Sahabat Ummi, pernahkah terpikirkan jika ada pihak lelaki yang menzinahi seorang perempuan, tapi kemudian tak mau bertanggung jawab atau tidak disetujui oleh pihak keluarganya, lalu untuk sekedar menutupi aib, orangtua sang perempuan menikahkan anaknya dengan lelaki lain yang justru bukan pelaku zina, apakah hal tersebut dibenarkan dalam Islam?
Ada beberapa pendapat mengenai hal ini:
Kesepakatan ulama, jika hal ini terjadi maka yang harus menikahi perempuan hamil adalah pria yang menghamilinya.
Dasarnya, saat Ibnu Abbas r.a. ditanya seorang pemuda yang berzina, kemudian bertobat dan ingin menikahi wanita dizinainya itu sebagai jalan terbaik menutup aib wanita tersebut, beliau menjawab: “Awalnya adalah zina dan diakhiri nikah. Yang haram (zina) tidak mengharamkan yang halal (pernikahan).
Pendapat Abu Hanifah: wanita yang hamil karena berzina harus dikawini baik oleh pria yang berzina dengannya atau dengan pria lain, tapi tidak boleh digauli sampai melahirkan anak yang dikandungnya.
Pendapat lain disampaikan Imam Rabi’ah, as-Tsauri, al-Auza’ie dan Ishaq yang beraliran mazhab Imam Malik dan Imam Ahmad: wanita yang hamil karena berzina tidak boleh dinikahi sampai dia melahirkan.
Lalu, kedudukan anak itu dinisbahkan pada siapa? Bukannya mengapa, sahabat Ummi, kebanyakan orang awam kurang tahu mengenai hal ini. Asalkan anak sudah dinikahi orang yang menzinai-nya atau orang lain sebagai sarana tutupi aib, sudah cukup dan dianggap sebagai ayah yang sah bagi calon anaknya yang akan lahir. Untuk itu marilah kita cermati pendapat ulama;
Apabila anak yang dikandung lahir enam bulan dari tanggal terjadinya akad pernikahan, maka nasab anak itu diikutkan padanya. Tapi jika lahir kurang dari enam bulan, maka nasab tidak ikut padanya, ini pendapat jumhur ulama atau sebagian besar ulama.
Bagaimanakah dengan menggauli wanita zina yang sudah menjadi istrinya? Apakah ini juga ada aturannya?
Pandangan Imam Syafi’i menggauli dalam kondisi hamilnya itu hukumya makruh. Dalam hal ini tiada kehormatan untuk zina yang mewajibkan iddah atas wanita yang zina. Oleh karena itu wanita hamil karena zina boleh dinikahi oleh pria yang berzina dengannya, ataupun pria lain.
Abu Hanifah menyatakan tidak boleh menyetubuhinya sampai ia melahirkan anak yang dikandungnya
Imam Rabi’ah, as-Tsauri, al-Auza’ie dan Ishaq yang beraliran mazhab Imam Malik dan Imam Ahmad, menyatakan wanita zina ini wajib beriddah selama tiga kali haid atau tiga bulan atau sampai melahirkan anak jika ia hamil.
Namun, jika pezina wanita ini mempunyai suami, maka haram suami menyetubuhinya sampai selesai masa iddahnya.
Terlepas dari pendapat para ulama itu, memang seyogyanya para muslimah menjaga diri atas tubuhnya, perilakunya dan harga dirinya bak permata, jangan salah pergaulan, hingga menimbulkan dosa. Dan ternyata pahami pula, salah memahami fikih mengenai hal ini bisa menimbulkan dosa yang lain, meskipun pada akhirnya wanita hamil sebab zina itu sudah dinikahi.
Semoga sahabat Ummi terhindar dari masalah pelik seperti ini, Allahuma Aamin.
Foto ilustrasi: google
Referensi:
- Ahkam al-Marah al-Hamil, Yahya Abd Rahman al-Khatib, hlm. 75
- Khalid al Husainan, Fikih Wanita, Darul Haq, Jakarta, tahun 2011
- Candra Nila Murti Dewojati, 202 Tanya Jawab Fikih Wanita, Al Maghfirah, 2013
Profil Penulis:
Candra Nila Murti Dewojati, ibu rumahtangga dengan 3 orang anak ini menyukai dunia penulisan dalam 5 tahun terakhir ini. Sudah 10 buku Solo yang dihasilkan, diantaranya “Masuk Surga Walau Belum Pernah Shalat, Panjangkan Umur dengan Silaturahmi, 202 tanya Jawab Fikih Wanita, Strategi jitu meraih Lailatul Qadar, Istri Bahagia, Ayat-ayat Tolak Derita dan masih banyak lainnya , sekitar 15 antologi juga telah ditulisnya bisa dijumpai dalam candranilamurti@gmail.com, atau Cahaya Istri Sholehah (CIS) di FB, sebuah Grup tertutup mengenai Fikih wanita yang digawanginya juga mengikuti komunitas Ummi Menulis.