Hilangnya nikmat diakibatkan ulah diri sendiri bukan orang lain
Nikmat Allah ﷻ tidak mengubah suatu nikmat yang telah berlaku sejak dahulu.
Allah ﷻ tidak mengubah suatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, sehingga kaum itu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. Hal ini dijelaskan dalam surat Al Anfal ayat 53 dan tafsirnya sebagai berikut:
ذٰلِكَ بِاَنَّ اللّٰهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِّعْمَةً اَنْعَمَهَا عَلٰى قَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۙ وَاَنَّ اللّٰهَ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌۙ
“Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu nikmat yang telah diberikan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. Sungguh, Allah Mahamendengar, Mahamengetahui.” (QS Al Anfal ayat 53)
Tafsir Kementerian Agama menerangkan ayat ini mengandung isyarat, bahwa nikmat-nikmat pemberian Allah ﷻ yang diberikan kepada umat atau perorangan, selalu dikaitkan kelangsungannya dengan akhlak dan amal mereka itu sendiri.
Jika akhlak dan perbuatan mereka terpelihara baik, maka nikmat pemberian Allah ﷻ itu pun tetap berada bersama mereka dan tidak akan dicabut.
Allah ﷻ tidak akan mencabutnya, tanpa kezaliman dan pelanggaran mereka. Akan tetapi, manakala mereka sudah mengubah nikmat-nikmat itu yang berbentuk akidah, akhlak, dan perbuatan baik, maka Allah ﷻ akan mengubah keadaan mereka dan akan mencabut nikmat pemberian-Nya dari mereka, sehingga yang kaya jadi miskin, yang mulia jadi hina, dan yang kuat jadi lemah.
Ayat ini juga kerap ditafsirkan terkait dengan perubahan dalam diri seseorang. Turunnya azab atas orang-orang kafir merupakan bukti keadilan Allah ﷻ, sebab yang demikian itu yakni turunnya azab, karena sesungguhnya Allah ﷻ tidak akan mengubah suatu nikmat yang tampak pada penglihatan dan bisa dirasakan langsung, seperti rasa aman, kemakmuran, kesuburan, dan lain-lain, yang telah diberikan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.
Mengubah yang ada pada diri mereka sendiri, ini menyangkut perubahan sikap, mental dan perilaku. Seperti dari peduli menjadi tidak peduli, adil menjadi tidak adil, dari berani berkorban menjadi serakah, dan lain-lain. Sungguh, Allah Mahamendengar lagi Mahamengetahui.
Siksaan yang menimpa orang-orang Quraisy karena mereka mengingkari nikmat-nikmat Allah ﷻ, ketika Allah ﷻ mengutus seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan ayat-ayat-Nya, lalu mereka mendustakan, bahkan mengusirnya dari negerinya, lalu memerangi terus-menerus.
Maka Allah ﷻ menyiksa mereka disebabkan dosa-dosa mereka. Yang demikian ini membuktikan sunatullah yang telah berlaku sejak dahulu. Kebahagiaan suatu umat itu dikaitkan dengan kekayaan atau jumlah anak yang banyak seperti disangka sebagian besar kaum musyrikin yang diceritakan Allah dengan firman-Nya:
وَقَالُوا نَحْنُ أَكْثَرُ أَمْوَالًا وَأَوْلَادًا وَمَا نَحْنُ بِمُعَذَّبِينَ
“Dan mereka berkata, “Kami memiliki lebih banyak harta dan anak-anak (daripada kamu) dan kami tidak akan diazab.” (QS Saba 35)
Keluhuran suatu umat tidak dikaitkan dengan keturunannya atau keutamaan nenek moyangnya, seperti yang diakui oleh orang-orang Yahudi.
Mereka tertipu dengan keangkuhannya bahwa mereka dijadikan Allah ﷻ sebagai umat pilihan melebihi umat-umat yang lain, karena dikaitkan kepada kemuliaan Nabi Musa alaihissalam.
Allah Mahamendengar lagi Mahamengetahui apa yang diucapkan oleh orang-orang yang mendustakan rasul-rasul itu, Dia Mahamengetahui apa yang mereka kerjakan, apa yang mereka tinggalkan dan pasti akan memberi balasan yang setimpal dengan perbuatannya.