Hak Asuh Anak dalam Islam

Hak Asuh Anak dalam Islam

Setiap pasangan suami istri pasti menginginkan langgeng hingga maut menjemput. Sehingga mereka pun akan selalu menjaga ikatan tali pernikahan dengan sebaik-baiknya. Apalagi jika sudah hadir anak yang lucu di tengah keluarga kecil mereka, maka lengkaplah kebahagiaan mereka.

Namun tidak banyak pula pasangan suami istri yang tidak bisa menahan emosi dan menyelesaikan problematika biduk rumah tangga yang berakhir dengan perceraian. Anak-anak mereka yang tak tahu apa-apapun menjadi imbasnya. Lalu, jika terjadi perceraian, hak asuk anak jatuh kepada siapakah? Suami atau istri?

Di dalam kitab Taqrib karya imam Abu Syuja’ bab al-hadhanah (hak asuh anak) dijelaskan bahwa jika suami mencerai istrinya dan mempunyai seorang anak dari istri itu, maka istrilah yang lebih berhak merawat anak tersebut.

Dan Imam Abu Qasim al-Ghazi di dalam kitab Fathul Qarib menjelaskan bahwa istri lebih berhak dengan segala sesuatu yang menjadikan kebaikan anak dengan jalan mendidiknya, merawatanya, memberikan makan, minum, memandikan badannya, mencuci bajunya, merawatnya bila sakit dan kemaslahatan-kemaslahatan lainnya. Adapun biaya perawatan itu ditanggung oleh ayah yang wajib atasnya memberi nafkah kepada anaknya.

Namun jika istri menolak untuk merawat anaknya, maka perawatan itu beralih kepada para ibunya istri (nenek, buyut dst). Dan perawatan itu berlangsung hingga usia tujuh tahun. Usia tujuh tahun ini adalah usia tamyiz menurut kebiasaan usia anak yang sudah pandai melakukan aktivitas dengan mandiri. Keterangan ini sangatlah selaras dengan hadis Nabi Saw:

عن عبد الله بن عمرو أن امرأة قالت: يارسول الله، كان بطني له وعاء وثديي له سقاء وحجري له حواء وان اباه طلقني واراد أن ينزعه مني فقال لها رسول الله صلى الله عليه وسلم أنت أحق به مالم تنكحي رواه أحمد وأبو داود وصححه الحاكم

“Dari Abdullah bin Amru bahwasannya ada seorang wanita yang bertanya: “Wahai Rasulullah, perutku baginya (anakku) adalah tempat, putingku baginya adalah wadah, dan pangkuanku baginya adalah tempat, dan sungguh ayahnya telah menceraikanku dan ia ingin merebutnya dariku, Rasulullah saw. bersabda kepadanya: “Kamu lebih berhak dengannya selama kamu belum menikah.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan disahihkan oleh imam Alhakim).

Kemudian, setelah usia tujuh tahun, maka anak yang telah pandai (tamyiz) tersebut diperintah agar memilih antara (ikut) bapak atau ibunya, mana yang dipilih antara keduanya, maka hendaknya anak diserahkan kepada pihak yang dipilih. Hal ini sesuai hadis Nabi Saw.

عن أبي هريرة رضي الله عنه أن امرأة قالت: يا رسول الله أن زوجي يريد أن يذهب بابني، وقد نفعني وسقاني من بئر عنبة، فجاء زوجها فقال النبي صلى الله عليه وسلم: يا غلام، هذا ابوك وهذه أمك، فخذ بيد أيهما شئت. فأخذ بيد أمه، فانطلقت به. رواه أحمد والأربعة وصححه الترمذي.

Dari Abu Hurairah ra. bahwasannya ada seorang perempuan berkata: “Wahai Rasulullah Saw. sungguh suamiku ingin mengasuh anakku, sedangkan ia sungguh telah bermanfaat bagiku, dan ialah yang memberikan aku minum dari sumur Inabah, lalu suaminya pun datang (kepada Nabi Saw.) Nabi Saw. bersabda: “ Wahai anak laki-laki, ini adalah bapakmu, dan ini ibumu, pilihlah diantara keduanya yang kamu mau,” Ia mengambil tangan ibunya yang kemudian pergi dengannya. HR. Ahmad dan imam empat (Abu Daud, At Tirmidzi, Annasai dan Ibn Majah), dan dishahihkan oleh imam Altimidzi.

Namun bila salah satu di antara keduanya (bapak dan ibu) ada kekurangan, misalnya gila, maka yang berhak adalah pihak lain, selama kekurangan itu selalu tetap ada padanya. Dan jika bapak tidak ada, maka anak disuruh memilih antara kakek dan ibu. Demikian pula pemilihan terjadi antara ibu dan orang yang ada rentetan nasab, misalnya saudara laki-laki dan paman (dari pihak bapak).

Demikianlah penjelasan hak asuh anak jika orang tuanya bercerai. Jika ia masih kecil dibawah usia tamyiz atau sekitar tujuh tahun, maka hak asuh dipihak istri. Namun, jika sudah tamyiz maka ia disuruh memilih lebih ingin diasuh bapak atau ibunya.

Wa Allahu A’lam bis Shawab.

BINCANG SYARIAH