Orang Arab mengatakan,
لِكُلِّ مُسَمَّى مِنْ اِسْمِهِ نَصِيْبٌ
“Setiap orang akan mendapatkan pengaruh dari nama yang diberikan padanya.”
Nama itu penuh arti. Karena nama adalah identitas yang senantiasa menempel pada seseorang. Bahkan dari nama bisa diketahui latar belakang orang tua. Kalau namanya nama pemain sepak bola, berarti orang tuanya hobi sepak bola. Kalau namanya nama penyanyi, orang tuanya pengagum penyanyi itu. Kalau namanya nama tokoh pewayangan, bisa jadi orang tuanya pengagum budaya Jawa. Kalau si anak namanya nama islami, baik sangka kita orang tuanya seorang yang memiliki perhatian dengan agama.
Orang Arab juga mengatakan,
مِنْ اِسْمِكَ أَعْرِفُ أَبَاكَ
“Dari namamu, aku bisa mengetahui bagaimanakah ayahmu.”
Di zaman sekarang alternatif memilih nama banyak sekali. Namun ada nama-nama yang kata Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah nama terbaik. Beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَحَبَّ أَسْمَائِكُمْ إِلَى اللَّهِ عَبْدُ اللَّهِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ
“Sesungguhnya nama kalian yang paling dicintai di sisi Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman.” (HR. Muslim no. 2132).
Karena itu banyak sekali di kalangan para sahabat yang memberi nama anaknya dengan Abdullah. Imam an-Nawawi rahimahullah menyebutkan setidaknya ada 120 orang sahabat yang bernama Abdullah. Belum lagi nama Abdullah di generasi setelah sahabat. Semakin menambah padat komunitas nama Abdullah itu. Umat Islam berbangga dengan nama terbaik ini. Mereka berduyun menamai anak mereka dengan Abdullah. Dengan harapan, nama ini menjadi pendorong bagi si anak untuk menjadi pribadi yang baik pula.
Di antara sekian banyak nama Abdullah di tengah umat ini, ada empat orang Abdullah yang begitu menonjol. Mereka adalah anak dari tokoh sahabat. Dan mereka juga adalah tokoh di kalangan sahabat. Empat Abdullah itu adalah Abdullah bin Umar bin al-Khattab, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin az-Zubair, dan Abdullah bin Amr bin al-Ash. Merekalah yang dikenal dengan Abadilah (jamak dari Abdullah).
Abdullah bin Umar bin al-Khattab
Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu seorang imam dan panutan. Seorang sahabat putra dari seorang sahabat. Nasabnya adalah Abdullah bin Umar bin al-Khattab bin Nufail bin Abdul Uzza (Ibnu Saad: ath-Thabaqat al-Kubra, 4/105-106). Ia adalah seorang Quraisy dari klan Bani Adi. Sehingga dinisbatkan di akhir namanya dengan gelaran al-Qurasyi al-Adawi (Ibnul Atsir: Asad al-Ghabah, 3/336).
Ibnu Umar lahir tahun ke-3 kenabian (Ibnu Hajar: al-Ishabah, 4/156). Ia seorang rawi hadits yang popular. Termasuk enam orang yang paling banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia seorang sahabat dan putra dari menteri Rasulullah, Umar bin al-Khattab radhiallahu ‘anhu (adz-Dzahabi: Tarikh al-Islam, 2/843). Kun-yahnya adalah Abu Abdurrahman. Ibunya bernama Zainab binti Mazh’un (Ibnu Saad: ath-Thabaqat al-Kubra, 4/106). Dan ia merupakan saudara kandung istri Rasulullah, Ummul Mukminin Hafshah binti Umar radhiallahu ‘anhuma.
Putra Umar ini memeluk Islam sebelum baligh. Ia masuk Islam bersama sang ayah di tengah panasnya kekufuran Kota Mekah (Ibnu Saad: ath-Thabaqat al-Kubra, 4/106). Kemudian, bersama sang ayah juga ia hijrah ke Madinah. Hebatnya, perjalanan sejauh 450-an Km itu ia tempuh saat usianya baru 10 tahun (Ibnu Asakir: Tarikh Dimasyq, 31/83).
Sejarawan sepakat kalau Ibnu Umar tak turut serta dalam Perang Badar. Karena Nabi memandangnya masih sangat kecil kala itu. Ia baru diizinkan berperang oleh Nabi dalam Perang Khandaq. Saat berusia 15 tahun. Setelah itu, ia senantiasa turut serta dalam perang yang dipimpin oleh Rasulullah. Demikian juga dalam Perang Mu’tah, Yarmuk, Penaklukkan Mesir dan Afrika (an-Nawawi, Tadzhib al-Asma wa al-Lughat, 1/279).
Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu dikenal sebagai sahabat yang sangat semangat dalam meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Baik perkataan maupun perbuatan beliau. Sampai-sampai generasi setelah sahabat, kalau ingin meneladani Rasulullah, mereka akan memperhatikan gerak-gerik Abdullah bin Umar. Semangatnya ini terbukti dengan semangatnya juga mengambil hadits dari Nabi. Dialah yang meriwayatkan 2630 hadits dari Nabi (Ibnul Jauzi: Taqlih Fuhum Ahli al-Atsar, Hal: 263). Ibnu Umar adalah salah seorang sahabat yang paling paham tentang fikih haji. Dan memberi fatwa selama 60 tahun (Ibnu Hajar: Tadzhib at-Tadzhib, 5/330). Walaupun seorang mufti, ia bukanlah seorang yang bermudah-mudah dalam berfatwa.
Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu wafat di Mekah tahun 73 H (Ibnu Saad: ath-Thabaqat al-Kubra, 4/142). Saat itu usianya menginjak 84 tahun (al-Baghawi, Mu’jam ash-Shahabah, 3/479). Dan ia adalah sahabat terakhir yang wafat di Mekah (ad-Dinuri: al-Ma’rif, Hal: 186). Di usianya yang tua itu ia telah mengalami kebutaan sebelum wafatnya. Semoga Allah meridhai Abdullah bin Umar.
Abdullah bin al-Abbas
Abdullah bin Abbas juga seorang sahabat dan putra dari seorang sahabat. Nasabnya adalah Abdullah bin al-Abbas bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Qushay. Seorang Bani Hasyim (ahlul bait). Putra dari paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini digelari ayah para khalifah (Shalah ash-Shufdi: Nukats al-Humyan fi Nukat al-Umyan, Hal: 160). Karena khalifah-khalifah Daulah Abbasiyah nasabnya kembali padanya. Karena ilmunya yang luas, ia juga dijuluki al-faqih dan imam at-tafsir, al-bahr (lautan ilmu) dan habrul ummah (tintanya umat ini) dan penerjemah Alquran (Ibnu Saad: ath-Thabaqat al-Kubra, 2/279). Keluasan ilmunya merupakan berkah dari doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya.
Ibunya adalah Ummu Fadhl, Lubabah binti al-Harits al-Hilali. Dan dia dilahirkan di Mekah, 3 tahun sebelum hijrah (Ibnu Hajar: al-Ishabah, 4/122). Artinya Abdullah bin Abbas lahir dan tumbuh besar di masa kenabian. Ia membersamai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama 30 bulan (adz-Dzahabi: as-Siyar, 3/332). Namun kebersamaan singkat itu ia manfaatkan secara maksimal sehingga bisa meriwayatkan 1660 hadits dari Nabi (Ibnul Jauzi: Taqlih Fuhum Ahli al-Atsar, Hal: 263). Ada juga yang mengatakan 1696 hadits.
Saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, usia Ibnu Abbas baru menginjak 13 tahun (Ibnu Hajar: al-Ishabah, 4/122). Sepeninggal Nabi, ia berada di pihak Ali bin Abu Thalib di Perang Jamal dan Shiffin (adz-Dzahabi: Tarikh al-Islam, 2/663).
Abdullah bin al-Abbas radhiallahu ‘anhuma wafat di Thaif tahun 68 H. Inilah pendapat paling masyhur di kalangan sejarawan. Saat wafat usianya 71 tahun (ath-Thabari: al-Muntakhab, Hal: 28). Muhammad al-Hanafiyah yang mengimami penyalatan jenazahnya. Ia berkata, “Pada hari ini telah wafat seorang Rabbani di tengah umat ini.” (al-Qurthubi: al-Isti’ab, 3/934).
Abdullah bin az-Zubair
Abdullah bin az-Zubair adalah seorang sahabat dan putra dari seorang sahabat. Nasabnya adalah Abdullah bin az-Zubair bin al-Awwam bin Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushay bin Kilab bin Murrah al-Qurasyi al-Asadi (Ibnul Atsir: Asad al-Ghabah, 3/241). Kun-yahnya Abu Bakar. Ada juga yang mengatakan Abu Khubaib (an-Nawawi, Tadzhib al-Asma wa al-Lughat, 1/266).
Ayahnya seorang sahabat mulia az-Zubair bin al-Awwal. Salah seorang dari sepuluh orang yang dijamin surga. Ibunya Asma binti Abu Bakar ash-Shiddiq. Dan bibinya Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu ‘anha (an-Nawawi, Tadzhib al-Asma wa al-Lughat, 1/266). Ia adalah bayi pertama di dalam Islam yang dilahirkan setelah hijrah (Ibnu Asakir: Tarikh Dimasyq, 28/140).
Ibnu Zubair adalah seorang yang mendalam ilmunya. Seorang yang mulia, mujahid, dan ahli ibadah. Ia rutin berpuasa di siang hari. Dan shalat yang panjang di malam hari. Saat berusia tujuh atau delapan tahun, ayahnya membawa Abdullah menuju Rasulullah untuk berbaiat kepada beliau. Ia meriwayatkan hadits-hadits Nabi dari ayahnya, Umar bin al-Khattab, dan juga Utsman bin Affan (Ibnul Atsir: Asad al-Ghabah, 3/241). Jumlah haditnya sekitar 33 hadits.
Abdullah bin az-Zubair seorang penunggang kuda terbaik di zamannya. Kemampuannya ini sangat membantunya dalam berjihad. Di antara peperangan yang ia ikuti adalah Perang Yarmuk, penaklukkan Maroko, dan Perang Konstantinopel. Saat Perang Jamal, ia berada di pihak bibinya, Aisyah radhiallahu ‘anha (adz-Dzahabi: as-Siyar, 3/364).
Ia berbaiat kepada Yazid bin Muawiyah di akhir hayat sang pemimpin Bani Umayyah itu. Sekitar tahun 64 H atau 65 H. Ia sempat menjadi penguasa Hijaz, Yaman, Mesir, Irak, Khurasan, dan sebagian wilayah Syam (an-Nawawi, Tadzhib al-Asma wa al-Lughat, 1/267). Kekuasaannya berlangsung selama sembilan tahun. Sampai ia terbunuh di tangan al-Hajjaj bin Yusuf di masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan tahun 73 H (an-Nawawi, Tadzhib al-Asma wa al-Lughat, 1/267). Saat itu usianya menginjak 72 tahun (Ibnu Khalkan: Wafiyat al-A’yan, 3/74).
Abdullah bin Amr bin al-Ash
Abdullah bin Amr merupakan seorang imam luas ilmunya dan ahli ibadah yang luar biasa (adz-Dzahabi: as-Siyar, 3/80). Nasabnya adalah Abdullah bin Amr bin al-Ash bin Wa-il bin Hasyim bin Said bin Sahm (Ibnu Saad: ath-Thabaqat al-Kubra, 4/197). Ia seorang Quraisy dari klan Bani Sahm. Kun-yahnya Abu Muhammad. Ada pula yang mengatakan Abu Abdurrahman (adz-Dzahabi: Tarikh al-Islam, 2/666). Ibunya bernama Rithah binti Munabbih bin al-Hajjaj. Ada yang mengatakan, awalnya ia bernama al-Ash. Kemudian Rasulullah menamainya dengan Abdullah (Ibnu Asakir: Tarikh Dimasyq, 31/238). Usianya dengan ayahnya hanya terpaut 12 tahun. Bahkan ada yang mengatakan 11 tahun. Namun ada juga yang mengatakan terpaut 20 tahun. Dan ia memeluk Islam sebelum ayahnya.
Abdullah bin Amr bin al-Ash merupakan salah seorang ulama di kalangan para sahabat (adz-Dzahabi: Tarikh al-Islam, 2/666). Ibadahnya terkenal luar biasa dan ilmunya sangat luas. Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata tentang dirinya, “Tak ada seorang pun yang lebih banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dibanding diriku kecuali Abdullah bin Amr. Karena ia mencatat. Sedangkan aku tidak (Ibnu Hajar: Tahdzib at-Tahdzib, 5/337). Sejak zaman jahiliyah Abdullah bin Amr telah memiliki kemampuan menulis. Di masa Islam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkannya untuk mencatat hadits. Namun ia sedikit menyampaikan karena sangat sibuk beribadah.
Selain pakar dalam ilmu agama, Abdullah bin Amr juga turut serta dalam jihad dan peperangan. Di Perang Yarmuk ia berperan sebagai salah seorang pembawa panji perang. Di Perang Shiffin ia berada di pihak Muawiyah radhiallahu ‘anhu. Dan Muawiyah pernah mempercayakan jabatan Gubernur Kufah kepadanya.
Tentang wafatnya, sejarawan berbeda pendapat. Ada yang mengatakan ia wafat pada tahun 63 H. Pendapat lain menyebutkan tahun 65, 67, 68, bahkan 73 H. Karena tahun wafatnya diperselisihkan, otomatis usianya juga diperselisihkan. Ada yang menyebut 72 tahun. Ada pula yang berpendapat 92 tahun. Sampai tempat wafatnya pun sejarawan berbeda pendapat. Ada yang mengatakan beliau wafat di Mekah. Ada pula yang menyebut Thaif, Mesir, dan Syam (Ibnu Asakir: Tarikh Dimasyq, 31/244-245).
Oleh Nurfitri Hadi (IG: @nfhadi07)
Read more https://kisahmuslim.com/6353-empat-orang-abdullah-yang-istimewa.html