Tahun Baru Hijriah : Mengenang Semangat Kejayaan Islam

Kalender Islam dikenal dengan kalender hijriah karena penentuan awal tahunnya dimulai dari peristiwa hijrah Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya dari Makkah menuju Madinah.

Ihwal hijrahnya Nabi beserta para sahabatnya adalah untuk perubahan Islam. Sewaktu di Makkah umat Islam terintimidasi dan terasing karena dimusuhi oleh kafir Quraisy. Jumlah umat Islam yang sedikit membuat leluasa kaum Quraisy melakukan intimidasi, penyiksaan dan pembunuhan terhadap pengikut Nabi Muhammad.

Kemudian, Nabi memerintahkan para sahabatnya untuk hijrah ke Yatsrib yang kemudian hari namanya dirubah menjadi Madinah.

Tapi, siapa yang menyangka, peristiwa hijrah ini akan menjadi titik awal perubahan umat Islam. Dari Madinah perubahan besar dimulai. Nabi Muhammad, hanya dalam tempo 10 tahun sebelum beliau wafat, berhasil membangun sendi-sendi peradaban kehidupan manusia yang berkeadaban.

Agama Islam dengan cepat menyebar ke seluruh Jazirah Arab dan belahan bumi sekitarnya. Demikian pula, penganut agama Islam meningkat tajam dan menjelma menjadi kekuatan superior yang disegani lawan. Umat Islam berjaya. Kafir Quraisy harus berpikir seribu kali untuk memperpanjang kontrak permusuhan dan melakukan intimidasi terhadap umat Islam. Bahkan, mereka harus takluk di bawah kebesaran panji-panji Islam.

Hijrahnya Nabi beserta para sahabatnya merupakan embrio lahirnya kejayaan Islam. Namun perlu diingat, kejayaan Islam itu tidak dibangun dengan kekuatan militer. Perang memang tak terelakkan, tetapi pondasi utama kejayaan Islam bukan dengan kekuatan senjata, namun dengan mengembangkan dan menetapkan Islam sebagai suatu tatanan dan tuntunan untuk menciptakan kehidupan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, moral, persaudaraan, toleransi dan terciptanya kedamaian di semua belahan dunia.

Perang yang dilakukan oleh umat Islam hanya sebagai upaya untuk menundukkan sebuah kekuasaan yang tidak mempedulikan moral, kemanusiaan, persaudaraan, perdamaian dan toleransi. Tegasnya, kekuatan senjata hanya diapakai untuk menghapus kedhaliman dan kesewenang-wenangan.

Kejayaan Islam semakin melambung di era Khulafaur Rasyidin dan pada dinasti-dinasti berikutnya yang menjalankan prinsip-prinsip yang telah ditanamkan oleh Nabi.

Begitulah, hijrah menjadi titik awal perkembangan dan kejayaan Islam. Sampai akhirnya, kejayaan itu mulai redup, bahkan Islam mengalami kemunduran total.

Apa sebabnya? Karena tergerusnya nilai-nilai keislaman yang dipancangkan oleh Nabi setelah hijrah ke Madinah.

Saya teringat dengan surat pertanyaan Syaikh Ahmad Baisuni Imran asal Sambas Kalimantan Barat yang dikirim kepada Rasyid Ridha di Mesir, “Kenapa umat Islam mundur sementara umat lain berjaya”?

Rasyid Ridha lalu meminta Syakib Arsalan, cendikiawan muslim Mesir untuk menjawabnya. Jawaban ditulis dengan catatan ringkas (risalah). Pada intinya jawabannya adalah karena umat Islam meninggalkan tradisi yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad, sementara umat lain justru mengamalkan prinsip-prinsip ajaran Islam.

Karenanya, kita mesti mengembalikan semangat hijrah untuk kejayaan Islam. Semangat hijrah yang telah ditanamkan oleh Nabi Muhammad di Madinah. Yakni, menjadikan Islam sebagai suatu tatanan dan tuntunan membentuk kehidupan yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral, kemanusiaan, persaudaraan, toleransi dan kedamaian.

Akhirnya, tahun baru hijriah semestinya menjadi momentum penggugah semangka umat Islam untuk benar-benar menjalankan misi Islam yang dirisalahkan kepada Nabi Muhammad. Hijarah dan hijriah merupakan dua hal yang bertemali erat yang mengandung banyak hikmah. Pergantian tahun baru hijriah mestinya menyulut semangat hijrah umat Islam untuk pergantian dari akhlak yang buruk menuju akhlakul karimah.

Dalam konteks kebangsaan kita yang saat ini dipenuhi tayangan-tayangan akhlak kotor; narasi kebencian, permusuhan, adu domba dan upaya memecah belah kesatuan, tahun baru hijriah semestinya hadir sebagai penyemangat untuk hijrah dari akhlak buruk tersebut.

ISLAM KAFFAH

Hijrah, Momentum Persatuan dan Sirit Peradaban

Dominasi kaum Yahudi yang menyingkirkan bangsa Arab secara politik dan ekonomi di Yastrib, menimbulkan pertikaian di sana. Klan Aus dan Khazraj, sebagai penduduk pribumi Yatsrib mencari sosok pemimpin Arab yang mampu mengangkat martabat dan membebaskan mereka dari belenggu penindasan Yahudi.

Memang sudah lama ada desas desus di kalangan Yahudi, berdasarkan informasi dalam Kitab Taurat, bahwa akan datang seorang mesias dan Nabi akhir zaman yang akan memimpin dan menyelamatkan umat manusia dengan ciri-ciri yang juga disebutkan dalam Taurat. Namun kalangan Yahudi kecewa, karena sosok tersebut adalah seorang Arab, bukan Yahudi dan tinggal di Makkah. Informasi ini kemudian disimpan rapat-rapat oleh kalangan Yahudi.

Tapi, Informasi tersebut bocor juga kepada kaum Arab Yatsrib. Mereka mendengar di Makkah ada sosok yang ciri-cirinya persis yang digambarkan oleh Taurat. Sosok itu bernama Muhammad putera Abdullah dari klan Hasyim.

Berangkatlah perwakilan Aus dan Khazraj ke Makkah. Sesampainya di Makkah, mereka memohon kepada Muhammad SAW agar berkenan menjadi pemimpin mereka, serta bersumpah setia untuk mematuhi dan membelanya. Peristiwa ini dikenal dengan Bai’at Aqabah I. Setelah itu datanglah lagi gelombang kedua dari Yatsrib dengan jumlah yang lebih besar. Peristiwa ini dikenal dengan Bai’at Aqabah II.

Muhammad SAW kemudian hijrah menuju Yatsrib bersama pengikut-pengikutnya. Beliau berangkat paling akhir bersama Abu Bakar pada malam hari. Kedatangan Muhammad SAW disambut gegap gempita oleh penduduk Yatsrib.

Langkah pertama yang dilakukan Muhammad SAW adalah mempersaudarakan kaum Muhajirin yang datang dari Makkah dan Kaum Ansor penduduk asli Yatsrib. Kedua, mengganti nama Yatsrib menjadi Madinah Al Munawwarah yang bermakna Kota yang terang benderang. Ketiga membentuk konstitusi Madinah dengan kesepakatan seluruh suku-suku di Madinah, yakni Suku Quraisy, Aus, Khazraj, dan empat suku Yahudi: Bani Nadhir, Musthaliq, Quraizhah, dan Qainuqa. Perjanjian ini dikenal dengan Piagam Madinah. Sebuah konstitusi pertama yang terbentuk dari masyarakat yang plural.

Di antara isi Piagam Madinah adalah:

1. Kaum Yahudi bersama kaum muslimin wajib turut serta dalam peperangan.
2. Kaum Yahudi dari Bani Auf diperlakukan sama kaum muslimin.
3. Kaum Yahudi tetap dengan Agama Yahudi mereka, dan demikian pula dengan kaum muslimin.
4. Semua kaum Yahudi dari semua suku dan kabilah di Madinah diberlakukan sama dengan kaum Yahudi Bani Auf.

5. Kaum Yahudi dan muslimin harus saling tolong menolong dalam memerangi atau menhadapi musuh.
6. Kaum Yahudi dan muslimin harus senantiasa saling berbuat kebajikan dan saling mengingatkan ketika terjadi penganiayaan atau kedhaliman.
7. Kota Madinah dipertahankan bersama dari serangan pihak luar.
8. Semua penduduk Madinah dijamin keselamatanya kecuali bagi yang berbuat jahat.

Dari perjanjian ini tampak bahwa Rasulullah SAW tidaklah mendirikan negara Islam, melainkan sebuah negara yang berdasarkan kesepakatan unsur-unsur yang menghuni negara Madinah. Dari sinilah kemudian lahir istilah masyarakat madani. Masyarakat yang berperadaban.

*****

1.300 tahun tahun kemudian di Jakarta, tepatnya tanggal 18 Agustus 1945, panitia 9 yang terdiri dari: Ir Sukarno, Drs Muhammad Hatta, KH Wahid Hasyim, H Agus Salim, Abdul Kahar Muzakir, AA Maramis, Abikusno Cokrosuyoso, Mr Ahmad Subarjo, Mr Muhammad Yamin menyepakati dan menetapkan Pancasila sebagai dasar negara serta menetapkan UUD 1945.

Memang, sempat ada ketegangan perihal sila pertama dalam piagam Jakarta. Pihak Indonesia Timur yang diwakili oleh AA Maramis menuntut penghapusan 7 kata pada sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya” hanya menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” saja. Jika tidak dihapus, maka Indonesia Timur akan memisahkan diri dari republik yang baru saja kemerdekaannya diproklamasikan itu. Namun, pada akhirnya pihak Islam, demi persatuan, lapang dada untuk menerima penghapusan 7 kata tersebut.

Toh secara dalam pandangan para ulama, walaupun tidak dituliskan 7 kata tersebut, kenyataannya umat Islam tetap wajib menjalankan syariat Islam. Meski dalam beberapa hukum tertentu seperti hudud dan jinayat tidak bisa diterapkan oleh negara, namun hal ini mengikuti kaidah fiqh yang berbunyi “menolak kerusakan lebih diutamakan daripada mengambil kebaikan”. Implementasinya, persatuan lebih diutamakan daripada perpecahan. Selain itu, pada saat itu bangsa yang baru saja merdeka ini, masih terancam oleh keinginan Belanda untuk menguasai Indonesia kembali.

Apakah hari ini kaidah itu masih berlaku? Menurut saya jelas masih berlaku. Karena hingga kini, bayang-bayang perpecahan bangsa masih menghantui. Ingat, sepanjang sejarah bangsa ini masih banyak terjadi konflik yang berlatarbekalang agama. Apalagi akhir-akhir ini jurang perpecahan semakin menganga akibat perbedaan pandangan politik dan pemahaman ekstrem dan radikal.

Pancasila adalah konsensus nasional para pendiri bangsa ini, yang setengahnya adalah para ulama. Lalu ketika ada kelompok yang ingin mengganti dasar negara ini dengan ideologi lain, maka hal itu merupakan pengkhianatan terhadap bapak-bapak bangsa kita. Pengkhiatan kepada para ulama dan santri serta para pejuang yang telah memerdekakan bangsa ini.

*****

Walhasil hijrah merupakan momentum persatuan, sebagaimana Rasulullah saw mempersatukan masyarakat Madinah yang berbeda etnik dan agama dalam sebuah konsensus yang disebut Piagam Madinah. Rasul SAW berhasil membangun masyarakat Madinah yang berbeda-beda dalam sebuah negara untuk mencapai tujuan yang sama. Dalam bahasa kita kini: Bhineka Tunggal Ika.

Semangat hijrah juga merupakan semangat membangun peradaban. Peradaban dalam bahasa Arab diungkapkan dengan “tamaddun”, “madaniyah”. Istilah ini berasal dari kata madinah. Ketika Rasulullah SAW mengganti nama Yatsrib dengan Madinah, tentu beliau memiliki maksud, yakni bahwa Rasulullah SAW ingin membangun sebuah peradaban.

Dalam sebuah peradaban pasti tidak akan dilepaskan dari tiga faktor yang menjadi tonggak berdirinya sebuah peradaban. Ketiga faktor tersebut adalah sistem pemerintahan, sistem ekonomi, dan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Dan Rasulullah SAW telah memulai itu. Di Madinah Beliau SAW meletakkan dasar-dasar pemerintahan, sistem ekonomi, dan ilmu pengetahuan melalui ajaran Islam yang dibawa Beliau SAW. Dari sinilah Islam kemudian menyebar ke Afrika, Asia, dan Eropa.

Islam adalah agama peradaban. Artinya agama yang membangun peradaban. Islam berkembang dan tersebar luas bukan oleh ekspedisi militer, bukan juga oleh gerakan politik. Islam maju dan berkembang karena Islam membangun peradaban. Karena itulah hijrah dijadikan sebagai awal dari kalender Islam.

Perdaban barat yang maju hingga menemukan bentuknya seperti saat ini karena bersentuhan dengan peradaban Islam dalam perang salib. Jika tak ada perang salib, mustahil barat mampu mencapai kemajuan seperti saat ini.

Selamat tahun baru Hijriah 1439 H.
Mari jadikan hijrah sebagai momentum persatuan dan spirit membangun peradaban.

 

Oleh: M Imaduddin, Wakil Sekretaris Lembaga Dakwah PBNU

 

REPUBLIKA

Melestarikan Nilai Keislaman dengan Pawai Ta’aruf Muharam

Pawai ta’aruf menyambut Tahun Baru Islam oleh warga Desa Jatirejo, Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang dilaksanakan di tengah-tengah guyuran hujan lebat sepanjang Sabtu (1/10) siang. Namun, hujan tak sedikitpun membuat warga desa dan para peserta beranjak untuk rehat dari  pawai ini. Meski harus berbasah-basah, agenda budaya dan religi menyambut tahun 1438 Hijriyah ini tetap berjalan hingga purna.

Walaupun kostum Walisongo (Sembilan Wali) serta berbagai atribut mereka basah, para peserta tetap bersemangat mengikuti pawai ini. “Hujan bukan penghalang, buktinya tetap meriah,” ungkap Aripin (16 tahun), salah seorang peserta yang mengenakan kostum Walisongo ini.

Dalam pawai ta’aruf ini, para peserta mengusung berbagai atribut seperti replika Kabah, replika Alquran, replika masjid, umbul-umbul dan lainnya. Kostum yang dikenakan pun beragam dan semarak dengan warna.

Ikut memeriahkan pawai ta’aruf ini adalah penampilan berbagai kesenian tradisional yang hidup dan dilestarikan oleh warga di wilayah Kecamatan Suruh, parade drumblek hingga kesenaian rebana. Tak ketinggalan berbagai hasil bumi dari desa ini.

Ketua Panitia Pawai Ta’aruf Busyairi mengakui, hujan memang mengganggu jalannya pawai ta’aruf. Kondisi ini menyebabkan waktu pelaksanaannya harus molor. Namun, di tengah guyuran hujan lebat ini, warga tetap bersemangat mengikuti.

Demikian pula dengan warga yang ikut menyaksikan kemeriahan pawai ta’aruf ini. Hingga mereka tetap bertahan di tengah guyuran hujan. “Ini menandakan warga pun juga antusias dengan agenda kai ini,” katanya.

Dikatakan Busyairi, Desa Jatirejo merupakan salah satu potensi wisata religi yang belum tergarap di Kabupaten Semarang. Di desa ini tersimpan bukti sejarah yang berkaitan langsung dengan Sunan Kalijaga, salah satu penyebar Islam di tanah Jawa.

Dia  menyebut Bale Panjang, di kompleks pemakaman sesepuh desa yang dulu pernah digunakan oleh Sunan Kalijaga. Selain itu juga tersimpan wajan berukuran besar serta tombak yang diyakini juga merupakan peninggalan Sunan Kalijaga.

Termasuk makam Sunan Jati, salah satu pengikut Sunan Kalijaga yang melaksanakan syiar dan menetap di desa ini. “Peninggalan wajan berukuran besar serta tombak ini masih tersimpan aman di masjid Jatirejo,” ungkap Busyairi.

Perihal, jejak dan bukti peninggalan Sunan Kalijaga ini diamini oleh Hadzik, salah satu keturunan Sunan Jati. Bahkan, tombak yang tersimpan ini masih digunakan sebagai tongkat khatib pada setiap pelaksanaan shalat Jumat di masjid ini.

Selain pawai ta’aruf, dalam menyambut Tahun baru Hijriyah ini warga Desa Jatirejo juga menggelar acara haul yang dilaksanakan pada malam menjelang pergantian tahun di lokasi Bale Panjang. “Ini untuk memperingati wafatnya Sunan Jati,” katanya.

Busyairi mengatakan, di desanya juga hidup sebuah kesenian yang konon juga merupakan warisan dari masa Sunan Kalijaga dan Sunan Jati. Kesenian yang bernafaskan religi  ini bernama ‘Kuntulan’.

Dia mengakui, di desanya tak banyak warga yang mempertahankan kesenian ini. Sehingga bisa dikatakan hampir punah. “Makanya, untuk melestarikannya kita tampilkan dalam pawai ta’aruf kali ini,” katanya.

Seni Kuntulan ini, sejatinya merupakan perpaduan dari seni (gerak) tari dengan kesenaian rebana. Para penarinya mengenakan pakaian putih dengan hiasan rumbai- rumbai warna warni, memakai peci dan kacamata hitam serta membawa kipas.

Saat menari, mereka diiringi rebana dengan syair- syair Jawa serta shalawat. Jika disimak, syair- syair Jawa tersebut merupakan petuah hidup yang sarat dengan nilai- nilai keislaman.

Sedangkan momentum tahun baru Islam dipilih sebagai saran mempererat silaturahim antar-warga. “Sekaligus mengingatkan umat Muslim agar senantiasa merefleksi lembaran hidupnya dengan tingkat keimanan dan ketakwaan yang lebih baik,” tutur Busyairi.

 

sumber: Repulika Online

Tiga Fakta Langka Seputar Muharam dan Kalender Hijriyah

Hari ini, 1 Muharram ( 2/10/2016), umat Islam memasuki tahun baru 1438 dalam sistem penanggalan Hijriyah.

Muharram merupakan salah satu bulan yang istimewa. Keutamaan bulan pertama dalam sistem penanggalan Hijriyah ini, terekam di sejumlah dalil Alquran ataupun hadis.

Surah at-Taubah ayat 36 menyebut Muharram, termasuk empat bulan yang dimuliakan yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Rajab.

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram.

Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.”

Ada sejumlah fakta penting yang jarang terungkap di hadapan kita, terkait Muharraam dan penanggalan Hijriyah. Apa sajakah fakta tersebut? Redaksi merangkum beberapa fakta itu sebagai berikut:

Sejak Kapan Muharram Dikenal Sebagai Bulan?

Penamaan Muharram, pertama kali muncul sebagai hasil konsensus dari Bangsa Arab ketika itu, di bawah kepemimpinan Kilab bin Murrah, buyut Rasulullah SAW.

Peristiwa tersebut berlangsung pada 412 M atau 150 tahun sebelum risalah kenabian Muhammad SAW turun.

Tradisi yang berlaku di Arab ketika itu, nama-nama bulan ditentukan oleh masing-masing suku. Misalnya, orang arab mengenal beberapa nama bulan misalnya bulan Mu’tamar dan bulan Tajir.

Sedangkan tahunnya mereka mengorelasikannya dengan kejadian-kejadian penting, seperti Tahun Gajah (Aam Fil), saat pasukan gajah Abrahah menyerang Ka’bah.

Setelah konsensus tersebut disepakati, tercetuslah 12 nama bulanMuharram dan seterusnya yang merujuk pada peredaran bulan. Selama setahun terdapat 354 hari dan tiap bulannya ada 29 dan atau 30 hari.

Dinamakan Muharram, karena sepanjang bulan ini, mereka, Bangsa Arab mengharamkan pertikaian dan pertumpahan darah selama sebulan penuh.

 

Rasulullah SAW Penentu Penanggalan Hijrah Bukan Umar RA

Imam as-Suyuthi dalam as-Syamarikh fi Ilmi at-Tarikh, mengemukakan fakta mencengangkan tentang siapakah yang pertama kali memopulerkan penggunaan peristiwa hijrah sebagai patokan penanggalan.

Menurut murid ulama bermazhab Hanafi terkenal , Taqiyuddin as-Subki itu, Umar bin Khatab bukanlah sosok yang pertama kali menyerukan penggunaan peristiwa hijrah dari Makkah ke Madinah sebagai acuan penanggalan.

Akan tetapi, Rasulullah SAW-lah yang paling awal menyerukan penggunaannya.

Informasi itu ia peroleh secara langsung dari sang guru, Bulqaini. Riwayat secara lisan itu menyambung hingga Ibnu Syihab az-Zuhri.

Dituturkannya, bahwa, konon Rasulullah Saw pernah memerintahkan penanggalan.

Ibnu Asakir membenarkan fakta tersebut. Menurutnya, riwayat inilah yang paling kuat.

Sementara, informasi yang selama ini beredar yang memerintahkan penggunaan momentum hijrah adalah Umar bin Khatab. Fakta itu salah. Ibnu Asakir menukil pernyataan Ibnu Shalah.

Ibnu Shalah yang merupakan pakar hadis itu memperoleh data yang menyatakan fakta bukan umar pertama kali yang menyerukan dari Kitab Fi as-Syuruth, karangan Abu Thahir Ibnu Mahmasy (Az Ziyadi).

Dalam kitab itu disebutkan, bahwa Rasulullah pernah menulis surat ke umat Nasrani di Najran.

Untuk penulisannya, Nabi Saw memerintahkan Ali untuk menuliskan dalam surat tersebut kalimat  “Surat ini ditulis pada hari kelima sejak hijrah”.

Dengan yakin, As Syuthi menegaskan, penyeru penggunaan hijrah sebagai pedoman penanggalan Islam, bukan Umar bin Khatab.

“Jelas yang pertama Rasulullah, Umar hanya mengikuti,”tulisnya.

Pendapat ini dikuatkan dengan riwayat lain, misalnya riwayat di Kitabat- Tarikh as-Shaghir, karya imam al-Bukhari.

Bahwa, saat Umar Bin Khatab hendak menetapkan sistem penanggalan, ia mengumpulkan para sahabat dan meminta saran mereka.

Ibnu al-Munayyir menyebutkan, peristiwa itu terjadi ketika masa pemerintahannya berjalan dua setengah tahun.

Setelah mendapatkan masukan, ia pun memilih pendapat Ali bin Abi Thalib, bahwa acuannya ialah peristiwa hijrah.

 

Mengapa Tahun Hijriyah Dimulai dari Muharram?

Fakta menarik berikutnya adalah, mengapa sistem penanggalan Hijriyah diawali dengan Muharram?

Padahal peristiwa Hijrah Rasulullah SAW dari Makkah ke Madinah, berlangsung bukan pada Muharram, melainkan Rabi’ul Awwal, tepatnya pada 22 Rabi’ul Awwal (24 September 622 M)?

Muharram dipilih sebagai awal tahun Hijriyah, menurut Imam as-Suyuthi dalam as-Syamarikh fi Ilmi at-Tarikh, karena sejumlah alasan dan ketetapan ini adalah murni ijtihad Umar bin al-Khatab yang diamini oleh para sahabat.

Alasan pertama, ditetapkan Muharram, karena bulan ini menjadi waktu kembalinya para jamaah haji setelah menjalankan ritual haji.

Di samping itu pula, alasan keduanya adalah, dengan menetapkan Muharram, lebih memudahkan urutan tiga bulan terlarang (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram) dalam urutan yang saling berdampingan.

Sementara alasan yang kedua, Hijrah memang berlangsung pada Rabi’ul Awwal, tapi embrio peristiwa bersejarah itu, sudah muncul dan berlangsung sejak Muharram, sehingga, saling melengkapi esensi dan subtansi Hijrah.

 

sumber: Republika Online

Puasa Muharam Mulai Hari ini, Apa Hukumnya?

Muharram, merupakan salah satu bulan yang istimewa. Keutamaan bulan pertama dalam sistem penanggalan Hijriyah ini, terekam di sejumlah dalil Alquran ataupun hadis.

Surah at-Taubah ayat 36 menyebut Muharram, termasuk empat bulan yang dimuliakan yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Rajab. Tak sedikit Muslim yang memutuskan untuk berpuasa penuh sepanjang bulan Suro dalam tradisi Jawa tersebut. Apa hukumnya?

Jalal bin Ali Hamdan as-Sulami menjawab pertanyaan ini dalam makalahnya yang berjudul Dirasat Ushuliyyah Haditsiyya li Shaum ‘Asyura’. Ia mengungkapkan, para ulama sepakat boleh berpuasa sepanjang Muharram, dan hukumnya sunat. Bukan wajib. Pandangan ini disampaikan oleh Mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i.

Pernyataan ini merujuk pada hadis riwayat Muslim dari Abu Hurairah. Rasulullah SAW bersabda, bahwa puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan, ialah puasa pada Muharram. Penekanan anjuran bertambah pada hari kesembilan, kesepuluh, dan kesebelas di bulan yang sama.

Dalam riwayat lain, memang Rasul juga dikisahkan tak pernah melewatkan puasa Sya’ban. Tetapi, Imam Nawawi menjelaskan, mengapa Rasul lebih tampak berpuasa Sya’ban dibandingkan Muharam. Menurut Nawawi, bisa jadi ini karena beberapa faktor, misalnya keutamaan puasa Muharam itu terungkap di akhir hayatnya hingga Rasul belum sempat berpuasa atau karena ada uzur, seperti bepergian ataupun sakit.

Dalam kitab Lathaif al-Ma’arif, Ibnu Rajab al-Hanbali mengemukakan hadis riwayat Muslim di atas, secara tegas menguatkan fakta bahwa puasa sunat setelah berpuasa wajib Ramadhhan, adalah puasa di empat bulan yang diutamakan. Kemungkinan, puasa yang dimaksud adalah berpuasa selama sebulan penuh.

Secara terpisah, anggota Dewan Ulama Senior Kerajaan Arab Saudi Syekh Muhammad Muhammad al-Mukhtar as-Syanqithi mengatakan puasa yang utama setelah Ramadhan ialah berpuasa di bulan-bulan yang diharamkan asyhur al-hurum, terutama Muharram. “Dalilnya adalah riwayat Muslim,”ungkapnya.

Ia menambahkan, boleh hukumnya berpuasa sebulan penuh, atau selang-seling (sehari berpuasa sehari berikutnya tidak), atau berpuasa separuh bulan tersebut. Penekannya ialah pada hari kesepuluh (asyura) dan kesembilan. Anjuran berpuasa di kedua hari tersebut, landasannya sangat kuat.

Syekh as-Syanqithi tidak setuju dengan penolakan sejumlah kalangan atas berpuasa sebulan penuh sepanjang Muharram oleh sebagian kalangan. Sebab, Rasul menganjurkan berpuasa di bulan itu. “Penolakan itu tidak tepat,”katanya.

Maka barang siapa yang berpuasa sebulan penuh, tak boleh dikecam dan dituding macam-macam. Sebaliknya, ia akan mendapatkan pahala. Pendapat ini juga menjadi ketetapan fatwa yang dikeluarkan oleh Komite Tetap Kajian dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi.

 

Puasa asyura

Syekh Jalal kembali menguraikan persoalan berikutnya, yakni perihal hukum berpuasa di hari kesepuluh, atau lebih sering dikenal dengan istilah ’asyura. Para ulama sepakat, hukum berpuasa ‘asyura ialah sunat. Ini seperti dinukilkan oleh Ibnu Rusyd dalam mahakaryanya,Bidayat al-Mujtahid.

Pandangan ini disandarkan pada hadis riwayat Muslim dari Abu Qatadah. Hadis itu menyebutkan, rententan pahala puasa tersebut, yakni menghapus dosa kecil setahun yang lewat.

Sedangkan pendapat yang kedua menyatakan, hukum berpuasa ‘asyura wajib sebagaimana penegasan hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Musa al-Asy’ari.

Hanya saja, kata Qadi ‘Iyadh dalam kitab al-Ikmal, opsi ini tak lagi populis, bahkan pengusungnya dipastikan sudah tidak ada lagi karena pascaturunnya perintah berpuasa wajib Ramadhan, kewajibannya telah teralihkan.

Lalu, bolehkah berpuasa tunggal di hari asyura saja? Menurut Mazhab Hanafi dan Syafi’i, makruh hukumnya bila berpuasa ‘asyura saja. Sekalipun yang bersangkutan tetap berhak atas pahala. Ini merujuk pada riwayat Abu Qatadah di atas. Sedangkan dalam pandangan Mazhab Maliki dan Hanbali, tidak ada unsur makruh di sana.

Karena itulah, lanjut Syekh Jalal, dianjurkan berpuasa di hari kesembilan Muharram. Para ulama, seperti ditegaskan oleh Imam Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh Muhadzab. Anjuran berpuasa hari kesembilan atau sering disebut dengan tasu’a itu mengacu pada hadis riwayat Muslim dari Ibnu Abbas.

Rasul menyerukan imbauan itu agar tidak sama dengan tradisi Kaum Yahudi. Demikian halnya, anjuran agar berpuasa pula di hari ke-11 Muharram.

Para ulama tak berselisih pandang menyoal hukum berpuasa di hari tersebut. Menurut mereka, selain berfaedah untuk membedakan dengan tradisi Yahudi, juga sebagai langkah antisipasi ketidaktepatan akibat penanggalan yang tak sesuai.

 

sumber: Republika Online

Lahirnya Umat Terbaik

Hijrah Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya dari Makkah ke Madinah merupakan babak awal kebangkitan Islam. Dari hijrah, Rasulullah SAW bisa membangun masyarakat baru di Kota Madinah.

Masyarakat yang terformulasikan dalam bentuk persaudaraan ukhuwah yang sangat kental antara orang-orang yang berhijrah dari Makkah atau kaum Muhajirin dan penduduk Kota Madinah yang membantu mereka atau lebih dikenal kaum Anshar. Rasulullah SAW menganjurkan kita untuk hijrah dari meninggalkan segala apa yang dilarang oleh Allah SWT. “Dan berbuat dosa tinggalkanlah.” (QS al Muddatstsir [74]: 5).

Hijrah adalah satu peristiwa penting yang harus selalu melekat dalam benak kaum Muslim. Hijrah adalah perjalanan Rasulullah SAW dan para sahabat beliau ke Madinah untuk menyongsong kehidupan bernegara yang berdaulat dan berdiri sendiri serta terbebas dari penguasaan negara-negara lain.

Hijrah itulah yang dijadikan sebagai awal penanggalan dalam Islam, awal munculnya sebuah umat dalam sejarah dunia, yaitu umat Islam yang dikatakan oleh Allah sebagai umat terbaik yang lahir ke dunia.

Sekarang sudah memasuki tahun ke-1437 H, umat Islam telah eksis di belantara kehidupan hampir satu setengah milenium. Suatu umur yang amat panjang sehingga amat wajar jika umat ini telah melewati segala pahit-manis, susah-senang, maju-mundur sebagai umat dan peradaban.

Umat ini pernah melalui masa-masa gemilang yang tidak ada tandingannya dalam sejarah. Menaungi kemanusiaan dengan keadilan dan kesejahteraan sebab Islam bukan hanya rahmat bagi umat Muslim, melainkan juga rahmat bagi seluruh alam, seluruh manusia. Bukankah Allah SWT telah berfirman, “Dan tiadalah Kami mengutus kamu melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.” (QS al-Anbiyaa[21]: 107).

Namun, sayang, sekarang ini umat Islam sedang terbelenggu oleh penguasaan negara-negara kafir. Harta mereka dikuasai, tenaga mereka dikuras, dan mereka hidup dalam kehidupan yang sempit. Semua ini disebabkan oleh umat ini telah berpaling dari mengingat Allah, mengingat aturan-aturan-Nya, dan menerapkannya dalam kehidupan seperti yang difirmankan-Nya dalam ayat 124 surah Thaha: “Dan barang siapa berpaling dari mengingat-Ku maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit.”

Imam Ibnul Qoyyim dalam Risalah Tabukiyah menyatakan hijrah yang hukumnya fardhu ain adalah menuju Allah dan Rasul-Nya, tidak hanya berupa jasad, namun juga diikuti dengan hati. Allah berfirman, “Maka segeralah (berlari) kembali menaati Allah.” (QS adz-Dzariyaat [51]: 50).

Hijrah ini meliputi dari dan menuju: Dari perbuatan syirik menuju tauhid, dari jahiliyah menuju Islamiyah, dari mungkar menuju makruf, dari maksiat menuju taat. Dari kecintaan kepada selain Allah menuju kecintaan kepada-Nya, dari takut kepada selain Allah menuju takut kepada-Nya.

Hijrah ini merupakan tuntutan syahadat la ilaha illallah. Hijrah ini sangat berat. Orang yang menitinya dianggap orang yang asing. Dia meninggalkan seluruh pendapat manusia dan menjadikan Rasulullah sebagai hakim dalam segala perkara yang diperselisihkan dalam seluruh perkara agama.

Allah berfirman, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS al-Ahzab [33]: 36).

Pada akhirnya, hijrah adalah keberanian untuk tampil beda. Berani menolak suap ketika tradisi suap sudah membudaya. Berani menutup aurat ketika sebayanya ramai-ramai membuka aurat. Berani mengatakan yang benar, ketika yang lain justru menutup kebenaran. Wallahu ‘alam.

 

Oleh: Suparman Jassin

sumber: Republika Online

Hijrah, Jalan Para Muhajirin

Imam Al-Asfahani mendefinisikan hijrah sebagai perpisahan atau perpindahan. Hijrah dari suatu tempat berarti memisahkan diri secara jarak darinya. Demikian juga hijrah dari perbuatan buruk berarti ia tak mau lagi berniat dan melakukan perbuatan tersebut. Jasad dan hatinya benar-benar terpisah dari apa yang ia tinggalkan.

Ketua Komisi Fatwa MUI Prof Hasanuddin AF mengatakan, pemaknaan hijrah perlu diluaskan menurut makna aslinya, yakni perpindahan. Tidak hanya perpindahan tempat sebagaimana pada zaman Rasulullah SAW. Berpindah bisa jadi dari hal-hal negatif kepada positif.

“Hijrah bisa kita maknai dengan perpindahan kepada kondisi yang lebih baik. Cakupannya baik dalam segala hal, baik dalam keluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,” jelasnya kepada ROL, belum lama ini.

Menurutnya, hijrah sangat diperlukan dari hal-hal yang sekecil-kecilnya sampai masalah terbesar seperti urusan bernegara. Karena hijrah adalah jalan para Muhajirin. Hijrah ke arah yang lebih baik bisa diikuti kalangan elite politik yang punya tanggung jawab besar membawa bangsa ke arah lebih baik.

“Kita harapkan mereka yang mempimpin bangsa ini, baik dari elite politik, mau bermuhasabah. Tahun-tahun sebelumnya kondisi bangsa ini banyak yang harus diperbaiki. Contohnya dari segi kebijakan. Jika kebijakan kurang baik, ya hijrah,” jelasnya.

Hasanuddin menegaskan, kalau saja para pemimpin mau bermuhasabah secara jujur, sebenarnya banyak yang perlu diperbaiki dari bangsa ini. Dari segi ekonomi, penegakan hukum, dan sebagainya masih banyak yang kurang.

“Yang kurang harus segera diperbaiki. Harus bisa membawa bangsa ini hijrah ke arah yang lebih baik. Kalau tidak, negeri baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur itu tidak akan ada,” ujarnya.

 

sumber:Republika Online

Dua Makna Bulan Haram

Dalam Islam, dikenal istilah bulan haram. Dinamakan demikian, karena pada bulan tersebut Allah SWT melarang seluruh hamba-Nya berbuat dosa atau melakukan hal yang dinilai haram secara syariat Islam.

Menurut Al-Qodhi Abu Ya’la, ada dua alasan dan dua makna mengapa Allah SWT menamakannya bulan haram. Pertama, pada bulan itu diharamkan berbagai pembunuhan atau perbuatan keji lainnya.

Kedua, pada bulan itu pula diharamkan melakukan tindakan dan perbuatan haram. Perintah ini lebih ditekankan daripada bulan lainnya, karena kemuliaan bulan tersebut. Sebaliknya, pada bulan haram, dianjurkan untuk lebih memperbanyak perbuatan baik dengan melakukan amalan dan ketaatan kepada Allah SWT.

Terdapat sebuah ayat yang menerangkan perihal eksistensi bulan haram. Hal ini tertuang dalam surah at-Taubah ayat 36, yang berbunyi, “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah 12 bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya, sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”

Dalam ayat tersebut, Allah SWT telah menjelaskan pada kita bahwa bulan yang ada pada kehidupan manusia di dunia ini  berjumlah 12. Di antara 12 bulan tersebut, ada empat bulan yang dinyatakan oleh Allah SWT sebagai bulan-bulan haram.

 

sumbe: Republka ONline

Tahun Baru Hijriah, Lalu Kapan Kita Berhijrah?

Biasanya tahun baru Masehi disambut dengan hiruk-pikuk luar biasa. Sementara tahun baru Hijriyah yang sering diidentikkan dengan tahun Islam, tidak demikian. Tidak ada trek-trekan sepeda motor di jalanan. Tidak ada terompet. Tidak ada panggung-panggung hiburan di alun-alun.

Yang ada di sementara mesjid, kaum muslimin berkumpul berjamaah salat Asar meski biasanya tidaklalu bersama-sama berdoa akhir tahun; memohon agar dosa-dosa di tahun yang hendak ditinggalkan diampuni oleh Allah dan amal-amal diterima olehNya. Kemudian menunggu salat Maghrib biasanya tidakdan salat berjamaah lalu bersama-sama berdoa awal tahun. Memohon kepada Allah agar di tahun baru dibantu melawan setan dan antek-anteknya, ditolong menundukkan hawa nafsu, dan dimudahkan untuk melakukan amal-amal yang lebih mendekatkan kepada Allah.

Memang agak aneh, paling tidak menurut saya, jika tahun baru disambut dengan kegembiraan. Bukankah tahun baru berarti bertambahnya umur? Kecuali apabila selama ini umur memang digunakan dengan baik dan efisien. Kita tahu umur digunakan secara baik dan efisien atau tidak, tentu saja bila kita selalu melakukan muhasabah atau evaluasi. Minimal setahun sekali. Apabila tidak, insyaallah kita hanya akan mengulang-ulang apa yang sudah; atau bahkan lebih buruk dari yang sudah. Padahal ada dawuh: “Barangsiapa yang hari-harinya sama, dialah orang yang merugi; barangsiapa yang hari ininya lebih buruk dari kemarinnya, celakalah orang itu.”

Apabila kita amati kehidupan kaum muslimin di negeri kita ini sampai dengan penghujung tahun 1428, boleh jadi kita bingung mengatakannya. Apakah kehidupan kaum muslimin yang merupakan mayoritas ini selama ini menggembirakan atau menyedihkan. Soalnya dari satu sisi, kehidupan keberagamaan terlihat begitu hebat di negeri ini.

Kitab suci al-Quran tidak hanya dibaca di mesjid, di mushalla, atau di rumah-rumah pada saat senggang, tapi juga dilomba-lagukan dalam MTQ-MTQ. Bahkan pada bulan Ramadan diteriakan oleh pengerassuara-pengerassuara tanpa pandang waktu. Lafal-lafalnya ditulis indah-indah dalam lukisan kaligrafi. Malah dibuatkan museum agar mereka yang sempat dapat melihat berbagai versi kitab suci itu dari yang produk kuno hingga yang modern; dari yang berbentuk mini hingga raksasa. Akan halnya nilai-nilai dan ajarannya, juga sesekali dijadikan bahan khotbah dan ceramah para ustadz. Didiskusikan di seminar-seminar dan halqah-halqah. Bahkan sering dicuplik oleh beberapa politisi muslim pada saat kampanye atau rapat-rapat partai..

Secara ritual kehidupan beragama di negeri ini memang dahsyat. Lihatlah. Hampir tidak ada tempat ibadah yang jelek dan tak megah. Dan orang masih terus membangun dan membangun mesjid-mesjid secara gila-gilaan. Bahkan di Jakarta ada yang membangun mesjid berkubah emas. (Saya tidak tahu apa niat mereka yang sesungguhnya membangun rumah-rumah Tuhan sedemikian megah. Tentu bukan untuk menakut-nakuti hamba-hamba Tuhan yang miskin di sekitas rumah-rumah Tuhan itu. Tapi bila Anda bertanya kepada mereka, insya Allah mereka akan menjawab, “Agar dibangunkan Allah istana di surga kelak”. Mungkin dalam pikiran mereka, semakin indah dan besar mesjid yang dibangun, akan semakin besar dan indah istana mereka di surga kelak.

(Terus terang bila teringat fungsi mesjid dan kenyataan sepinya kebanyakan mesjid-mesjid itu dari jamaah yang salat bersama dan beritikaf, timbul suuzhzhan saya: jangan-jangan mereka bermaksud menyogok Tuhan agar kelakuan mereka tidak dihisab).

Tidak ada musalla, apalagi mesjid, yang tidak memiliki pengeras suara yang dipasang menghadap ke 4 penjuru mata angin untuk melantunkan tidak hanya adzan. Bahkan ada yang sengaja membangun menara dengan biaya jutaan hanya untuk memasang corong-corong pengeras suara. Adzan pun yang semula mempunyai fungsi memberitahukan datangnya waktu salat, sudah berubah fungsi menjadi keharusan syiar sebagai manifestasi fastabiqul khairaat; sehingga sering merepotkan mereka yang ingin melaksanakan anjuran Rasulullah SAW: untuk menyahuti adzan.

Jamaah dzikir, istighatsah, mujahadah, dan muhasabah menjamur di desa-desa dan kota-kota. Terutama di bulan Ramadan, tv-tv penuh dengan tayangan program-program keagamaan. Artis-artis berbaur dan bersaing dengan para ustadz memberikan siraman ruhani dan dzikir bersama yang menghibur.

Jumlah orang yang naik haji setiap tahun meningkat, hingga di samping ketetapan quota, Departemen Agama perlu mengeluarkan peraturan pembatasan. Setiap hari orang berumroh menyaingi mereka yang berpiknik ke negara-negara lain.

Jilbab dan sorban yang dulu ditertawakan, kini menjadi pakaian yang membanggakan. Kalimat thoyyibah, seperti Allahu Akbar dan Subhanallah tidak hanya diwirid-bisikkan di mesjid-mesjid dan mushalla-mushalla, tapi juga diteriak-gemakan di jalan-jalan.

Label-label Islam tidak hanya terpasang di papan-papan sekolahan dan rumah sakit; tidak hanya di AD/ART-AD/ART organisasi sosial dan politik; tidak hanya di kaca-kaca mobil dan kaos-kaos oblong; tapi juga di lagu-lagu pop dan puisi-puisi.

Pemerintah Pancasila juga dengan serius ikut aktif mengatur pelaksanaan haji, penentuan awal Ramadan dan Ied. MUI-nya mengeluarkan label halal (mengapa tidak label haram yang jumlahnya lebih sedikit?) demi menyelamatkan perut kaum muslimin dari kemasukan makanan haram. Pejuang-pejuang Islam dengan semangat jihad fii sabiilillah mengawasi dan kalau perlu menindak atas nama amar maruuf dan nahi anil munkar mereka yang dianggap melakukan kemungkaran dan melanggar peraturan Tuhan. Tidak cukup dengan fatwa-fatwa MUI, daerah-daerah terutama yang mayoritas penduduknya beragama Islam pun berlomba-lomba membuat perda syareat.

Semangat keagamaan dan kegiatan keberagamaan kaum muslimin di negeri ini memang luar biasa. Begitu luar biasanya hingga daratan, lautan, dan udara di negeri ini seolah-olah hanya milik kaum muslimin. Takbir menggema dimana-mana, siang dan malam. Meski namanya negara Pancasila dengan penduduk majmuk, berbagai agama diakui, namun banyak kaum muslimin terutama di daerah-daerah yang mayoritas penduduknya beragama Islam seperti merasa paling memiliki negara ini.

Barangkali karena itulah, banyak yang menyebut bangsa negeri ini sebagai bangsa religius.

Namun, marilah kita tengok sisi lain untuk melihat kenyataan yang ironis dalam kehidupan bangsa yang religius ini. Semudah melihat maraknya kehidupan ritual keagamaan yang sudah disinggung tadi, dengan mudah pula kita bisa melihat banyak ajaran dan nilai-nilai mulia agama yang seolah-olah benda-benda asing yang tak begitu dikenal.

Tengoklah. Kebohongan dan kemunafikan sedemikian dominannya hingga membuat orang-orang yang masih jujur kesepian dan rendah diri.

Rasa malu yang menjadi ciri utama pemimpin agung Muhammad SAW dan para shahabatnya, tergusur dari kehidupan oleh kepentingan-kepentingan terselubung dan ketamakan.

Disiplin yang dididikkan agama seperti azan pada waktunya, salat pada watunya, haji pada waktunya, dsb. tidak sanggup mengubah perangai ngawur dan melecehkan waktu dalam kehidupan kaum beragama.

Plakat-plakat bertuliskan “An-nazhaafatu minal iimaan” dengan terjemahan jelas “Kebersihan adalah bagian dari iman”, diejek oleh kekumuhan, tumpukan sampah, dan kekotoran hati di mana-mana. Kesungguhan yang diajarkan Quran dan dicontohkan Nabi tak mampu mempengaruhi tabiat malas dan suka mengambil jalan pintas.

Di atas, korupsi merajalela (Bahkan mantan presiden 32 tahun negeri ini dikabarkan menyandang gelar pencuri harta rakyat terbesar di dunia). Sementara di bawah, maling dan copet merebak.

Jumlah orang miskin dan pengangguran seolah-olah berlomba dengan jumlah koruptor dan mereka yang naik haji setiap tahun. Nasib hukum juga tidak kalah mengenaskan. Tak perlulah kita capek terus bicara soal mafia peradilan dan banyaknya vonis hukum yang melukai sanubari publik untuk membuktikan buruknya kondisi penegakan hukum negeri ini. Cukuplah satu berita ini: KPK baru-baru ini menangkap Koordinator Bidang Pengawasan Kehormatan Keluhuran Martabat dan Perilaku Hakim Komisi Yudisial saat menerima suap.

Penegak-penegak keadilan sering kali justru melecehkan keadilan. Penegak kebenaran justru sering kali berlaku tidak benar. Maniak kekuasaan menghinggapi mereka yang pantas dan yang tidak pantas. Mereka berebut kekuasaan seolah-olah kekuasaan merupakan baju all size yang patut dipakai oleh siapa saja yang kepingin, tidak peduli potongan dan bentuk badannya..

Tidak hanya sesama saudara sebangsa, tidak hanya sesama saudara seagama, bahkan sesama anggota organisasi keagamaan yang satu, setiap hari tidak hanya berbeda pendapat, tapi bertikai. Seolah-olah kebenaran hanya milik masing-masing. Pemutlakan kebenaran sendiri seolah-olah ingin melawan fitrah perbedaan.

Kekerasan dan kebencian, bahkan keganasan, seolah-olah menantang missi Rasulullah SAW: rahmatan lil aalamiin, mengasihi seluruh alam, dan tatmiimu makaarimil akhlaaq, menyempurnakan akhlak yang mulia. Penghargaan kepada manusia yang dimuliakan Tuhan seperti sudah mulai sirna dari hati. Termasuk penghargaan kepada diri sendiri.

Wabadu; jangan-jangan selama ini meski kita selalu menyanyikan “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya”hanya badan saja yang kita bangun. Jiwa kita lupakan. Daging saja yang kita gemukkan, ruh kita biarkan merana. Sehingga sampai ibadah dan beragama pun masih belum melampaui batas daging. Lalu, bila benar, ini sampai kapan? Bukankah tahun baru ini momentum paling baik untuk melakukan perubahan?

 

Oleh : H Mustafa Bisri

*Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di situs KH. Mustofa “Gus Mus” Bisri, 31 Desember 2008.

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2245208/tahun-baru-hijriah-lalu-kapan-kita-berhijrah#sthash.4Jn7JTqa.dpuf

Prinsip Gerak dalam Hijrah

Hijrahnya Rasulullah SAW dari Makkah ke Madinah merupakan peristiwa fenomenal. Hal itu terlihat dari kemajuan dakwah Islam setelah peristiwa hijrah tersebut. Hanya dalam waktu singkat yaitu sekitar 13 tahun setelah hijrah, dakwah Islam berkembang pesat hampir ke seluruh Jazirah Arab.

Padahal, ketika Rasulullah SAW masih di Makkah dalam rentang waktu 10 tahun, yang menyambut dakwah Islam jumlahnya dapat dihitung dengan jari.

Sesungguhnya fenomena hijrah menghasilkan kemajuan sudah dijanjikan oleh Allah SWT. “Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS an-Nisa [4]: 100).

Aktivitas hijrah yang menghasilkan kemajuan bukan hanya fenomena ekslusif hijrah Rasul SAW, tapi merupakan fenomena universal. Hampir semua negara dan peradaban besar di dunia dibangun oleh masyarakat pendatang (muhajir).

Dalam konteks modern, Amerika Serikat salah satu negara termaju di dunia baik dalam bidang ekonomi, militer, maupun sosial budaya dibangun oleh masyarakat pendatang (muhajir).

Demikian juga kelompok masyarakat yang menguasai sebagian besar sumber daya alam dan ekonomi di Indonesia adalah etnis pendatang, yaitu Cina. Bahkan kelompok masyarakat yang maju secara ekonomi, sosial, dan budaya di kota-kota besar, khususnya di Indonesia, sebagian besar penduduk pendatang, bukan penduduk asli.

Lantas, ada apa di balik fenomena hijrah tersebut? Hijrah secara bahasa berarti pindah dari satu tempat ke tempat lain. Peristiwa pindah ini biasa juga disebut gerak. Sesungguhnya pada gerak inilah rahasia kemajuan di balik peristiwa hijrah. Di alam ini segala sesuatu yang bergerak keberadaannya relatif lebih sehat dan maju.

Otak kita yang sering digerakkan untuk berpikir akan jauh lebih sehat dan berkembang dibanding dengan otak yang tidak pernah digerakkan untuk berpikir. Hati yang digerakkan melalui berzikir juga akan relatif lebih sehat dibanding dengan yang tidak pernah digunakan untuk berzikir.

Demikian juga dengan tubuh yang digerakkan melalui olahraga, ia akan lebih sehat dibanding dengan tubuh yang tidak pernah diolahragakan. Fenomena gerak yang menghasilkan kesehatan tidak hanya terjadi pada makhluk hidup, tetapi juga terjadi pada makhluk mati.

Air yang mengalir (bergerak), misalnya, lebih sehat dari air yang tergenang. Sebersih-bersih air jika tidak bergerak (tergenang), ia akan menjadi sumber penyakit.

Imam Syafi’i dalam sebuah syair pernah berkata, “Sesungguhnya aku pernah melihat air tergenang itu merusak. Jika air itu mengalir menyehatkan dan jika tergenang akan merusak (sumber penyakit).

Jadi, prinsip gerak atau pindah dari satu tempat ke tempat lain merupakan prinsip dasar pada hijrah yang menghasilkan kemajuan. Oleh karena itu, pantas kalau Allah SWT mendorong hamba-Nya untuk senantiasa bergerak dengan melakukan perjalanan di atas bumi.

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (QS an-Nahl [16]: 36). Wallahu a’lam.

 

 

Oleh: H Karman

sumber: Republika Online