Baca pembahasan sebelumnya Hati Siapakah yang Marah ketika Melihat Kesyirikan? (Bag. 3)
Kondisi Kaum Muslimin Saat Ini
Realita yang kita temukan pada kaum muslimin saat ini adalah mereka belum memahami aqidah al-wala’ wal bara’ ini. Kita bisa melihat bersama, ketika hak Allah Ta’ala yang dilecehkan, dengan tidak menujukan ibadah hanya kepada-Nya saja, kubur wali disembah, kotoran kerbau atau nasi tumpeng dijadikan rebutan untuk dimintai berkahnya, dukun dan paranormal ramai-ramai beriklan di televisi dan majalah-majalah, maka hati siapakah yang miris? Hati siapakah yang menjadi benci, marah, dan murka? Siapakah yang berteriak lantang untuk mengingkari itu semua? Demikianlah, kemarahan dan kebencian hati kita ketika melihat kesyirikan mungkin masih kalah jauh daripada ketika kita melihat ribuan orang dibantai di Palestina atau kejahatan-kejahatan mengerikan lainnya. Kebencian kita terhadap pelaku kemusyrikan mungkin masih kalah jauh daripada kebencian kita terhadap penjudi, perampok, atau pembunuh. Apakah kita menyadari hal ini?
Bahkan, yang kita dapati justru dukungan dan sambutan mereka yang meriah terhadap pelecehan Allah Ta’ala itu dengan ikut menonton dan menikmatinya melalui acara-acara di televisi, membaca iklan-iklan atau liputan berita tentang kesyirikan itu di koran dan majalah, bahkan ikut serta memeriahkan acaranya. Masyarakat pun merasa enjoy dengan kejahatan syirik itu dan menganggapnya sebagai hal yang biasa-biasa saja. Atau, mereka justru ikut mengunjungi dan meramaikan tempat-tempat kesyirikan itu. Buktinya, masyarakat kita tidak segan-segan mengeluarkan uang dalam jumlah yang tidak sedikit untuk berwisata ke tempat-tempat kesyirikan dan menganggapnya sebagai aktivitas rutin biasa dalam kehidupan mereka. Sehingga kita lihat makam-makam dan petilasan-petilasan para wali penuh disesaki pengunjung, candi-candi peninggalan sejarah masa lampau berdiri dengan megahnya dengan dilengkapi fasilitas yang lengkap, serta masjid-masjid yang menjadi satu dengan makam orang shalih ramai dipenuhi peziarah.
Sikap Bertolak Belakang dengan Aqidah Al-wala’ Wal bara’
Bukannya membenci, memusuhi, mengingkari, dan menjauhkan diri dari tempat-tempat kesyirikan dan pelakunya, mereka justru ikut meramaikan dan memelihara kelestarian syirik tersebut. Menurut mereka, inilah bentuk melestarikan warisan budaya bangsa yang luhur dan menyelamatkannya dari kepunahan. Sehingga, mereka justru menjuluki orang-orang yang membenci dan memusuhinya sebagai “orang yang tidak tahu adat” atau sebagai “orang yang tidak mau menghargai budaya bangsa dan warisan leluhur”.
Alasan “melestarikan adat/budaya” atau “melestarikan warisan leluhur” untuk ”melestarikan kesyirikan” merupakan alasan yang dipakai oleh umat-umat pada zaman dahulu untuk membela kesyirikan mereka. Sebagaimana perkataan kaum Nuh ‘alaihis salaam, ketika mereka diajak untuk mentauhidkan Allah Ta’ala,
فَقَالَ الْمَلَأُ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَوْمِهِ مَا هَذَا إِلَّا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُرِيدُ أَنْ يَتَفَضَّلَ عَلَيْكُمْ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَأَنْزَلَ مَلَائِكَةً مَا سَمِعْنَا بِهَذَا فِي آبَائِنَا الْأَوَّلِينَ
“Maka pemuka-pemuka orang yang kafir di antara kaumnya menjawab, ’Orang ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, yang bermaksud hendak menjadi seorang yang lebih tinggi dari kamu. Dan kalau Allah menghendaki, tentu dia mengutus beberapa orang malaikat. Belum pernah kami mendengar (seruan yang seperti) ini pada masa nenek moyang kami yang dahulu’.” (QS. Al-Mu’minuun [23]: 24)
Dalam ayat ini, mereka melawan dakwah Nuh’alaihis salaam dengan mengatakan bahwa ajaran nenek moyangnya itulah ajaran yang benar. Sedangkan ajaran Nuh adalah ajaran yang batil karena menyelisihi ajaran nenek moyang mereka.
Menjadikan Budaya Nenek Moyang Sebagai Alasan
Adapun kaum kafir Quraisy, mereka mengatakan,
مَا سَمِعْنَا بِهَذَا فِي الْمِلَّةِ الْآخِرَةِ إِنْ هَذَا إِلَّا اخْتِلَاقٌ
“Kami tidak pernah mendengar hal ini dalam agama yang terakhir. Ini (mengesakan Allah), tidak lain hanyalah (dusta) yang diada-adakan.” (QS. Shaad [38]: 7)
Kaum kafir Quraisy menyebut ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai sebuah dusta dan kebohongan karena menyelisihi budaya nenek moyang mereka, yaitu budaya menyembah berhala. Mereka tidak merujuk kepada agama pendahulu mereka, yaitu Ibrahim ‘alaihis salaam, akan tetapi justru merujuk kepada nenek moyang mereka yang lebih dekat, yaitu nenek moyang mereka di Mekah dari kaum kafir Quraisy. [1]
Pertanyaannya, apakah kita juga akan menggunakan alasan yang sama untuk melestarikan kesyirikan di negeri kita ini? Apakah kita juga akan menggunakan alasan yang sama untuk mengunjungi candi-candi, makam para wali, petilasan-petilasan, tempat-tempat keramat, dan tempat-tempat kesyirikan lainnya? Apakah kita juga akan menggunakan alasan yang sama ketika kita ikut menghadiri dan memeriahkan acara kirab Kerbau Kyai Slamet, pemandian pusaka-pusaka kerajaan, atau acara sedekah laut yang marak diadakan setiap tanggal 1 Suro? Apakah kita masih menginginkan masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab? Semoga Allah Ta’ala menjauhkan kita dari kesyirikan dan para pelakunya.
[Selesai]
***
Penulis: M. Saifudin Hakim
Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/51975-marah-ketika-melihat-kesyirikan-bag-4.html