Imam Al-Asfahani mendefinisikan hijrah sebagai perpisahan atau perpindahan. Hijrah dari suatu tempat berarti memisahkan diri secara jarak darinya. Demikian juga hijrah dari perbuatan buruk berarti ia tak mau lagi berniat dan melakukan perbuatan tersebut. Jasad dan hatinya benar-benar terpisah dari apa yang ia tinggalkan.
Ketua Komisi Fatwa MUI Prof Hasanuddin AF mengatakan, pemaknaan hijrah perlu diluaskan menurut makna aslinya, yakni perpindahan. Tidak hanya perpindahan tempat sebagaimana pada zaman Rasulullah SAW. Berpindah bisa jadi dari hal-hal negatif kepada positif.
“Hijrah bisa kita maknai dengan perpindahan kepada kondisi yang lebih baik. Cakupannya baik dalam segala hal, baik dalam keluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,” jelasnya kepada ROL, belum lama ini.
Menurutnya, hijrah sangat diperlukan dari hal-hal yang sekecil-kecilnya sampai masalah terbesar seperti urusan bernegara. Karena hijrah adalah jalan para Muhajirin. Hijrah ke arah yang lebih baik bisa diikuti kalangan elite politik yang punya tanggung jawab besar membawa bangsa ke arah lebih baik.
“Kita harapkan mereka yang mempimpin bangsa ini, baik dari elite politik, mau bermuhasabah. Tahun-tahun sebelumnya kondisi bangsa ini banyak yang harus diperbaiki. Contohnya dari segi kebijakan. Jika kebijakan kurang baik, ya hijrah,” jelasnya.
Hasanuddin menegaskan, kalau saja para pemimpin mau bermuhasabah secara jujur, sebenarnya banyak yang perlu diperbaiki dari bangsa ini. Dari segi ekonomi, penegakan hukum, dan sebagainya masih banyak yang kurang.
“Yang kurang harus segera diperbaiki. Harus bisa membawa bangsa ini hijrah ke arah yang lebih baik. Kalau tidak, negeri baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur itu tidak akan ada,” ujarnya.