Salah satu fenomena di bulan Ramadhan ialah beragamnya rakaat shalat tarawih. Kemudian, dari Mana dalilnya? Dalam realitanya, ada keberagaman di masyarakat kita dalam menjalankan shalat tarawih.
Ada yang menjalankannya dengan 11 rakaat dengan witir dan ada yang menjalannya sebanyak 23 rakaat dengan witir. Meskipun beragamnya jumlah rakaat shalat tarawih bukan merupakan fenomena baru, tidak ada salahnya kita membincangkannya kembali.
Dr. KH. Muchlis Hanafi, sebagaimana dalam salah satu keterangannya, melihat fenomena jumlah rakaat shalat tarawih berangkat dari istilah qiyam ramadhan, sebagaimana termaktub dalam salah satu hadis Nabi Muhammad Saw. Hadis yang dimaksud secara lengkap berbunyi:
من قام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه
Artinya: ”Barangsiapa menjalankan qiyam Ramadhan atas dasar iman dan mencari ridha Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni” (HR. Bukhari).
Berdasarkan paparan yang disampaikan oleh Dr. KH. Muchlis Hanafi, yang dimaksud dengan qiyam ramadhan bisa sholat tahajud bisa shalat tarawih. Untuk masuk pada argumen yang menyatakan shalat tarawih adalah 11 rakaat, DR. KH. Muchlis Hanafi masuk dengan mengutip salah satu hadis yang diriwayatkan oleh sayyidah ‘Aisyah, yakni:
ما كان رسول الله ﷺ يزيد في رمضان ولا في غيره على إحدى عشرة ركعة يصلي أربعا فلا تسأل عن حسنهن وطولهن ثم يصلي أربعا فلا تسأل عن حسنهن وطولهن ثم يصلي ثلاثا قالت عائشة: قلت يا رسول الله تنام قبل ان توتر؟ قال: يا عائشة إنّ عينيّ تنامان ولا ينام قلبي متفق عليه
Artinya: “Rasulullah Saw. tidak pernah shalat melebihi 11 rakaat baik dalam maupun di luar bulan Ramadhan. Beliau sholat empat rakaat dan jangan ditanya kualitas dan lamanya.Kemudian Nabi sholat empat rakaat lagi, dan jangan ditanya kualitas dan lamanya.
Kemudian Nabi sholat sebanyak tiga rakaat. Sayyidah ‘Aisyah bertanya: wahai rasulullah, apakah sebelum sholat witir engkau tidur terlebih dahulu? Nabi menjawab: wahai ‘Aisyah, sesungguhnya kedua mataku tidur,namun hatiku tidak tidur” (muttafaqun ‘alaih).
Hanya saja, apabila diperhatikan dengan lebih seksama, riwayat dari sayyidah ‘Aisyah di atas bukanlah berbicara tentang shalat tarawih, melainkan shalat witir.
Hal ini terlihat dengan jelas dari pertanyaan sayyidah ‘Aisyah kepada Nabi, apakah engkau tidur terlebih dahulu sebelum menjalankan shalat witir? Meskipun tidak bisa disangkal bahwa shalat witir adalah bagian dari qiyamul lail (ibadah yang dilakukan di malam hari). Sehingga, istilah qiyamul lail memiliki arti lebih umum daripada tarawih.
Sementara itu, ketika Dr. KH. Muchlis Hanafi masuk untuk membicarakan jumlah shalat tarawih adalah 23 rakaat merujuk pada yang ditetapkan oleh sayyidina Umar bin Khattab. Menurutnya, shalat tarawih dalam kebijakan sayyidina Umar bin Khattab karena para sahabat memiliki kualitas bacaan yang tidak sama dengan kualitas yang dimiliki Nabi.
Dalam hemat penulis, hal ini bisa salah persepsi di kalangan masyarakat luas, seolah jumlah 23 rakaat adalah ijtihad dari sayyidina Umar.
Dalam salah satu keterangannya, Imam Abu Hanifah menyatakan,
قد سئل أبو حنيفة عما فعله عمر رضي الله عنه فقال: التراويح سنة مؤكدة ولم يتحرجه عمر من تلقاء نفسه ولم يكن فيه مبتدعا ولم يأمر به إلا عن أصل لديه وعهد من رسول الله ﷺ
Artinya: “Shalat tarawih hukumnya adalah sunnah muakkad. Apa yang menjadi kebijakan sayyidina Umar bukan lahir dari pemikirannya sendiri dan tidak dapat dikategorikan melakukan bid’ah, melainkan karena haltersebutjuga sudah adapada masa Rasulullah” (Hujjah Ahlussunnah wal Jama’ah, h. 30).
Meskipun tidak dapat diingkari, sebagaimana terjadi penambahan jumlah rakaat shalat tarawih di Madinah pada masa khalifah Umar bin ’Abdul ‘Aziz, yakni 36 rakaat belum termasuk witir, sebagaimana dijelaskan juga oleh Dr. KH. Muchlis Hanafi. Hal ini karena untuk menyamai ibadah yang dilakukan oleh masyarakat Mekkah.
Sebab, masyarakat Mekkah, setiap selesai shalat tarawih sebanyak empat rakaat, mereka melakukan tawaf. Oleh sebab itu, untuk mengganti tawaf yang dilakukan oleh masyarakat Mekkah, masyarakat Madinah menggantinya dengan sholat empat rakaat.
Melihat fenomena yang dilakukan oleh khalifah Umar bin ‘Abdul ‘Azizi di atas, KH. Ahmad Subki Masyhudi dalam kitab Hujjah Ahlussunnah walJama’ah menyatakan bahwa diperkenankan ulama berijtihad untuk menambahi jumlah rakaat shalat sunnah. Sebab, setiap individu manusia diperkenankan untuk menjalan shoalat sunnah pada malam dan siang hari sesuai yang ia mampu.
Kesimpulan
Meskipun fenomena beragamnya jumlah rakaat shalat tarawih terjadi di kalangan ulama, hanya saja berdasarkan madzhab Syafi’i, Maliki, Hanafi, dan Hanbali, shalat tarawih sunnahnya adalah 20 rakaat. Dan kebijakan yang lahir dari sayyidina Umar bukanlah ijtihad pribadi beliau.
Sayyidina Umar hanya berijtihad untuk lebih mensistematisasi pelaksanaan shalat tarawih yang berjumlah 20 rakaat, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Muhammad dan para sahabat-sahabatnya.