Bullying (perundungan) menjadi sorot perhatian banyak masyarakat beberapa pekan terakhir. Pasalnya, beberapa peristiwa yang terjadi membuat kita bergeleng-geleng kepala karena heran dan geram. Bagaimana mungkin seorang anak sekolah dasar tega menusuk temannya dengan tusuk sate? Bagaimana mungkin seorang anak sekolah menengah pertama tega menyiksa temannya karena alasan sepele? Ditambah berita tentang seorang anak terjun dari lantai atas sekolah karena cekcok dengan temannya. Dan semua itu terjadi di lembaga-lembaga pendidikan.
Sebenarnya, apa atau siapa yang salah? Sebelum lebih jauh menyalahkan banyak pihak, mari kita simak bagaimana Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama menyatakan tentang kondisi zaman secara umum dalam sabdanya,
لا يأتي عليكم عامٌ ولا يومٌ إلَّا والذي بعده شرٌّ منْهُ ، حتى تَلْقَوْا ربَّكم
“Tidaklah datang suatu masa di antara kalian yang kondisi masa tersebut lebih buruk dari sebelumnya. Sampai kalian berjumpa dengan Rabb kalian.” (Shahih Al-Jami’, no. 7576)
Tentu saja ini tidak berlaku secara mutlak. Hanya saja, memang kenyataannya dari masa ke masa berita-berita keburukan seolah menjadi hal yang biasa kita dengar, bahkan dilakukan oleh sekelompok orang yang sebelumnya kita tidak terbiasa mendengar kejahatan bisa berasal dari tangan mereka. Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahu menjelaskan,
وهذا هو الواقع، فكلما تقدم الزمان، وتأخر عهد النبوة؛ قل العلم، وكثر الجهل، كما هو الحال اليوم في القرن الخامس عشر، والرابع عشر الماضي، فإن العلم قد قل كثيرًا، والجهل قد انتشر في غالب البلدان، فقل أن تجد بلدًا فيها العلماء الذين يكفون لحاجة البلاد، ويشار إليهم بالعلم، والفضل، والاستقامة، فالمصيبة عظيمة.
“Inilah yang terjadi. Semakin ke sini dan semakin jauh dengan masa kenabian, maka ilmu semakin sedikit dan merebaklah kebodohan. Sebagaimana terjadi di abad 14 dan 15 Hijriah yang menunjukkan betapa ahli ilmu semakin sedikit dan kebodohan kian menyebar di seantero negeri. Jarang sekali kau temui negeri yang ulama di dalamnya mencukupi kebutuhan negeri tersebut, yang menjadi rujukan ilmu, keutamaan, dan keteguhan. Sungguh musibah ini begitu berat.” (binbaz.org)
Namun, akankah kita diam saja dengan peristiwa ini? Tentu saja tidak. Bagaimana pun, agama Islam tidak pernah membenarkan perilaku bullying sama sekali. Baik verbal, fisik, sosial, dan emosional. Sebagaimana dalam beberapa dalil berikut ini.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama melarang dari menyakiti dan mencela sesama (verbal and physical bullying)
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama secara tegas melarang seorang muslim mencela. Sebagaimana dalam sabda beliau,
سِبابُ المُسْلِمِ فُسُوقٌ، وقِتالُهُ كُفْرٌ
“Mencela sesama muslim adalah bentuk kefasikan dan memeranginya adalah bentuk kekufuran.” (HR. Bukhari no. 6044)
Setiap pembicaraan yang mengarah kepada terjatuhnya kehormatan seorang muslim tanpa haknya atau perbuatan yang menjadikan seorang muslim tersakiti, maka keduanya merupakan bentuk keharaman yang secara tegas dilarang di dalam Islam.
Suatu ketika, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah ditertawakan karena betisnya yang kecil. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama pun menghardik orang-orang yang tertawa sembari mengatakan,
والَّذي نَفْسي بيَدِه لَهُما أثقَلُ في المِيزانِ مِن أُحدٍ
“Demi Allah, jika kedua kakinya diletakkan di timbangan hari kiamat, niscaya lebih berat dari gunung Uhud.” (HR. Al-Hakim no. 5479)
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama melarang umatnya dari menjatuhkan kehormatan (social bullying)
Dalam beberapa hadis, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama melarang umatnya dari melakukan perbuatan yang berpotensi menjatuhkan kehormatan seorang muslim. Seperti teguran beliau dari perbuatan ghibah,
إنْ كانَ فيه ما تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ، وإنْ لَمْ يَكُنْ فيه فقَدْ بَهَتَّهُ
“Jika memang benar apa yang kalian katakan tentangnya, maka hal tersebut adalah ghibah. Dan jika tidak benar, maka kalian telah berdusta atasnya.” (HR. Muslim no. 2589)
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama juga melarang keras umatnya dari gemar membuat desas-desus atau namimah. Sebagaimana dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallama,
لا يَدْخُلُ الجَنَّةَ نَمَّامٌ
“Para pengadu domba tidak akan masuk surga.” (HR. Muslim no. 105)
Sikap kita sebagai orang tua
Lantas, bagaimana sikap kita sebagai orang tua agar anak kita terhindar dari kejahatan bullying atau bahkan agar anak kita tidak terjatuh ke dalam perilaku yang buruk ini? Ada beberapa nilai yang orang tua harus tanamkan kepada buah hati mereka sejak dini.
Tanamkan tentang empati dan penghormatan
Kepekaan seseorang untuk memahami sekitarnya dan menyikapinya dengan penuh penghormatan adalah sebuah sikap yang harus dimiliki oleh seorang muslim. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda,
مَن لم يَرحَمِ الناسَ لا يَرْحَمْهُ اللهُ
“Siapa saja yang tidak menyayangi manusia, maka Allah tidak akan menyayanginya pula.” (HR. At-Tirmidzi no. 1922)
Begitu pun dalam sabda yang lainnya,
ليسَ منَّا من لم يرحَم صغيرَنا ويعرِفْ شرَفَ كبيرِنا
“Orang-orang yang tidak menyayangi yang lebih muda atau menghormati yang lebih tua bukanlah termasuk golongan kami.” (Shahih At-Tirmidzi, no. 1920)
Hadis-hadis di atas menunjukkan bahwa Islam sama sekali tidak pernah mengajarkan seseorang untuk ngelamak (tidak sopan) kepada siapapun. Baik kepada yang lebih muda ataupun yang lebih tua. Dan yang terpenting untuk mengajarkan aspek empati ini adalah dengan teladan kedua orang tuanya. Seorang anak akan meniru bagaimana kedua orang tuanya memperlakukan orang-orang terdekatnya. Bagaimana ayahnya bersikap terhadap ibunya, bagaimana ibunya ketika berbincang dengan ayahnya, dan sebagainya.
Tanamkan keberanian
Perlu juga mengajarkan kepada anak-anak kita agar mereka menjadi anak yang berani. Tidak harus dengan melawan bullying yang mereka terima (semoga Allah hindarkan buah hati kita dari segala macam keburukan), namun paling tidak berani mengadukan kepada orang tuanya atau orang-orang yang memiliki hak untuk menyelesaikan masalah adalah sebuah keberanian yang patut untuk terus dipupuk.
Ibnul Qayyim rahimahullahu mengatakan,
“Banyak manusia yang mengidentikkan keberanian dengan kekuatan. Padahal keduanya jelas berbeda. Berani adalah ketegaran hati dalam menghadapi sesuatu meskipun tidak punya kekuatan untuk membalas.”
وَكَانَ الصّديق رَضِي الله عَنهُ أَشْجَع الْأمة بعد رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم، وَكَانَ عمر وَغَيره أقوى مِنْهُ، وَلَكِن برز على الصَّحَابَة كلهم بثبات قلبه فِي كل موطن من المواطن الَّتِي تزلزل الْجبَال، وَهُوَ فِي ذَلِك ثَابت الْقلب، رابط الجأش، يلوذ بِهِ شجعان الصَّحَابَة وأبطالهم، فيُثَبِّتهم ويشجعهم
“Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu adalah orang yang paling berani setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama, sementara Umar radhiyallahu ‘anhu dan yang lainnya lebih kuat dari Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu. Akan tetapi, para sahabat bersaksi bahwa keteguhan Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu dalam setiap kondisi yang bahkan gunung saja runtuh dengannya sementara beliau tetap tidak bergeming, yang membakar keberanian sahabat lainnya.” (Al-Furusiyah, hal. 500)
Maka, didiklah anak kita menjadi anak-anak yang berani. Bukan berani yang sembarangan, melainkan berani menyuarakan kebaikan dan melawan keburukan. Ajarkan mereka tidak takut menghadapi berbagai macam situasi termasuk bullying. Semoga Allah jaga anak-anak kita dari perilaku yang merusak ini.
***
Penulis: Muhammad Nur Faqih, S.Ag
© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/88366-fenomena-kekerasan-di-sekolah.html