Bulan puasa merupakan salah satu bulan yang selalu dinanti oleh seluruh umat Islam di mana pun berada. Bagaimana tidak, pada bulan ini semua orang akan berlomba-lomba untuk melakukan kebaikan dan membersihkan diri dari segala bentuk kedurjanaan yang menghinggapi diri. Berikut ini rahasia menahan diri dalam berpuasa.
Banyak yang beranggapan bahwa menahan diri dari segala sesuatu yang dapat membatalkan puasa⎯mulai dari makan, minuman, atau pun bersenggama⎯merupakan suatu perkara yang begitu berat (masyaqah) di dalam ibadah puasa. Namun siapa sangka, ketika ditelisik dengan seksama, justru kepayahan tersebut memiki beberapa rahasia (sir) atau falsafat yang tiada tara.
Rahasia Menahan Diri dalam Puasa
Grand Syekh Al Azhar, Syekh Ahmad Tayyib dalam bukunya yang berjudul “Min Dafatiry Al Qadimah” menjelaskan beberapa rahasia atau falsafat yang cukup menarik terkait ibadah puasa, salah satunya perihal falsafah menahan diri (At Tark).
Dalam buku tersebut, beliau menjelaskan bahwa kepayahan (masyaqah) yang ada di dalam puasa sebenarnya tidak lepas dari falsafah “At Tark” itu sendiri; sebab ketika kita merenungkan perihal rukun islam,–mulai dari membaca syahadat, shalat, zakat, atau pun haji–pasti kita akan temukan bahwa ke empat rukun tersebut dibangun atas asas mengerjakan (Al Fi’l) dan meninggalkan (At Tark).
Sedangkan puasa, ia hanya berasaskan At Tark saja, yakni meninggalkan hal-hal yang diinginkan oleh nafsu serta dapat membatalkan puasa. Dalam puasa tidak ada sama bentuk (format) ibadah bisa dikerjakan, beda halnya dengan empat rukun islam di atas.
Falsafat ketiadaan (Al Adamiyyah) inilah yang menyebabkan eksistensi puasa bersifat rahasia di mata manusia, selama yang bersangkutan tidak mempublikasikannya. Hanya Allah dan orang yang berpuasa saja yang mengetahuinya, bahkan sampai-sampai dikatakan bahwa malaikat Hafadzah tidak menulis ganjaran ibadah puasa, sebab ia tidak bisa melihatnya.
Oleh sebab itu, puasa merupakan satu-satunya ibadah yang sangat sulit diselubungi sifat riya, berbeda halnya dengan ibadah-ibadah lainnya yang dapat dengan mudah diselubungi sifat riya, baik dalam skala kecil maupun besar.
Selain itu, seluruh amal ibadah mempunyai potensi untuk dinikmati oleh pelakunya kecuali puasa; sebab dalam puasa tidak ada ruang bagi jiwa-raga manusia untuk merasakan kenikmatannya, bahkan secara tabiat, puasa selamanya akan menimbulkan kepayahan dan kemasyaqahan yang berat bagi pelakunya.
Maka tidak heran, jika puasa memiliki keistimewaan tersendiri di hapadan Allah swt, sebagaimana termaktub dalam Hadits Qudsi yang diriwayatkan oleh Sahabat Abu Hurairah di dalam kitab Shahih Bukhari-Muslim:
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلاَّ الصِّيَام، فَإنَّهُ لِي وَأنَا أجْزِي بِهِ
“Seluruh amal ibadah anak Adam untuk mereka sendiri kecuali puasa, sesungguhnya puasa untuk-Ku dan Aku sendiri lah yang akan membalasnya”. (HR. Bukhari-Muslim).
Dalam menafsiri hadits tersebut, Ulama-ulama Arifin memiliki penafsiran yang cukup menarik, diantaranya:
Pertama, tidak membutuhkan (Al Istighna) makan dan minum merupakan salah satu dari sebagian sifat Allah Swt. Oleh sebab itu, ketika berpuasa seakan-akan manusia menyembah Allah dengan salah satu dari sebagian sifat-Nya dan ia berusaha untuk bertingkah laku (Takhalluq) seperti tingkah laku-Nya Allah Swt.
Kedua, puasa tidak bisa dijadikan sarana ibadah terhadap selain Allah, seperti halnya orang-orang kafir yang tidak pernah mengagungkan berhala-berhala mereka melalui sarana puasa.
Ketiga, ketika hari kiamat kelak, seluruh amal ibadah manusia dapat berkurang dan ganjarannya diberikan terhadap orang yang pernah ia alami, kecuali puasa. Ganjarannya tidak akan berkurang sama sekali, walaupun ia memiliki hak adami (dosa terhadap sesama manusia) atau pernah berbuat zalim terhadap orang lain.
Itulah sekelumit rahasia falsafat menahan diri (At Tark) dalam puasa yang dikemukan oleh Grand Syekh Al Azhar Syekh Ahmad Tayyib di dalam bukunya. Semoga bermanfaat.