Dikira Kiai

Markaban adalah jebolan santri yang amat memuliakan kiai. Dia merasa pandai ilmu agama itu atas bimbingan dan didikan dari seorang kiai. Oleh karena itu ia merasa tidak tega jika ada seorang kiai dilecehkan atau dihinakan. Sebelum kiai dihinakan, bagi Markaban, lebih baik dirinya dulu yang harus merasakannya.

Suatu ketika Markaban seusai turun dari Masjidil Haram, saat akan pulang menuju maktabnya, ia mendapati seorang lelaki tua Arab bersurban tengah menyapu di sekitar areal masjid. Markaban merasa iba dengan orang tua Arab itu. ”Kurang ajar benar orang di sini, masak kiai disuruh  nyapu . Mestinya kan dihormati, bukannya disuruh nyapu begini,” pikir Markaban.

Lalu, ia pun ingin segera menggantikan peran lelaki tua tersebut. Markaban berusaha mendekati lelaki tua itu dan meraih sapu yang dipegangnya. Karena tidak mengusai bahasa Arab, Markaban langsung berusaha merebut sapu yang dipegang lelaki tua itu sembari berkata, ”La..la..la.” Maksudnya kiai jangan menyapu biar Markaban saja yang melakukannya.

Tak disangka, lelaki tua itu malah mempertahankan sapu yang dipegangnya. Begitu juga Markaban, tak mau kalah dan berusaha merebutnya. Kejadian ini pun menarik perhatian para jamaah lain, termasuk pembimbing haji di maktab Markaban.

”Ada apa ini?” kata pembimbing. ”Ini ustadz, saya mau menggantikan tugas Pak kiai. Masak kiai disuruhnyapu. Tapi sapunya tak boleh saya minta,” ujar Markaban.

Pembimbing menjelaskan bahwa orang bersurban ini bukanlah seorang kiai. ”Di sini, bukan hanya kiai saja yang mengenakan surban. Para lelaki umumnya di sini memakai surban, termasuk tukang sapu ini,” ujar pembimbing.

 

 

sumber: Republika ONline