita Lebih Besar daripada Godaan Setan?

Jawaban dari pertanyaan ini dijawab seorang ulama, yaitu Asy-Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi Rahimahullah. Beliau menjelaskan bahwa bisa jadi godaan (tipu daya) wanita itu lebih besar daripada godaan atau tipu daya setan.

Beliau menjelaskan ayat tentang fitnah/godaan setan yang lemah, yaitu firman Allah Ta’ala,

إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا

“Sesungguhnya tipu daya (godaan) setan itu lemah” (QS. An-Nisa’: 76).

Dalam ayat lainnya, Allah Ta’ala berfirman dentang tipu daya/godaan wanita yang dahsyat,

إِنَّ كَيْدَكُنَّ عَظِيمٌ

“Sesungguhnya tipu daya (godaan) kalian wahai para wanita begitu besar” (QS. Yusuf: 28).

Lalu beliau menjelaskan,

هَذِهِ الْآيَةُ الْكَرِيمَةُ إِذَا ضُمَّتْ لَهَا آيَةٌ أُخْرَى حَصَلَ بِذَلِكَ بَيَانُ أَنَّ كَيْدَ النِّسَاءِ أَعْظَمُ مِنْ كَيْدِ الشَّيْطَانِ

“Ayat yang mulia ini (QS. An-Nisa: 76), apabila dipadukan dengan ayat yang lain (QS. Yusuf: 28), akan menghasilkan penjelasan bahwa tipu daya (godaan) wanita lebih dahsyat dibandingkan tipu daya (godaan) setan” (Adhw’aul Bayan, 3: 84).

Namun hal ini bukanlah untuk meremehkan godaan dan tipu daya setan sama sekali. Akan tetapi menunjukkan bahwa begitu besarnya godaan dan fitnah wanita bagi kaum laki-laki. Penjelasan beliau di atas dikaitkan dengan berbagai dalil yang menunjukkan bahwa wanita adalah fitnah/godaan terbesar laki-laki dari semua fitnah/godaan yang ada.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا تَرَكْتُ بَعْدِى فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ

“Tidaklah aku tinggalkan sepeninggalanku fitnah (cobaan) yang lebih berbahaya bagi kaum laki-laki, yaitu (fitnah) wanita” (HR. Bukhari dan Muslim).

Godaan wanita juga dapat menghilangkan akal sehat laki-laki, walaupun laki-laki itu adalah orang yang kokoh dan istikamah beragama.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ

“Tidaklah aku pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya sehingga dapat menghilangkan akal laki-laki yang teguh selain salah satu di antara kalian wahai wanita” (HR. Bukhari).

Semoga laki-laki kaum muslimin dijaga oleh Allah dari fitnah dan ujian wanita, karena ini adalah salah satu cara setan untuk menjerumuskan manusia ke dalam lumpur maksiat.

Perhatikan nasihat dari seorang tabiin senior, yaitu Said bin Mussayyib Rahimahullah. Beliau Rahimahullah berkata,

ما يئس الشيطان من شيء ؛ إلا أتاه من قبل النساء

“Tidaklah setan berputus asa (untuk menaklukkan manusia), kecuali dia akan datang memperdaya (menaklukkannya) dengan wanita” (Siyar A’lam An-Nubala’, 4: 237).

Demikian, semoga artikel singkat ini bermanfaat bagi para pembaca.

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel: www.muslim.or.id

Adab Berpolitik bagi Pemimpin dan Penguasa

Percaturan politik Indonesia saat ini menghadapi tantangan baru yang kita sebut sebagai krisis global. Krisis global ini mencerminkan kemunduran adab berpolitik yang sebenarnya. Saat pesta demokrasi berlangsung biasanya praktik-praktik licik yang kita kenal dengan istilah serangan Fajar atau money politic nyaris selalu mewarnai kebiasaan berpolitik di Indonesia.

Money Politic, seperti disampaikan Latipah Nasution (2017), terjadi pada saat pengusungan calon yang dilakukan partai dan pada saat pencarian dukungan langsung dari rakyat. Dalam hal ini rakyat dibayar, disuap, untuk memilih calon tertentu. Dengan demikian, rakyat dalam menentukan pilihannya tidak lagi dalam kehendak bebas, kesadaran akan bangsa dan negara, maupun dalam pengendalian penuh atas dirinya.

Sikap yang demikian ini bertentangan dengan prinsip dasar negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan, kejujuran, dan keadilan dengan menjamin prinsip perwakilan, akuntabilitas dan  legitimasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Keterlibatan masyarakat dalam pemilu merupakan hal yang mutlak. Hak masyarakat sangat mendasar dan asasi sifatnya. Hal ini diamini, sebagaimana dimuat dalam Universal Declaration of Human Right 1948 yang telah dijamin juga dalam konvenan dan turunannya, terlebih dalam Convenan on Civil and Political Rights and on Economic, Cultural and social Rights atau yang lumrah disebut dengan International Bill of Human Rights. Dengan demikian, praktik money politic perlu dihilangkan karena bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat dalam pemilihan umum yang harus didasarkan pada nilai-nilai kejujuran dan keadilan.

Hal ini tidak boleh dibiarkan. Prinsip demokrasi dan keadilan dalam pemilu yang demokratis, jujur, bersih, bebas dan adil tersebut harus dilestarikan dalam pesta demokrasi kita hari ini dan seterusnya agar kita tidak jatuh pada tindakan pidana dalam pemilu.

Pemahaman keliru akan jatuh pada praktik yang keliru pula. Sebagai konsekuensi logisnya, calon pemimpin yang akan dipilih masyarakat bukan lagi pada persoalan kesesuaian dengan pilihan hati rakyat, di mana para calon pemimpin ini harus mampu menjalankan roda pemerintahan dengan bersih dan adil, melainkan diukur berdasarkan kacamata besaran “Serangan Fajar”. Sebabnya, tidak jarang yang banyak memenangi pesta pemilihan tersebut biasanya dari mereka yang melakukan politik uang.

Memilih Pemimpin yang Adil

Pemilihan pemimpin/penguasa ini penting sekali agar bisa mengatur hubungan masyarakat ke arah yang lebih menjanjikan. Disamping itu, tugas seorang pemimpin juga berat. Oleh karenanya, peran negara hadir sebagai isyarat untuk mengatur kehidupan masyarakat yang ideal untuk mewujudkan masyarakat yang harmunis, makmur dan sejahtera.

Namun demikian, untuk mewujudkan masyarakat yang makmur dan sejahtera itu ternyata tidaklah mudah. Dibutuhkan pemimpin-pemimpin yang siap kontributif buat rakyatnya. Agar memperoleh pemimpin yang adil dan baik tersebut pemilihan pemimpin harus dilakukan dengan hati nurani yang bersih bukan karena dorongan hawa nafsu yang datang dari luar.

Coba kita perhatikan, setiap kali pemilihan umum (pemilu) dilaksanakan, di antara sebagian calon legislatif saling unjuk program terbaiknya kepada masyarakat baik dilakukan menggunakan baleho yang dipajangkan di pinggir jalan raya maupun janji secara langsung. Tetapi hampir melupakan–untuk tidak mengatakan sama sekali tidak melakukan–janji-janjinya tersebut.

Mereka tidak sadar bahwa apa yang mereka lakukan tersebut bukanlah karakteristik pemimpin ideal dan bukan adab berpolitik sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah Saw. Pendidikan ideal dimaksud adalah mampu menempatkan dirinya sebagai seorang pemimpin yang baik, bersih, jujur dan amanah. Dengan demikian, kriteria seorang pemimpin yang baik itu tidak diukur sesuai besaran “Serangan Fajar” yang dikeluarkan, akan tetapi tergantung pada kemampuannya memberikan yang terbaik bagi negaranya.

Pemimpin yang adil seperti telah dijelaskan tadi tentu berpotensi terhadap kesejahteraan masyarakatnya. Sebaliknya, negara akan menghadapi ancaman besar manakala para pemimpin tersebut lalai menjalankan tugasnya. Perhatikan kriteria seorang pemimpin yang digambarkan Rasulullah sebagai berikut.

عدل السلطان يوماً واحداً أحب إلى الله من عبادة سبعين سنة

Artinya:

Tindakan adil seorang penguasa satu hari saja lebih disukai oleh Allah daripada beribadah selama tujuh tahun.

Menurut Al-Ghazali, menjadi seorang pemimpin adil itu di sisi Allah SWT sangat mulia. Dari saking mulianya bahkan lebih besar pahalanya daripada orang yang ahli beribadah selama tujuh tahun. Namun demikian, seorang pemimpin yang tidak jujur dan adil tersebut bisa jadi menjadi ancaman. Bahkan, ia di sisinya mendapatkan ancaman yang tiada taranya.

Al-Ghazali dalam kitabnya al-Tibr al-Masbuk fi Nasihat al-Mulk menghadirkan sebuah dialog interaktif antara Khalifah Harun Ar-Rasyid dan al-Abbas ketika mengunjungi al-Fudhail bin Iyadh. Dalam pertemuan itu, Khalifah ingin meminta nasihat al-Fudhail. Sampai di depan rumahnya, mereka mendengar al-Fudhail tengah membaca Alquran surat al-Jatsiyah ayat 21:

ام حسب الذين اجترحوا السيات ان نجعلهم كالذين امنوا وعملوا الصالحات

“Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh?”.

Dari cerita tersebut, pesan moral yang dapat kita petik hikmahnya adalah tentang konsekuensi yang bakal diterima kelak di akhirat. Para penguasa yang tidak adil dalam menjalankan tugas-tugasnya di akhirat nanti dia akan mendapatkan balasannya.

Oleh sebab itu, jadilah pemimpin yang memiliki adab berpolitik yang baik, bersih, jujur, amanah dan adil terhadap rakyatnya melalui prosedur pemilihan yang juga dibenarkan.

BINCANG SYARIAH

Dia yang Kita Sebut Ulama

Terkadang saya bertanya dalam hati, apa yang harus disenangi dari melihat dan mendengar sebuah ceramah seorang ulama, yang isinya hanya menjelek-jelekan seseorang dengan diselingi teriakan teriakan asma Tuhan.

Alih-alih mendapatkan siraman rohani untuk meningkatkan ketaatan kepada Sang Khaliq, malah kita mendapatkan setruman untuk meningkatkan kebencian yang seharusnya direda, malah disengaja untuk dihidupkan.

Dewasa ini kita sedang mengalami krisis moral. Krisis moral yang terjadi ditandai dengan maraknya kenakalan-kenakalan remaja yang makin hari makin marak terjadi. Pemerintah, melalui pendidikan, mencoba menciptakan suatu sistem pembelajaran untuk menangani hal tersebut.

Dari ini lahirlah apa yang kita kenal dengan kurikulum 2013, kurikulum yang berfokus untuk membentuk karakter anak didik. Meski terus mengalami pembenahan sana-sini, pemerintah berharap melalui penerapan kurikulum ini, anak didik dapat tumbuh menjadi anak-anak yang menjaga nilai-nilai dan moral dalam kehidupan bermasyarakat.

Itu peran pemerintah, umara kita. Namun, yang perlu diingat adalah untuk membangun suatu bangsa yang kuat dan sehat tentu melibatkan banyak pihak di dalamnya. Kita tidak hanya bisa berpangku tangan menyerahkan segalanya kepada pemerintah, oleh karenanya masyarakat juga dituntut aktif di dalam menjaga bangsa yang dielu-elukan menjadi istimewa ini.

Dalam masyarakat, ada seseorang yang ditokohkan. Baik karena ilmunya, sikapnya, bijaknya atau karena agamanya, yang dalam hal ini bisa kita sebut sebagai seorang ustad, kiai, habib yang biasanya kesemuanya sering kita samakan dengan istilah ulama.Ya, ulama yang lahir dan hidup secara langsung di masyarakat mempunyai peranan penting di dalam menjaga keutuhan bangsa. Ia seharusnya menjadi garda terdepan di dalam melayani umat terutama melalui pendidikan agama yang ia ajarkan dan amalkan.

Ulama yang baik adalah ulama yang benar-benar mengayomi dan mendidi masyarakan dengan mengamalkan dalil-dalil agama yang ia ketahui, bukan dengan cara mendalili amal-amal yang ia kerjakan. (kalimat ini saya dapatkan dari dosen saya di kampus).

Ulama, dengan karifan dan kebijaksanaannya seharusnya bersama ikut membantu Umara di dalam mewujudkan karakter anak bangsa yang menjaga nilai-nilai dan moral dalam kehidupan bermasyarakat.

Banyak cara yang dapat dilakukan oleh Ulama dalam mewujudkannya, melalui ceramah, melalui pengajian-pengajian, atau melalui pesantren yang ia miliki. Dalam hal ini, santri yang menjadi penghuninya, menjadi sasaran ajaran dari sang ulama tersebut.

Namun, seribu sayang, ulama yang seharusnya ikut membantu menciptakan karakter anak bangsa yang baik, malah justru melumpuhkannya dengan cara menanamkan benih-benih kebencian pada anak bangsa.

Ulama yang seharusnya bersama umara saling melengkapi, malah justru menyerang umara tanpa henti, merendahkan, dan memfitnah. Mengkritisi beda dengan mencaci. Yang kedua ini justru lebih sering digaungkan daripada yang pertama.

Narasi-narasi kebencian, menjadi hidangan lezat masyarakat kita saat ini. Dibumbui dengan dalil-dalil agama yang semakin menambah cita rasa kebencan yang haqiqi.

BINCANG SYARIAH

Merendahkan dan Mencemooh Orang Lain

Allah Swt menciptakan manusia dan memuliakannya, seperti dalam Firman-Nya :

وَلَقَدۡ كَرَّمۡنَا بَنِيٓ ءَادَمَ

“Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam.” (QS.Al-Isra’:70)

Dan seluruh manusia memiliki rasa bangga akan kemuliaan yang diberikan Allah diantara seluruh makhluk lainnya dan mereka akan merasa terusik apabila dilecehkan dan direndahkan kemuliaannya.

Karenanya, Allah Swt sangat melarang untuk merendahkan orang lain dan menghinakannya. Allah Swt berfirman :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا يَسۡخَرۡ قَوۡمٞ مِّن قَوۡمٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُواْ خَيۡرٗا مِّنۡهُمۡ وَلَا نِسَآءٞ مِّن نِّسَآءٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُنَّ خَيۡرٗا مِّنۡهُنَّۖ وَلَا تَلۡمِزُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَلَا تَنَابَزُواْ بِٱلۡأَلۡقَٰبِۖ بِئۡسَ ٱلِٱسۡمُ ٱلۡفُسُوقُ بَعۡدَ ٱلۡإِيمَٰنِۚ وَمَن لَّمۡ يَتُبۡ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim. (QS.Al-Hujurat:11)

Dengan kata lain, Allah ingin menegaskan bahwa janganlah kalian saling merendahkan dan saling melecehkan, karena bisa saja mereka yang direndahkan sebenarnya jauh lebih mulia daripada kalian.

Sikap merendahkan muncul dari rasa congkak dan sombong dari dalam hati manusia. Ia merasa mulia sehingga layak merendahkan selainnya. Dan sikap merendahkan ini akan membawa seseorang kedalam perbuatan yang lebih keji yaitu mencaci dan mencemooh.

Cacian akan menanamkan dendam dalam hati manusia dan pada akhirnya akan terjadi perpecahan di antara kaum muslimin dan hilangnya kasih sayang dan semua itu dimulai dari sikap merendahkan !

Salah satu bentuk yang lain dari merendahkan adalah dengan memberi gelar yang tidak baik kepada saudara kita, mungkin gelar itu disematkan karena ada aib dari orang tersebut yang akhirnya diabadikan dengan sebuah gelar. Hal ini sangat diharamkan oleh Islam, Allah Swt berfirman :

وَيۡلٞ لِّكُلِّ هُمَزَةٖ لُّمَزَةٍ

“Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela.” (QS.Al-Humazah:1)

Bahkan Al-Qur’an melarang kita untuk merendahkan orang lain walau hanya dengan roman wajah, bukan hanya dengan ucapan saja. Apalagi jika orang tersebut sedang tertimpa musibah lalu kita merasa senang dengannya. Naudzubillah min dzalik.

Rasulullah Saw bersabda :

“Jangan menampakkan romah wajah yang tidak pantas kepada saudaramu (yang tertimpa musibah). Maka Allah akan merahmatinya dan akan mengujimu.”

Semoga bermanfaat…

KHAZANAHALQURANcom

Manfaat Bersyukur Kembali kepada yang Bersyukur

Apa manfaat bersyukur?

Dalam ayat ke-12 dari surah Luqman disebutkan,

وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ

“Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri.”

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang bersyukur, maka manfaat dan pahalanya akan kembali kepada dirinya sendiri. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

‎وَمَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِأَنْفُسِهِمْ يَمْهَدُونَ

Dan barangsiapa yang beramal saleh maka untuk diri mereka sendirilah mereka menyiapkan (tempat yang menyenangkan).” (QS. Ar-Ruum: 44). (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 6:114).

Sebaliknya barangsiapa yang mengingkari nikmat atau enggan bersyukur,

‎وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ

dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. (QS. Luqman: 12).

Allah itu Maha Kaya (Al-Ghaniy), tidak butuh pada hamba. Jika hamba tidak bersyukur, itu pun tidak membuat Allah tersakiti. Jika seluruh penduduk di muka bumi kufur, Allah tidak bergantung pada yang lainnya. Laa ilaha illallah, tidak ada yang berhak disembah selain Allah (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 6:114). Yahya bin Salam berkata, “Allah itu Maha Kaya (Al-Ghaniy), tidak butuh pada selain Dia. Allah pun Maha Terpuji (Al-Hamid) dalam segala perbuatan-Nya.” (Fath Al-Qadir, 4:312).

Dalam hadits qudsi ditunjukkan bahwa Allah tidak butuh pada rasa syukur seorang hamba dan jika mereka tidak bersyukur, itu pun tidaklah mengurangi kekuasaan Allah. Hadits qudsi tersebut menyebutkan,

‎يَا عِبَادِى لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا زَادَ ذَلِكَ فِى مُلْكِى شَيْئًا يَا عِبَادِى لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِى شَيْئًا

Wahai hamba-Ku, kalau orang-orang terdahulu dan yang terakhir di antara kalian, sekalian manusia dan jin, mereka itu bertakwa seperti orang yang paling bertakwa di antara kalian, tidak akan menambah kekuasaan-Ku sedikit pun. Jika orang-orang yang terdahulu dan yang terakhir di antara kalian, sekalian manusia dan jin, mereka itu berhati jahat seperti orang yang paling jahat di antara kalian, tidak akan mengurangi kekuasaan-Ku sedikit pun juga.” (HR. Muslim, no. 2577).

Ayat dari surah Luqman di atas mengajarkan kepada kita untuk bersyukur atas berbagai macam nikmat, lebih-lebih lagi dengan nikmat yang begitu besar yang Allah anugerahkan. Kepahaman terhadap agama adalah suatu nikmat yang besar dan begitu berharga. Kepahaman terhadap agama Islam pun termasuk hikmah. Jika kita diberikan anugerah ilmu oleh Allah, rajin-rajinlah untuk selalu bersyukur kepada-Nya.

Allah Ta’ala berfirman,

‎وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’.” (QS. Ibrahim: 7).

Mengenai surah Ibrahim ayat ketujuh, Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Siapa yang bersyukur atas nikmat Allah, Allah akan menjadikannya semakin taat.” Ar-Rabi’ berkata, “Siapa yang bersyukur atas nikmat Allah, maka Allah akan menambahkan karunia.” Muqatil berkata, “Siapa yang bersyukur atas nikmat Allah, maka Allah akan menambahkan baginya kebaikan di dunia.” (Lihat Zaad Al-Masiir, 4:347).

Begitu pula terhadap nikmat yang terlihat kecil dan sepele, syukurilah. Jika nikmat kecil saja tidak bisa disyukuri, bagaimana lagi dengan nikmat yang besar. Dalam hadits disebutkan,

‎مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيرَ

Barang siapa yang tidak mensyukuri sesuatu yang sedikit, maka ia tidak akan mampu mensyukuri sesuatu yang banyak.” (HR. Ahmad, 4:278. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 667, 2:272)

Kesimpulannya, bersyukur memiliki manfaat kembali kepada diri orang yang bersyukur dan akan membuat nikmatnya akan terus ditambah oleh Allah. Syukur tentu saja dengan taat kepada Allah.

Semoga kita menjadi hamba yang bersyukur.

Referensi:

  • Fath Al-Qadir Al-Jam’u bayna Fanni Ar-Riwayah wa Ad-Dirayah min ‘Ilmi At-Tafsir. Cetakan kedua, Tahun 1426 H. Muhammad bin ‘Ali Asy-Syaukani. Tahqiq: Dr. ‘Abdurrahman ‘Umairah. Penerbit Darul Wafa’.
  • Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah. Cetakan Tahun 1415 H. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Alhani. Penerbit Maktabah Al-Ma’arif.
  • Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Cetakan pertama, Tahun 1431 H. Ibnu Katsir. Tahqiq: Prof. Dr. Hikmat bin Basyir bin Yasin. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
  • Zaad Al-Masiir. Cetakan keempat, Tahun 1407 H. Ibnul Jauzi (Abul Farah Jamaluddin ‘Abdurrahman bin ‘Ali bin Muhammad Al-Jauzi Al-Qurasyi Al-Baghdadiy. Penerbit Al-Maktab Al-Islami.

Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com