Sontak isu LGBT kembali menjadi viral. Raja podcast Deddy Corbuzier tengah menjadi sorotan lantaran mengundang pasangan LGBT, Ragil Mahardika dan Fred di kanal youtubenya. Menuai banyak hujatan karena isu ini sangat sensitif dengan kelas podcast Deddy yang banyak pemirsanya. Seolah kehadiran pasangan LGBT itu menandakan afirmasi atau buruknya kampanye dukungan LGBT.
Deddy pun meminta maaf atas kehadiran konten tersebut. Ia menegaskan tidak mengkampanyekan dan mendukung LGBT. Apa yang dihadirkan dalam podcast itu ingin menegaskan bahwa LGBT ada di tengah masyarakat. Dan LGBT adalah sebuah fakta. Sampai saat ini konten LGBT di kanal Youtubenya pun sudah dihapus.
Kontroversi itu lahir karena dua faktor subtansi dan medianya. Secara subtansi memang isu LGBT masih sangat sensitif bagi telinga masyarakat Indonesia. Kedua media Deddy adalah corong viral. Tentu tidak akan seheboh ini jika isu ini misalnya diangkat oleh kanal lain yang jumlahnya hanya segelintir. Karena potensi viral inilah yang dianggap tidak tepat mengangkat isu sensitif yang seolah kehadiran narsum LGBT berarti mengkampanyekan.
Dalam pandangan Islam, tentu pasangan LGBT telah menyalahi sunnatullah. Secara fitrah manusia, menurut Islam adalah berpasangan-pasangan sebagaimana ditegaskan dalam QS. Annisa’ : 1 atau dalam tujuan pernikahan yang tercantum dalam QS. Ar-rum : 21. Hubungan di luar yang sudah digariskan antara pasangan laki-laki dan perempuan adalah perilaku yang menyimpang baik dari ajaran dan fitrah kemanusiaan.
Pertanyaannya adalah apakah boleh Hak Asasi Manusia menjadi dasar dari hubungan ini? Tentu tergantung pada ajaran dan norma dan peraturan yang dipegang oleh masyarakat. HAM tentu tidak menjadi dasar kuat bagi perilaku yang dianggap menyimpang oleh masyarakat. Norma yang berlaku di Indonesia didasarkan pada ajaran dan nilai agama dan adat ketimuran. Inilah yang dipegang dan tidak bisa berlindung atas nama HAM. Apakah perilaku menyimpang bisa dijustifikasi oleh HAM?
Perilaku LGBT sudah melampaui batas dan tidak boleh berlindung atas nama kebebasan. Allah secara tegas mengatakan bahwa kelompok LGBT sebagai orang-orang yang telah melampau batas.
Artinya : Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia, dan kamu tinggalkan isteri-isteri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas. (QS. Asy-Syu’ara’ : 165-166).
Pemakluman atas keberadaan ini tentu akan berdampak terhadap keberlangsungan manusia. Berpasangan secara fitrah akan melahirkan generasi. Bukan sekedar alasan karena perasaan cinta dan kasih sayang, pernikahan dengan lawan jenis adalah untuk memelihara keturunan sebagaimana fitrah manusia.
Pertanyaannya, jika bertentangan dengan agama, lalu bagaimana harus menyikapinya? Apakah harus memaksa mereka dan mengusir keberadaan mereka? Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebenarnya telah mengeluarkan fatwa terkait LGBT agar terdapat jalan keluar bagi kelompok LGBT maupun masyarakat yang kemungkinan rentan terhadap prilaku seksual yang menyimpang tersebut. Salah satu poin pentingnya adalah bahwa Homoseksual, baik lesbian maupun gay hukumnya haram, dan merupakan bentuk kejahatan (Jarimah). Dan orientasi seksual terhadap sesama jenis adalah kelainan yang harus disembuhkan serta penyimpangan yang harus diluruskan.
Nah, tidak tolerir tentang hukum LGBT dalam Islam dengan dalih kebebasan. Pasangan LGBT jelas menyalahi fitrah kemanusiaan dan hukum agama. Hanya saja, keberadaan mereka yang memang sudah ada harus disikapi dengan arif dengan tidak menganggap mereka sebagai musuh. Mereka adalah korban kelainan yang harus disembuhkan, bukan dikucilkan.
Tidak ada legitimasi pemerintah atau justifikasi keagamaan tentang pernikahan sesama jenis. Pemerintah, Ormas dan tokoh agama penting untuk melakukan edukasi dan rehabilitasi terhadap mereka yang mempunyai orientasi seksual yang menyimpang ini. Mereka harus disembuhkan dan seharusnya tidak dikasih ruang publikasi yang berdampak kampanye dan resonansi legitimasi yang dilakukan oleh siapapun agar masyarakat tidak menjadikan kelainan ini sebagai kewajaran.