Fikih Kasus Kriminal yang Dilaporkan kepada Ulil Amri

Dalam fikih, dibedakan antara kasus kriminal yang sudah dilaporkan kepada ululamri (pemerintah) dengan yang belum dilaporkan. Untuk kasus kriminal terdapat hukuman hadd-nya. Apabila sudah dilaporkan kepada ululamri maka ketika itu hukuman hadd wajib ditegakkan. Adapun yang belium dilaporkan kepada ululamri maka tidak wajib ditegakkan hadd dan bisa dimaafkan.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu’anhu beliau berkata,

إني لَأذكرُ أولَ رجلٍ قطعه رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ ، أُتِيَ بسارقٍ فأمر بقطعِه ، فكأنما أسِفَ وجهُ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ ، فقالوا : يا رسولَ اللهِ كأنك كرهتَ قطعَه ؟ قال: وما يمنعُني ؟ ! لا تكونوا أعوانًا للشيطان على أخيكم إنه لا ينبغي للإمامِ إذا انتهى إليه حدٌّ إلا أن يقيمَه إنَّ اللهَ عفُوٌّ يحبُّ العفْوَ { وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللهُ لَكُمْ وَاللهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ}

“Aku ingat suatu ketika ada lelaki yang dipotong tangannya oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika itu dihadapkan kepada beliau seorang pencuri, lalu dipotonglah tangan pencuri tersebut.

Namun seolah-olah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menyesal telah memotong tangan orang tersebut. Maka para sahabat berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah engkau tidak suka untuk memotong tangan orang tadi?’

Nabi bersabda, ‘Apa yang menghalangiku untuk tidak memotongnya? Janganlah kalian menjadi penolong setan untuk menggoda saudara kalian (untuk tidak menegakkan hadd, pent.). Sesungguhnya tidak boleh bagi seorang pemimpin jika kasus kriminal telah dihadapkan kepadanya lalu ia tidak menegakkan hadd.

Sesungguhnya Allah itu Maha Pemaaf dan mencintai pemaafan. Allah berfirman (yang artinya), ‘dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’” (QS. An Nur: 22)” (HR. Ahmad [6/100], di-hasan-kan Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah [4/182]).

Hadis ini menunjukkan bahwa jika kasus kriminal yang terdapat hukuman hadd sudah dilaporkan kepada ululamri, maka wajib bagi ululamri untuk menegakkan hadd (hukuman) dan tidak ada celah untuk memaafkan walaupun sangat ingin untuk memaafkan.

Syekh Abdul Aziz bin Baz mengatakan, “Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam menjelaskan bahwa menegakkan hukuman hadd adalah termasuk perkara penting. Bahwasanya dalam hal ini tidak diperbolehkan syafa’ah setelah perkaranya sampai kepada penguasa. Bahkan hukuman hadd tersebut wajib dijalankan, jika memang perkaranya sampai kepada penguasa. Sehingga timbul efek jera di tengah masyarakat dari melakukan apa yang diharamkan Allah. Itu juga merupakan sebab dari istikamahnya masyarakat dalam melakukan apa yang Allah perintahkan, dan dalam rangka menegakkan hak Allah Subhanahu wa ta’ala” (http://www.binbaz.org.sa/mat/11950).

Ibnu Daqiq Al-Ied ketika menjelaskan hadis Bukhari-Muslim yang panjang tentang wanita Mahzumiyyah yang dipotong tangannya, beliau menjelaskan, “Hadis ini adalah dalil terlarangnya memberi syafaat untuk sebuah hukuman hadd setelah perkaranya sampai di tangan hakim/penguasa. Di dalam hadis ini juga terdapat penggambaran betapa fatalnya perbuatan al-muhabah (nepotisme) terhadap orang-orang terhormat dalam pelanggaran hak-hak Allah Ta’ala” (Ihkamul Ahkam, 2/248).

Baca Juga: Apakah Ulil Amri Yang Wajib Ditaati Hanya Yang Berhukum Dengan Kitabullah?

Kasus yang belum dilaporkan

Adapun selama belum dilaporkan kepada ululamri, maka disitulah celah untuk memaafkan. Terutama bagi orang-orang baik yang tergelincir pada kesalahan. Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

أَقِيلُوا ذَوِي الْهَيْئَاتِ زَلَّاتِهِمْ

“Maafkanlah ketergelinciran orang-orang yang baik” (HR. Ibnu Hibban 94).

Di dalam riwayat lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أقيلوا ذوي الهيئات عثراتهم ، إلا الحدود

“Maafkanlah ketergelinciran dzawil haiah (orang-orang yang baik namanya), kecuali jika terkena hadd” (HR. Abu Daud 4375, Disahihkan Al-Albani dalam Ash-Shahihah, 638).

Ali Al-Qari berkata, “Para ulama telah sepakat mengenai haramnya syafaat dalam urusan hadd setelah perkaranya sampai di tangan imam (hakim) berdasarkan hadis ini. Hal itu dikarenakan dalam hadis ini ada larangan memberikan syafaat. Adapun sebelum perkaranya sampai di tangan imam (hakim), sebagian besar ulama membolehkannya jika orang yang melakukan maksiat tersebut bukan orang yang biasa berbuat keburukan atau orang yang suka mengganggu orang lain. Adapun maksiat yang dikenai hukuman ta’zir (bukan hadd), maka boleh ada syafaat (orang dekat bagi terpidana, pent.) dan boleh (bagi hakim, pent) untuk memberikan syafaat, baik perkaranya sampai ke imam ataukah tidak, karena ia lebih ringan (dari hadd). Bahkan hukumnya mustahab (dianjurkan) jika pelaku maksiat tersebut bukan orang yang biasa memberikan gangguan” (Mirqatul Mafatih, 6/2367).

An-Nawawi mengatakan, “Maksudnya adalah menutupi kesalahan orang yang memiliki nama baik dan semisal mereka yang tidak dikenal gemar melakukan gangguan dan kerusakan. Adapun orang yang gemar melakukan gangguan dan kerusakan maka dianjurkan untuk tidak ditutup-tutupi kesalahannya. Bahkan dianjurkan untuk diajukan perkaranya kepada waliyul amri jika tidak dikhawatirkan terjadi mafsadah” (Syarah Shahih Muslim, 16/135).

Oleh karena itu, terkadang perlu dimaafkan dan terkadang perlu dilaporkan.

Di antara akhlak yang mulia adalah seseorang memaafkan orang yang berbuat zalim. Allah Ta’ala berfirman,

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (QS. Ali-Imran: 134).

Syekh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah menjelaskan, “Di antara bentuk bermuamalah dengan akhlak mulia kepada orang lain adalah jika anda dizalimi atau diperlakukan dengan buruk oleh seseorang, maka anda memaafkannya. Karena Allah Ta’ala telah memuji orang-orang yang suka memaafkan orang lain” (Makarimul Akhlak, hal. 25).

Sehingga tidak ragu lagi bahwa memaafkan itu lebih utama secara umum. Namun, memaafkan itu tidak selamanya lebih baik dan utama. Allah Ta’ala berfirman,

وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ

“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan melakukan perbaikan maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim” (QS. Asy Syura: 40).

Syekh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah menjelaskan, “Dalam ayat ini Allah menggandengkan pemaafan dengan ishlah (perbaikan). Maka pemaafan itu terkadang tidak memberikan perbaikan.

Terkadang orang yang berbuat jahat pada anda adalah orang yang bejat, yang dikenal oleh masyarakat sebagai orang yang buruk dan rusak. Jika anda memaafkannya, maka ia akan semakin menjadi-jadi dalam melakukan keburukannya dan semakin rusak. Maka yang lebih utama dalam kondisi ini, anda hukum orang ini atas perbuatan jahat yang ia lakukan. Karena dengan demikian akan terjadi ishlah (perbaikan).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan,

الإصلاح واجب والعفو مندوب, فإذا في العفو فوات الإصلاح فمعنى ذلك أننا قدمنا مندوبا على الواجب. هذا لا تأتي به الشريعة

Ishlah (perbaikan) itu wajib, sedangkan memaafkan itu sunah. Jika dengan memaafkan malah membuat tidak terjadi perbaikan, maka ini berarti kita mendahulukan yang sunah daripada yang wajib. Hal seperti ini tidak ada dalam syariat.’

Sungguh benar apa yang beliau (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah) sebutkan, rahimahullah” (Makarimul Akhlak, hal. 27).

Maka terkadang, tidak memaafkan dan menjatuhkan hukuman itu lebih utama. Jika memang hukuman tersebut akan menjadi kebaikan bagi si pelaku, kebaikan bagi masyarakat atau kebaikan bagi agama.

Wallahu a’lam.

***

Penulis: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/72592-fikih-kasus-kriminal-yang-dilaporkan-kepada-ulil-amri.html