Jangan Ceritakan Dosa Zina Kepada Siapapun Sampai Mati!!

Saya telah melakukan dosa zina sewaktu kecil, tapi saya tidak tahu itu dosa tpi saat bersamaan saya takut ketahuan, saya saat ini ingin menikah tapi saya tidak mau mengatakan dosa zina tersebut kepada calon suami saya karena ini bersangkutan nanti dengan keluarga besar, bagaimana saya harus bersikap secara islam?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Bukan syarat taubat dari zina harus menceritakan dan melaporkan dosa zina itu kepada orang lain, siapapun dia. Baik calon suaminya, orang tuanya, saudaranya, ustadnya, gurunya, bahkan termasuk pemimpin yang ada di negerinya.

Buraidah bin Hashib Radhiyallahu ‘anhu pernah bercerita,

Suatu ketika Maiz bin Malik datang menghadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

يَا رَسُولَ اللهِ، طَهِّرْنِي

“Ya Rasulullah, sucikan aku…”

Jawab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَيْحَكَ، ارْجِعْ فَاسْتَغْفِرِ اللهَ وَتُبْ إِلَيْهِ

“Jangan lancang…, pulang dan memohon ampun kepada Allah, taubat kepada-Nya.”

Pulanglah Maiz. Tidak berselang lama, dia datang lagi. Dia tetap melaporkan,

يَا رَسُولَ اللهِ، طَهِّرْنِي

“Ya Rasulullah, sucikan aku…

Jawab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَيْحَكَ، ارْجِعْ فَاسْتَغْفِرِ اللهَ وَتُبْ إِلَيْهِ

“Jangan lancang…, pulang dan memohon ampun kepada Allah, taubat kepada-Nya.”

Pulanglah Maiz. Tidak berselang lama, dia datang lagi. Dia tetap melaporkan yang sama dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan jawaban yang sama sampai 3 kali. Hingga di kedatangan yang keempat, baru Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima pengaduan Maiz. (HR. Muslim 1695 dan Nasai dalam al-Kubro 7125).

Hadis ini dengan tegas menunjukkan bahwa BUKAN syarat taubat harus mengaku. Karena inti dari taubat adalah memohon ampun kepada Allah karena menyesali perbuatannya. Bahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyarankan sebisa mungkin dirahasiakan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَصَابَ مِنْ هَذِهِ الْقَاذُورَاتِ شَيْئًا فَلْيَسْتَتِرْ بِسِتْرِ اللَّهِ

“Siapa yang tertimpa musibah maksiat dengan melakukan perbuatan semacam ini (perbuatan zina), hendaknya dia menyembunyikannya, dengan kerahasiaan yang Allah berikan.” (HR. Malik dalam Al-Muwatha’, no. 1508)

Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan,

ويؤخذ من قضيته – أي : ماعز عندما أقرَّ بالزنى – أنه يستحب لمن وقع في مثل قضيته أن يتوب إلى الله تعالى ويستر نفسه ولا يذكر ذلك لأحدٍ . . .

Berdasarkan kasus ini – Sahabat Maiz yang mengaku berzina – menunjukkan bahwa dianjurkan bagi orang yang terjerumus ke dalam kasus zina untuk bertaubat kepada Allah – Ta’ala – dan menutupi kesalahan dirinya, dan tidak menceritakannya kepada siapapun.

Lalu beliau mengatakan,

وبهذا جزم الشافعي رضي الله عنه فقال : أُحبُّ لمن أصاب ذنباً فستره الله عليه أن يستره على نفسه ويتوب..

Dan ini juga yang ditegaskan as-Syafii Radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

Saya menyukai bagi orang yang pernah melakukan perbuata dosa, lalu dosa itu dirahasiakan Allah, agar dia merahasiakan dosanya dan serius bertaubat kepada Allah… (Fathul Bari, 12/124).

Orang lain tidak memiliki kepentingan dengan maksiat kita yang sifatnya pribadi. Sehingga sekalipun dia tidak tahu, tidak akan memberikan pengaruh apapun bagi kehidupannya. Sebaliknya, ketika dia tahu, tidak akan semakin memperbaiki dirinya. Apalagi ketika maksiat itu dilakukan saat belum baligh, yang tidak ada nilai dosa sama sekali.

Karena itu, bertaubatlah dan jangan ceritakan dosa zina kepada siapapun sampai mati!!

Demikian. Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Anda bisa membaca artikel ini melalui aplikasi Tanya Ustadz untuk Android.
Download Sekarang !!

Pernah Lakukan Zina, kemudian Menikah, Apa yang Harus Dilakukan?

TANYA: Saya seorang wanita yang sudah menikah, akan tetapi saya dan suami dahulu pernah berzina. Setelah saya membaca jawaban anda tentang pertanyaan tentang dampak pernikahan yang berasal dari hubungan tidak syari, keraguan meliputi diri saya dan suami. Kami tidak ingat lagi, kapan kami taubat dari kemaksiatan tersebut dan saya juga tidak ingat apakah sebelum menikah saya mengalami haidh. Yang saya ingat hanyalah bahwa saat itu saya tidak hamil. Kami sangat menyesali perbuatan tersebut. Apa yang harus kami perbuat?

Jawab: Tidak boleh bagi laki-laki pezina menikah dengan wanita pezina sebelum mereka bertaubat. Berdasarkan firman Allah Ta’ala.

الزَّانِي لا يَنكِحُ إلا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لا يَنكِحُهَا إِلا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ (سورة النور: 3)

“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.” (QS. An-Nur: 3)

Ulama kalangan mazhab Hambali berpendapat bahwa pernikahan wanita pezina yang belum bertaubat tidak sah. Mereka tidak menjadikan taubatnya pezina laki-laki sebagai syarat sahnya pernikahan. (Al-Inshaf, 8/132, Kasyaful Qana, 5/83).

Berdasarkan pendapat ini jika saudari telah bertaubat sebelum akad, maka nikahnya sah. Tapi kalau tidak (belum bertaubat) maka sikap yang lebih hati-hati adalah memperbarui akad.

Taubat dapat terwujud dengan penyesalan dan berjanji tidak mengulangi perbuatan maksiat. Apabila anda telah menyesali terjadinya perbuatan haram tersebut dan bertekad untuk meninggalkannya, kemudian anda melakukan pernikahan, maka itulah taubat anda.

Adapun masalah terbebasnya rahim dan iddah, ini adalah perkara yang diperdebatkan para ulama. Ulama mazhab Hanafi dan Syafii berpendapat bahwa hal tersebut tidak diharuskan.

Yang kami nasehatkan adalah bahwa apabila memungkinkan bagi kalian berdua adalah memperbarui akad tanpa memberitahu wali tentang hakikat perkara. Itulah yang hati-hati.

Tata cara akadnya adalah, wali anda berkata kepada suami anda di hadapan dua orang saksi, ‘Aku nikahkan engkau dengan puteriku, atau saudara perempuanku, yaitu saudari……’ Kemudian suami anda berkata, ‘Aku terima’.

Jika tidak memungkinkan memperbarui akad kecuali dengan memberitahu telah terjadinya hubungan haram, kami berharap tidak ada kewajiban apa-apa bagi kalian berdua tetap dengan pernikahan sebelumnya berdasarkan pendapat jumhur ulama yang berpendapat sahnya pernikahan seperti itu.

Kami mohon kepada Allah Ta’ala semoga Dia memperbaiki keadaan kalian berdua dan menerima taubat kalian.

Wallahua’lam. []

SUMBER: ISLAMQA

Fatwa Ulama: Hukum yang Berkaitan dengan Anak Hasil Zina

Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus

Pertanyaan:

Saya adalah seorang laki-laki berusia 25 tahun. Baru-baru ini saya menemukan bahwa orang-orang yang saya tinggal bersama mereka bukanlah wali sebenarnya bagi saya. Ibu kandung sebenarnya adalah orang yang saya anggap sebagai bibi saya (yaitu, saudara perempuan wanita yang mengasuh saya). Di mana beliau terlibat dalam zina mahram dengan saudara laki-lakinya ketika dia berada di negara kafir –wallahu musta’an-. Lalu beliau hamil darinya dan tidak menikahinya, bahkan tetap melajang. Ketika beliau melahirkan saya, beliau pindah ke Aljazair. Dan beliau ingin meletakkan saya di panti asuhan, tetapi putri bibi saya melarangnya dan membawaku ke ibunya yang kemudian mengasuh saya. Dia memalsukan dokumen administrasi agar saya ber-intisab kepada mereka dan ber-laqab dengan nama suaminya. Karena suami bibi saya juga berzina dengan ibu kandung saya dan dia takut bahwa saya adalah anaknya, maka dia segera mengadopsi saya.

Pertanyaan saya adalah:

Apa yang harus saya lakukan untuk memperbaiki status dan nasab saya? Ibunda kandung saya sekarang sudah menikah, apakah saya harus berbakti kepadanya? Dan apakah saya berhak mewarisinya jika dia meninggal, atau beliau berhak mewarisi saya jika saya meninggal? Saat ini, saya sedang mencari seorang istri, apakah saya dituntut mengungkapkan keadaan saya kepada calon wali? Mohon berikan fatwa kepada kami. Somoga Allah memberikan pahala.

Jawaban:

Puji syukur kepada Allah, Tuhan semesta alam. Selawat dan salam semoga tercurah kepada hamba yang Allah utus sebagai rahmat bagi semesta alam, serta kepada keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari kiamat. Amma ba’du,

Tidak ada dosa bagi orang yang bertanya dari segi syariat karena apa yang disebutkan adalah akibat dari perbuatan orang lain. Anak yang lahir (dari zina) tidak berdosa akibat yang dilakukan oleh pelaku zina. Bagi orang yang berzina dengan mahramnya, wajib mendapatkan hukuman had dengan kesepakatan para ulama, dengan adanya perbedaan pendapat mengenai sifat hukuman tersebut.

Hukumannya menurut syariat (menurut pendapat yang rajih) adalah dihukum mati dalam semua kondisi, baik ia sudah menikah atau belum menikah. Ini adalah mazhab Ahmad dan selain beliau dari kalangan ahli hadis. Mereka berdalil dengan hadis Al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

Pamanku, Harits bin Amr melewati saya dengan membawa sebuah bendera yang diberikan kepadanya oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Saya bertanya kepadanya, ‘Wahai pamanku, ke mana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengutusmu?’ Dia berkata, ‘Dia mengutus saya kepada seorang pria yang menikahi istri ayahnya, dan dia memerintahkan saya untuk memenggal lehernya (dan mengambil hartanya).’”[1]

(Pendapat tersebut) berbeda dengan ulama yang berpendapat bahwa hukumannya tidak berbeda dengan hukuman bagi orang yang berzina dengan bukan mahramnya, dan ini adalah mazhab mayoritas ulama[2]. Namun, ketika sistem pengadilan saat ini tidak berhukum berdasarkan syariat dan batas-batasnya, maka kewajiban bagi keduanya adalah bertobat yang tulus kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan (melakukan) semua syaratnya.

Adapun anak hasil zina, ia dinasabkan kepada ibunya, bukan bibinya. Bahkan, meskipun suaminya mengklaimnya sebagai anak secara tidak syar’i, kecuali jika yang bersangkutan adalah ayah biologisnya yang telah terperinci dalam fatwa lain[3].

Dan dia diperbolehkan untuk menikah seperti individu lainnya karena itu bukanlah dosa yang ia lakukan dan bukan aib yang ia lakukan. Tetapi dia harus memberitahukan wali-wali wanita tentang kondisinya, karena mereka mungkin tidak menyukai perkawinan putri mereka dengan seseorang yang memiliki keturunan yang tidak jelas. Dan hukumnya menyesuaikan dengan kondisi wanita yang ingin dinikahi[4]. Jika menerima, maka pernikahannya sah. Dan jika mereka tidak menerima, dia bisa mencari yang lain.

Untuk memperbaiki nasab kekerabatannya dalam dokumen resmi, ia harus berkonsultasi dengan seorang ahli hukum atau pengacara untuk membimbingnya mengenai prosedur hukum dan kemungkinan memperbaiki dokumen tanpa merugikan keluarga yang mengadopsinya karena tidak tahu. Jika ada konsekuensi yang merugikan mereka, seperti penjara atau hal lainnya, maka biarkan dokumen tersebut tetap dalam keadaan semula dan dia tetap bernasab ke ibunya. Dan dia tidak boleh mewarisi apa pun dari keluarga yang mengadopsinya, kecuali melalui pemberian atau wasiat: sepertiga atau lebih rendah dari harta, dan dia tidak akan memiliki hubungan kekerabatan dengan mereka. Jika bibinya yang membesarkannya tidak memberinya ASI selama dua tahun berturut-turut, maka anak-anaknya dari bibi tersebut akan dianggap sebagai ajnabiyah (orang asing) baginya, dan dia tidak boleh bercampur baur dan berduaan dengan mereka[5].

Untuk suami bibinya, jika dia tidak yakin bahwa anak ini berasal darinya, maka dia dapat meminta bantuan (setelah Allah) dengan melakukan tes DNA.[6] Orang yang meminta itu harus mendapat izin dari pengadilan. Jika terbukti bahwa dia adalah ayah kandung, dia telah mengadopsinya. Jika bukan ayah kandung, maka anak bernasab kepada ibunya yang melahirkannya (seperti yang telah disebutkan sebelumnya) dan akan mewarisi jika ibu tersebut meninggal dalam kedua keadaan, tes DNA tersebut benar atau tidak. Dan dia akan mewarisinya jika ibu meninggal karena dia adalah ibu kandung.

Demikian penjelasanya dan perlu diperhatikan bahwa ibu sebagai pelaku tetaplah ibu dan kewajiban untuk berbuat baik kepadanya tetap berlaku, meskipun dosanya besar. Terutama jika dia telah bertobat dengan tulus. Sebab seorang ibu pantas mendapatkan bakti dan perlakuan yang baik, meskipun dia berbuat kesyirikan. Dan tidak diragukan bahwa kesyirikan lebih besar dosanya daripada perzinaan. Oleh karena itu, Allah berfirman,

وَإِن جَٰهَدَاكَ عَلَىٰٓ أَن تُشۡرِكَ بِي مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٞ فَلَا تُطِعۡهُمَا‌ۖ وَصَاحِبۡهُمَا فِي ٱلدُّنۡيَا مَعۡرُوفٗا

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman: 15)

Dan pengetahuan hanya ada pada Allah Yang Mahatinggi. Wa akhiru da’wana, anilhamdulillahi rabbil ‘alamin. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Nabi Muhammad, keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari pembalasan, serta memberikan selawat dan salam dengan sempurna.

Baca juga: Penyakit Ganas Akibat Tersebarnya Zina Secara Terang-Terangan

***

Penulis: Fauzan Hidayat

Artikel: Muslim.or.id

Sumber:

https://ferkous.com/home/?q=fatwa-1295

Catatan kaki:

[1] “Abu Dawud meriwayatkan dalam kitab ‘Al-Hudud‘ sebuah bab tentang laki-laki yang berzina dengan istri-istrinya (4456, 4457), dan Tirmidzi dalam kitab ‘Al-Ahkam‘ sebuah bab tentang orang yang menikahi istri ayahnya (1362), dan Nasa’i dalam kitab ‘An-Nikah‘ sebuah bab tentang pernikahan apa yang dilakukan oleh para ayah (3331, 3332), dan Ibnu Majah dalam kitab ‘Al-Hudud‘ sebuah bab tentang orang yang menikahi istri ayahnya setelahnya (2607), dan Ahmad dalam ‘Musnad‘ (18557, 18578, 18579). Dan Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini sahih dalam ‘Irwa Al-Ghalil‘ (2351).

[2] Lihat ‘Al-Mughni‘ oleh Ibnu Qudamah (8/182), ‘At-Tafri‘ oleh Ibnu Al-Jallab (2/224), ‘Al-Muhalla‘ oleh Ibnu Hazm (11/252).

[3] Lihat fatwa nomor: (464) yang berjudul “Tentang hukum pernikahan pelaku zina dan hak anak dari pernikahan tersebut,” dan fatwa nomor: (1221) yang berjudul “Tentang keberatan terhadap hukum memberikan hak anak hasil zina kepada ayahnya” di situs resmi: https://ferkous.com/.

[4] Lihat fatwa nomor: (659) berjudul “Tentang hukum tanggung jawab terhadap anak terlantar dan sejauh mana kesetaraannya dengan anak yatim dalam hal imbalan“, dan fatwa nomor: (918) berjudul “Tentang hukum adopsi dan konsekuensinya” di situs resmi: https://ferkous.com/.

[5] Lihat fatwa nomor: (1242) yang berjudul “Tentang hukum memberikan gelar penjamin kepada yang dijamin tanpa mengadopsinya” di situs resmi: https://ferkous.com/.

[6] Lihat fatwa nomor (463) berjudul “Keabsahan Penggunaan Sidik Jari Genetik dalam Bidang Investigasi Kriminal dan Hubungan Kekerabatan” di situs resmi: https://ferkous.com/.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/85530-hukum-anak-hasil-zina.html

Zina Paling Ngeri

Abu Laits as-Samarqandi mengatakan,

وَأَشَدُّ الزِّنَا مَا هُوَ مُصِرٌّ عَلَيْهِ وَهُوَ الرَّجُلُ الَّذِي يُطَلِّقُ امْرَأَتَهُ وَهُوَ مُقِيْمٌ مَعَهَا بِالْحَرَامِ وَلَا يُقِرُّ عِنْدَ النَّاسِ مَخَافَةَ أَنْ يَفْتَضِحَ

“Dosa zina yang paling ngeri adalah zina yang dilakukan terus menerus. Contohnya adalah seorang suami yang sudah menjatuhkan cerai tiga kepada isterinya namun dia tetap ngotot berhubungan badan, hubungan badan yang nilainya haram. Suami ini tidak mau mengakui telah bercerai dengan isterinya di hadapan publik karena khawatir malu.” (Tanbih al-Ghafilin hlm 339)

Cerai secara agama itu terletak pada lisan suami.

Cerai itu solusi permasalahan rumah tangga yang tidak menemukan titik temu keharmonisan, bukan sarana untuk menghukum atau mendidik isteri.

Tidak ada seorang suami menjatuhkan cerai atau seorang isteri meminta cerai melainkan dilandasi emosi terlebih dahulu.

Andai cerai dalam kondisi emosi tidak sah maka tidak akan pernah ada cerai yang sah di dunia ini.

Setelah cerai atau talak ketiga, isteri resmi jadi orang lain. Hubungan biologis setelah terjadi talak ketiga adalah zina.

Sehebat apapun pertengkaran, suami wajib mengunci lisannya agar tidak mengeluarkan kalimat talak. Kalimat yang hanya akan disesali sepanjang hayat.

Ilustrasi cerai atau talak ketiga adalah sebagai berikut:

Setelah berumah tangga 5 tahun, suami isteri bertengkar. Isteri minta cerai. Suami bilang, “Kupenuhi permintaanmu. Kuceraikan dirimu”. Ini cerai satu. Setelah kejadian ini, suami isteri ini baikan lagi. Suami lantas merujuk isterinya.

Di tahun ke-10 rumah tangga, kembali terjadi cekcok. Saat emosi suami mengatakan, “Kujatuhkan talak kepadamu”. Ini talak dua atau talak kedua. Setelah ini, keduanya berdamai. Suami lantas merujuk isterinya.

Di tahun ke-15 pernikahan terjadi kembali keributan dan perang mulut. Saat itu suami berkata kepada isterinya, Sana, kembali ke rumah ayah ibumu. Telah kububarkan rumah tangga kita”. Ini cerai tiga atau cerai ketiga.

Setelah cerai tiga, isteri tidak boleh dirujuk. Dengan jatuh cerai tiga, otomatis isteri tidak lagi berstatus isteri dan resmi jadi orang lain.

Semoga Allah jadikan rumah tangga penulis dan semua pembaca tulisan ini keluarga penuh ketenangan, cinta dan kasih sayang, kumpul bareng di dunia dan di surga. Aamiin.

Penulis: Ustadz Aris Munandar, S.S., M.P.I.

YUFIDIA

Menjawab Syubhat: Zina Yang Terlarang Adalah Yang Terang-Terangan

Muhammad Syahrur -‘aamalallahu bimaa yastahiqquhu-, tokoh liberal yang sedang ramai dibicarakan karena menyerukan konsep halalnya zina, dia mengatakan bahwa zina yang terlarang adalah yang terang-terangan. Sedangkan yang sembunyi-sembunyi maka tidak mengapa.

Diapun mengutip ayat:

لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ

“Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan fahisyah mubayyinah. Itulah batasan-batasan Allah” (QS. Ath Thalaq: 1).

Dia menafsirkan “fahisyah mubayyinah” dengan “zina terang-terangan”. Mafhumnya, menurut dia, zina yang sembunyi-sembunyi itu boleh. 

Maka kita jawab:

PERTAMA, ini tafsiran yang aneh yang tidak dikenal. Baik dari kalangan para sahabat, tabi’in dan juga para ulama tafsir. Ini tafsiran dari hawa nafsu semata.

KEDUA, justru para ahli tafsir memaknai “fahisyah mubayyinah” dengan zina secara umum. Al Hasan Al Bashri, Mujahid, Ibnu Zaid dan yang lainnya mengatakan:

الزنى، قال فتُخْرَج ليُقام عليها الحدّ

“Maksudnya zina, maka istri yang berzina dikeluarkan dari rumah untuk dijatuhkan hukuman hadd” (lihat Tafsir Ath Thabari).

Bahkan Ibnu Abbas dan Qatadah memaknai “fahisyah mubayyinah” adalah semua bentuk maksiat.

عن ابن عباس ( إِلا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ ) والفاحشة: هي المعصية

“Dari Ibnu Abbas tentang ayat [kecuali mereka mengerjakan fahisyah mubayyinah], fahisyah di sini maknanya maksiat” (lihat Tafsir Ath Thabari).

Dan “mubayyinah” di sini maksudnya perbuatan tersebut jelas merupakan maksiat dan jelas keburukannya. As Sa’di menjelaskan:

{ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ } أي: بأمر قبيح واضح، موجب لإخراجها، بحيث يدخل على أهل البيت الضرر من عدم إخراجها

“[kecuali mereka mengerjakan fahisyah mubayyinah], maksudnya perkara yang jelas keburukannya. Yang mewajibkan dia untuk dikeluarkan dari rumah, karena menimbulkan bahaya bagi penghuni rumah jika tidak dikeluarkan” (Tafsir As Sa’di).

Maka “mubayyinah” di sini bukan maksudnya melakukan terangan-terangan di depan banyak orang. Walaupun itu termasuk dalam cakupan. Artinya, jika ia melakukan maksiat terang-terangan tentu lebih parah dan lebih dosa lagi.

KETIGA, larangan zina bersifat mutlak untuk semua zina, tanpa pengecualian. Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk” (QS. Al Isra: 32).

KEEMPAT, di zaman Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pelaku zina dijatuhi hukuman hadd walaupun tidak terang-terangan melakukannya.

Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu beliau berkata,

أن رجلاً من أسلمَ، جاء النبيَّ صلى الله عليه وسلم فاعترف بالزنا، فأعرض عنه النبيُّ صلى الله عليه وسلم حتى شَهِدَ على نفسِه أربعَ مراتٍ، قال له النبيُّ صلى الله عليه وسلم:أبك جنونٌ؟ قال: لا، قال: آحصَنتَ؟. قال: نعم، فأمرَ به فرُجِمَ بالمصلى، فلما أذلقته الحجارةُ فرَّ، فأُدرِك فرُجِمَ حتى مات. فقال له النبيُّ صلى الله عليه وسلم خيرًا، وصلى عليه

“Ada seorang lelaki, yang sudah masuk Islam, datang kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengakui dirinya berbuat zina. Nabi berpaling darinya hingga lelaki tersebut mengaku sampai 4 kali. Kemudian beliau bertanya: ‘Apakah engkau gila?’. Ia menjawab: ‘Tidak’. Kemudian beliau bertanya lagi: ‘Apakah engkau pernah menikah?’. Ia menjawab: ‘Ya’. Kemudian beliau memerintah agar lelaki tersebut dirajam di lapangan. Ketika batu dilemparkan kepadanya, ia pun lari. Ia dikejar dan terus dirajam hingga mati. Kemudian Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengatakan hal yang baik tentangnya. Kemudian menshalatinya” (HR. Bukhari no. 6820).

Ada wanita dari Bani Ghamid mengaku berzina. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

وَيْحَكِ اِرْجِعِي فَاسْتَغْفِرِيْ اللهَ وَتُوبِي إِلَيْهِ! فَقَالَتْ: أَرَاكَ تُرِيْدُ أَنْ تُرَدِّدَنِي كَمَا رَدَّدْتَ مَاعِزَ بْنَ مَالِكٍ، قَالَ: وَمَا ذَاكِ؟ قَالَتْ: إِنَّهَا حُبْلَى مِنَ الزِّنَى، فَقَالَ: أَنْتِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ، فَقَالَ لَهَا حَتَّى تَضَعِي مَا فِي بَطْنِكِ، قَالَ: فَكَفَلَهَا رَجُلٌ مِنَ اْلأَنْصَارِ حَتَّى وَضَعَتْ، قَالَ: فَأَتَى النَّبِيَّ j، فَقَالَ: قَدْ وَضَعَتِ الْغَامِدِيَّةُ، فَقَالَ: إِذًا لاَ نَرْجُمُهَا وَنَدَعُ وَلَدَهَا صَغِيْرًا لَيْسَ لَهُ مَنْ يُرْضِعُهُ، فَقَامَ رَجُلٌ مِنَ اْلأَنْصَارِ فَقَالَ: إِلَيَّ رَضَاعُهُ يَا نَبِيَّ اللهِ، قَالَ: فَرَجَمَهَا.

“Celaka engkau! Pulanglah dan mintalah ampun kepada Allah serta bertaubatlah!” Kemudian wanita itu menjawab, “Aku melihat engkau menolak (pengakuan)ku sebagaimana engkau menolak (pengakuan) Ma’iz bin Malik.” Beliau bersabda, “Apa yang terjadi padamu?” Wanita itu menjawab, “Ini adalah kehamilan dari perzinaan.” Beliau meyakinkan, “Apakah engkau melakukannya?” Ia menjawab, “Benar.” Lalu beliau bersabda kepadanya, “Sampai engkau melahirkan apa yang engkau kandung.” (Perawi) berkata, “Lalu wanita itu ditanggung kesehariannya oleh seorang laki-laki dari Anshar sampai melahirkan.” (Perawi) melanjutkan, “Kemudian ia (laki-laki Anshar) mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, ‘Perempuan Ghamidiyyah itu sudah melahirkan.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Kalau begitu, kita tidak akan merajamnya dan membiarkan anaknya yang masih kecil tanpa ada yang menyusui.’ Lalu seorang laki-laki dari Anshar berkata, ‘Aku yang akan bertanggung jawab atas penyusuannya, wahai Nabi Allah.’” (Perawi) berkata, “Maka Nabi pun merajam wanita tersebut” (HR. Muslim no.1695).

Dua kasus zina di atas, pelakunya berzina diam-diam, tidak terang-terangan. Buktinya hukuman dijatuhkan atas dasar pengakuan. Andaikan mereka terang-terangan maka sudah dilaporkan oleh orang-orang, bukan karena pengakuan.

KELIMA, beda antara masalah dosa dengan masalah hadd. Terkadang pelaku dosa tidak terkena hukuman hadd, karena tidak dilaporkan atau tidak ketahuan, tapi ia tetap berdosa.

Bahkan terkadang orang yang berbuat maksiat karena tergelincir, padahal ia asalnya orang baik, maka hendaknya dimaafkan dan tidak dilaporkan kepada ulil amri agar tidak dijatuhi hadd. Namun jika sudah dilaporkan wajib dijatuhi hadd. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

أَقِيلُوا ذَوِي الْهَيْئَاتِ زَلَّاتِهِمْ

“Maafkanlah ketergelinciran orang-orang yang baik” (HR. Ibnu Hibban 94).

dalam riwayat lain:

أقيلوا ذوي الهيئات عثراتهم ، إلا الحدود

“Maafkanlah ketergelinciran dzawil haiah (orang-orang yang baik namanya), kecuali jika terkena hadd” (HR. Abu Daud 4375, Dishahihkan Al Albani dalam Ash Shahihah, 638).

An Nawawi mengatakan:

الْمُرَادُ بِهِ السَّتْرُ عَلَى ذَوِي الْهَيْئَاتِ وَنَحْوِهِمْ مِمَّنْ لَيْسَ هُوَ مَعْرُوفًا بِالْأَذَى وَالْفَسَادِ فَأَمَّا المعروف بذلك فيستحب أن لا يُسْتَرَ عَلَيْهِ بَلْ تُرْفَعَ قَضِيَّتَهُ إِلَى وَلِيِّ الْأَمْرِ إِنْ لَمْ يَخَفْ مِنْ ذَلِكَ مَفْسَدَةً

“Maksudnya adalah menutupi kesalahan orang yang memiliki nama baik dan semisal mereka yang tidak dikenal gemar melakukan gangguan dan kerusakan. Adapun orang yang gemar melakukan gangguan dan kerusakan maka dianjurkan untuk tidak ditutup-tutupi kesalahannya bahkan dianjurkan untuk diajukan perkaranya kepada waliyul amri, jika tidak dikhawatirkan terjadi mafsadah” (Syarah Shahih Muslim, 16/135).

Dari sini kita paham bahwa beda antara hadd dengan dosa. Zina yang tidak ketahuan, sembunyi-sembunyi, tidak ada 4 saksi, maka memang tidak bisa dijatuhi hadd. Namun tetap pelakunya berdosa besar.

KEENAM, zina mata, zina lisan, zina hati saja dilarang. Maka bagaimana mungkin zina yang betulan malah dibolehkan jika sembunyi-sembunyi??

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إن اللهَ كتب على ابنِ آدمَ حظَّه من الزنا ، أدرك ذلك لا محالةَ ، فزنا العينِ النظرُ ، وزنا اللسانِ المنطقُ ، والنفسُ تتمنى وتشتهي ، والفرجُ يصدقُ ذلك كلَّه أو يكذبُه

“sesungguhnya Allah telah menakdirkan bahwa pada setiap anak Adam memiliki bagian dari perbuatan zina yang pasti terjadi dan tidak mungkin dihindari. Zinanya mata adalah penglihatan, zinanya lisan adalah ucapan, sedangkan nafsu (zina hati) adalah berkeinginan dan berangan-angan, dan kemaluanlah yang membenarkan atau mengingkarinya” (HR. Al Bukhari 6243).

Ibnu Bathal menjelaskan: “zina mata, yaitu melihat yang tidak berhak dilihat lebih dari pandangan pertama dalam rangka bernikmat-nikmat dan dengan syahwat, demikian juga zina lisan adalah berlezat-lezat dalam perkataan yang tidak halal untuk diucapkan, zina nafsu (zina hati) adalah berkeinginan dan berangan-angan. Semua ini disebut zina karena merupakan hal-hal yang mengantarkan pada zina dengan kemaluan” (Syarh Shahih Al Bukhari, 9/23).

KETUJUH, haramnya zina dalam bentuk apapun, disepakati oleh para ulama bahkan semua agama samawiyah mengharamkan zina. Haramnya zina juga disepakati oleh orang-orang berakal dan waras. Karena sangat jelas sekali kerusakan zina, jijiknya zina dan akibat-akibat buruknya bagi pribadi dan masyarakat.

Semoga Allah memberi taufik.

**

CATATAN:

Pemikiran-pemikiran Muhammad Syahrur dan juga doktor Abdul Aziz jangan disebar-sebarkan dan jangan diberi panggung. Walaupun dengan alasan diskusi atau debat.

Karena mereka juga menggunakan ayat-ayat dan hadits-hadits yang mereka pelintir sesuai hawa nafsu, yang ini bisa menjadi syubhat dan fitnah bagi orang awam.

Penulis: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/51161-menjawab-syubhat-zina-yang-terlarang-adalah-yang-terang-terangan.html

Menjawab Propaganda Menghalalkan Zina Dengan Konsep “Milkul Yamin”

Orang liberal yang mengaku-ngaku sebagai muslim terus berusaha terus merusakan syariat dari dalam. Kali ini mereka berusaha “menghalalkan zina” dengan memakai konsep “milkul yamin”. Bisa jadi orang awam terpengaruh karena ada istilah-istilah Arab yang terkesan ilmiah. Begitu juga dengan istilah “non-marital” (tidak menikah) yang dipakai agar terkesan ilmiah.

Sebenarnya bukan hanya saat ini saja pemikiran seperti ini muncul. Pemikiran liberal ini muncul sejak lama dan selalu menghadirkan orang baru dan gaya baru untuk mengusungnya. Sejak dahulu mereka umumnya memakai dua “pemikiran” untuk menghalalkan zina yaitu bolehnya berhubungan badan di luar pernikahan

1. “Milkul yamin” (Tuan boleh menggauli budak perempuannya)

Membolehkan berhubungan badan di luar nikah tidak bisa dikiaskan dengan budak. Mereka mengkiaskan bolehnya seseorang mengauli patnernya/pacarnya dengan budak, tentu tidak tepat. Orang yang merdeka tentu berbeda dengan budak. Terdapat hikmah besar mengapa seorang tuan boleh menggauli budak perempuannya di antaranya tuannya akan lebih memperhatikan dan memberikan kasih sayang kepada budaknya. Apabila budak perempuan itu hamil, budak tersebut akan melahirkan anak tuannya yang status anaknya merdeka dan mengangkat derajat sang ibu, lalu status budak perempuan menjadi “ummu walad” yang akan merdeka apabila tuannya telah meninggal. Masih banyak hikmah lainnya di balik syariat Allah ini.

2. Konsep mut’ah (boleh berhubungan badan suami istri dalam jangka waktu sesuai perjanjian, misalnya sehari, sepekan, sebulan, setahun. Setelah jangka waktu itu, maka mereka berpisah. Konsep ini disebut juga “nikah mut’ah”)

Memakai dalil ini untuk membolehkan berhubungan badan di luar nikah juga tidak tepat, karena konsep nikah mut’ah sempat diperbolehkan di awal-awal Islam kemudian syariat ini di hapus (mansukh).

Berikut penjelasan lebih rinci bahwa pemikiran di atas tidak tepat

1. Milkul yamin (Tuan boleh menggauli budak perempuannya)

Membolehkan berhubungan badan di luar nikah tidak bisa dikiaskan dengan budak. Mereka mengkiaskan bolehnya seseorang mengauli patnernya/pacarnya dengan budak, tentu tidak tepat.

Penyebutan “milkul Yamin” terdapat dalam beberapa ayat Al-Quran, Salah satunya di mana Allah berfirman,

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ . إِلا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ

“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa.” (QS Al-Mukminun: 5-6)

Syaikh As-Sa’di menjelaskan maksud “milkul yamin” yaitu budak perempuan, beliau berkata:

من الإماء المملوكات

“Yaitu budak perempuan yang ia miliki.” [Lihat Tafsir As-Sa’diy]

Orang liberal menafsirkan sendiri ayat ini dengan asal-asalnya serta membolehkannya berhubungan badan di luar nikah (membolehkan berzina), padahal tasfir ayat ini justru TIDAK membolehkan berzina.

Al-Qurthubi berkata menjelaskan tafsir ayat ini:

وهذا يقتضي تحريم الزنا وما قلناه من الاستنماء ونكاح المتعة

“Hal ini berkonsekuensi haramnya zina, demikian juga haramnya onani/masturbasi dan nikah mut’ah.” [Lihat Tafsir Al-Qurthubi]

2. Konsep mut’ah 

Memakai dalil ini untuk membolehkan berhubungan badan di luar nikah juga tidak tepat, karena konsep nikah mut’ah sempat diperbolehkan di awal-awal Islam kemudian syariat ini di hapus (mansukh).

Terdapat beberapa dalil yang menyebutkan bahwa nikah mut’ah telah diharamkan hingga hari kiamat. Dari Rabi` bin Sabrah, dari ayahnya, bahwasanya ia bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda:

ياَ أَيَّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الاسْتِمْتاَعِ مِنَ النِّسَاءِ , وَ إِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ ذلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ , فَمَنْ كاَنَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخْلِ سَبِيْلَهُ , وَ لَا تَأْخُذُوْا مِمَّا آتَيْتمُوْهُنَّ شَيْئاً ” .

 “Wahai, sekalian manusia. Sebelumnya aku telah mengizinkan kalian melakukan mut’ah dengan wanita. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkannya hingga hari Kiamat. Barangsiapa yang mempunyai sesuatu pada mereka , maka biarkanlah! Jangan ambil sedikitpun dari apa yang telah diberikan”.[HR. Muslim]

Beliau juga berkata,

أَمَرَناَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم باِلْمُتْعَةِ عَامَ اْلفَتْحِ حِيْنَ دَخَلْنَا مَكَّةَ ثُمَّ لَمْ نَخْرُجْ حَتَّى نَهَاناَ عَنْهَا

 “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk mut’ah pada masa penaklukan kota Mekkah, ketika kami memasuki Mekkah. Belum kami keluar, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengharamkannya atas kami”. [HR. Muslim]

Al-Qadhi Iyadh menjelaskan bahwa larangan nikah mut’ah adalah Ijma’ ulama. Beliau berkata,

ثبت أن نكاح المتعة كان جائزاً في أول الإسلام ، ثم ثبت أنه نسخ بما ذكر من الأحاديث في هذا الكتاب وفى غيره ، وتقرر الإجماع على منعه

“Di awal-awal Islam nikah mut’ah hukumnya boleh, kemudian terdapat nash yang menghapusnya sebagaimana terdapat dalam beberapa hadits dalam kitab ini dan telah ada ijma’ larangan hal ini.” [Ikmalul Mu’allim 4/275]

Sebagai penutup, kami ajak merenung dan berpikir bagi mereka yang membolehkan berhubungan badan di luar pernikahan (memperbolehkan berzina). Apakah mereka punya anak perempuan atau punya saudara perempuan? Relahkan anak perempuan dan saudara perempuan mereka dizinahi dan di luar status pernikahan? Tentu tidak kan. Perhatikan hadits berikut:

Abu Umamah Radhiyallahu anhu bercerita, “Suatu hari ada seorang pemuda yang mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, izinkan aku berzina!”.
Orang-orang pun bergegas mendatanginya dan menghardiknya, merekaberkata, “Diam kamu, diam!”.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Mendekatlah”. Pemuda tadi mendekati beliau dan duduk.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Relakah engkau jika ibumu dizinai orang lain?”.
“Tidak demi Allah, wahai Rasul” sahut pemuda tersebut.

“Begitu pula orang lain tidak rela kalau ibu mereka dizinai”.
“Relakah engkau jika putrimu dizinai orang?”.
“Tidak, demi Allah, wahai Rasul!”.
“Begitu pula orang lain tidak rela jika putri mereka dizinai”.

“Relakah engkau jika saudari kandungmu dizinai?”.
“Tidak, demi Allah, wahai Rasul!”.
“Begitu pula orang lain tidak rela jika saudara perempuan mereka dizinai”.

“Relakah engkau jika bibi (dari jalur bapakmu) dizinai?”.
“Tidak, demi Allah, wahai Rasul!”.
“Begitu pula orang lain tidak rela jika bibi mereka dizinai”.

“Relakah engkau jika bibi (dari jalur ibumu) dizinai?”.
“Tidak, demi Allah, wahai Rasul!”.
“Begitu pula orang lain tidak rela jika bibi mereka dizinai”.

Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan tangannya di dada pemuda tersebut sembari berkata, “Ya Allah, ampunilah kekhilafannya, sucikanlah hatinya dan jagalah kemaluannya”.

Setelah kejadian tersebut, pemuda itu TIDAK PERNAH lagi tertarik untuk berbuat zina”. [HR. Ahmad, shahih, Ash-Shahihah I/713 no. 370]

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/51115-menjawab-propaganda-menghalalkan-zina-dengan-konsep-milkul-yamin.html

Kedudukan Anak Zina dalam Pernikahan

UNTUK kesekian kalinya kami menekankan bahwa anak yang sah, adalah anak yang dihasilkan dari hubungan karena ikatan pernikahan yang sah. Bukan semata hasil hubungan biologis.

Jika anak biologis diaku sebagai keturunan, tidak ada beda antara manusia dengan binatang. Karena itulah, kami menegaskan bahwa anak hasil zina, tidak punya ayah. Dia hanya punya ibu. Sehingga dia dinasabkan ke ibunya. Sebagaimana Nabi Isa yang terlahir tanpa ayah. Beliau dinasabkan ke ibunya, wanita suci, Maryam Radhiyallahu anha. Kita menyebut beliau Isa bin Maryam.

Dari Abdullah bin Amr bin Ash, beliau mengatakan,

Nabi shallallahu alaihi wa sallam memutuskan bahwa anak dari hasil hubungan dengan budak yang tidak dia miliki, atau hasil zina dengan wanita merdeka tidak dinasabkan ke bapak biologisnya dan tidak mewarisinya (HR. Abu Daud 2267, dihasankan al-Albani).

Kemudian dalam riwayat lain, dari Aisyah radhiallahuanha, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Anak itu menjadi hak pemilik firasy (suami), dan bagi pezina dia mendapatkan kerugian. (HR. Bukhari 6749, Muslim 3686 dan yang lainnya)

Imam Ibnu Utsaimin menjelaskan hadis ini,

Anak yang dihasilkan dari hubungan zina adalah anak bagi ibunya, bukan anak bapaknya. Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, Anak itu menjadi hak suami, dan bagi pezina dia mendapatkan kerugian. Artinya, si pezina, dia tidak memiliki hak anak. Itulah makna hadis ini. Sekalipun si lelaki menikahi ibunya setelah bertaubat, anak yang dihasilkan dari hubungan yang pertama, bukan anaknya. Tidak ada hubungan waris dengan anak hasil zina, sekalipun dia mengklaim itu anaknya. Karena dia bukan anak syari. (Fatawa Islamiyah, 3/370)

Kedua, karena anak hasil zina tidak memiliki ayah, maka dia tidak memiliki ashabah (kerabat lelaki dari pihak ayah).

Al-Qadhi Zakariya al-Anshari ulama Syafiiyah (w. 926 H) menyatakan,

Tidak ada ashabah bagi anak hasil zina.., karena terputusnya nasab dari ayah. (Asna al-Mathalib, 3/20)

Sementara hak perwalian dalam pernikahan, ditetapkan berdasarkan jalur ashabah dari ayah. Ketika dia dihukumi tidak memiliki ayah, berarti dia tidak memiliki kakek dari ayah, tidak memiliki saudara kandung dari ayah, atau paman dari ayah. Karena dia tidak memiliki hubungan nasab dengan ayahnya. Sehingga orang-orang di kanan-kiri ayah, tidak ada hubungan dengannya.

Karena itulah, anak zina tidak memiliki wali dari nasab.Dalam al-Iqna dinyatakan,

Anak hasil zina tidak memiliki nasab dari pihak ayah karena itu, tidak ada ashabah dari pihak ayah, sekalipun dengan saudara kembarnya (saudara kembarnya adalah saudara seibu). Dan tidak ada hak perwalian untuk ayah dan lainnya. (al-Iqna, 3/86)

Ketiga, selanjutnya, mengingat anak zina tidak memiliki wali dari pihak keluarga, maka hak perwalian berpindah ke hakim (pemerintah) atau pejabat KUA yang resmi ditunjuk pemerintah.

Dari Aisyah Radhiyallahu anha, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Sesungguhnya hakim menjadi wali bagi orang yang tidak memiliki wali. (HR. Ahmad 26068 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth). Demikian. [Ustaz Ammi Nur Baits]

 

INILAH.com

Besarnya dosa zina

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk” (QS. Al Isra: 32).

Tingkat fatalitas zina dalam ayat ini bisa kita ketahui dari beberapa poin:

  1. Penggunaan kata “jangan dekati” ini menunjukkan kerasnya larangan berzina karena mencakup juga semua hal-hal yang bisa menjerumuskan kepada zina. Maka semua hal yang bisa menjerumuskan kepada zina itu terlarang.
  2. Zina disebut sebagai fahisyah yaitu dosa yang sangat buruk karena dipandang buruk oleh syariat, oleh akal dan oleh fitrah yang lurus. Karena dengan melakukan zina maka ia telah melanggar hak Allah, melanggar hak wanita dan suaminya, merusak rumah tangga, mengacaukan nasab dan kerusakan yang lainnya
  3. Zina disebut sebagai “jalan yang buruk”, yaitu maknanya dosa yang besar.

(Taisir Karimirrahman, Syaikh As Sa’di).

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu, beliau berkata:

سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الذَّنْبِ عِنْدَ اللَّهِ أَكْبَرُ قَالَ أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ ثُمَّ أَنْ تَقْتُلَ وَلَدَكَ خَشْيَةَ أَنْ يَطْعَمَ مَعَكَ قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ أَنْ تُزَانِيَ بِحَلِيلَةِ جَارِكَ

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ditanya: “dosa apa yang paling besar di sisi Allah?” Beliau menjawab: “engkau menjadikan tandingan bagi Allah (baca: berbuat syirik) padahal Ia yang menciptakanmu”. Ibnu Mas’ud bertanya: “lalu apa lagi?”. Beliau menjawab: “Engkau membunuh anakmu karena takut ia makan bersamamu”. Ibnu Mas’ud bertanya: “lalu apa lagi? Beliau menjawab: “engkau berzina dengan istri tetanggamu“” (HR. Al Bukhari no. 4483).

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

لا يزني الزاني حين يزني وهو مؤمن

Pezina tidak dikatakan mukmin ketika ia berzina” (HR. Bukhari no. 2475, Muslim no.57).

Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata:

الإيمان نزه فمن زنا فارقه الإيمان ، فمن لام نفسه وراجع راجعه الإيمان

Iman itu suci. Orang yang berzina, iman meninggalkannya. Jika ia menyesal dan bertaubat, imannya kembali” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Syu’abul Iman, di-shahihkan Al Albani dalam Takhrij Al Iman, 16).

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/36553-maraknya-zina-di-hari-valentine.html

Atas Nama Cinta Mereka Berzina

Cinta …
Semua orang bicara cinta
Tapi timbangannya beda-beda
Cinta di atas agama, atau cinta berujung petaka?
Petaka muncul bila cinta diukur sebatas nafsu
Atas nama cinta mereka berzina

Zina dibilang cinta

Karena sekarang banyak yang tertipu oleh setan; zina dibilang cinta. Bahkan zina dianggap biasa; sekadar kemaluan bertemu kemaluan.

Subhanallah! La hawla wala quwwata illa billah!!

إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا، أَدْرَكَ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ، فَزِنَا العَيْنِ النَّظَرُ، وَزِنَا اللِّسَانِ المَنْطِقُ، والقلب تَمَنَّى وَتَشْتَهِي، وَالفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ كُلَّهُ وَيُكَذِّبُهُ

Sesungguhnya Allah menetapkan jatah zina untuk setiap manusia. Dia akan mendapatkannya dan tidak bisa dihindari: zina mata dengan melihat, zina lisan dengan ucapan, zina hati dengan membayangkan dan gejolak syahwat, sedangkan kemaluan membenarkan semua itu atau mendustakannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Nah, kalau belum halal dalam ikatan nikah, jangan pandang-pandangan dulu. Jangan pegang-pegang dulu. Jangan belai-belai dulu. Dekat-dekat bisa berujung syahwat. Bahaya!

Allah telah mengingatkan hamba-Nya dengan keras tentang hal ini,

وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاء سَبِيلاً

Dan jangan dekati zina! Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’:32)

Berhubungan badan bagaikan keledai

Betapa hinanya orang yang berzina. Mari kita simak bagaimana julukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mereka.

Shahabat Abu Malik Al-Asy’ari radhiyallahu ’anhu menyampaikan bahwa dia mendengar Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

ليكونن من أمتي أقوام يستحلون الحر و الحرير

Akan ada dari umatku beberapa kaum yang menghalalkan zina dan sutera.”

Pada akhir zaman, setelah tidak ada lagi kaum mukminin, yang tersisa adalah seburuk-buruk manusia. Mereka saling melakukan hubungan badan bagaikan keledai, sebagaimana dijelaskan dalam hadits An-Nawwas radhiyallahu ’anhu,

ويبقى شرار الناس يَتَهَارَجُون فيها تهارُج الْحُمُر ، فعليهم تقوم الساعة

Dan yang tersisa adalah seburuk-buruk manusia, mereka kawin di zaman itu bagaikan keledai, maka pada merekalah kiamat itu terjadi.’ ” (HR. Muslim)

Tantangan

Jika ada yang menantang Anda seperti ini: coba berbuatlah semau Anda, tidak perlu taat norma, tak usah patuh kepada agama. Nah, jatah setiap orang ‘kan cuma satu nyawa. Tidak lebih dari itu. Silakan Anda pilih sekarang:

  1. Hidup taat aturan Allah, matinya insyaallah selamat.
  2. Hidup bebas semaunya, matinya nanti “gambling”; tak jelas selamat atau sekarat.

Pasti Anda ingin selamat, ‘kan?

Hidup ini mesti berpegang pada prinsip

Sekali sudah berikrar dengan keislaman, kita mesti berjuang untuk istiqamah. Jauhkan diri dari teman yang merusak, pilih teman-teman yang mengajak berbuat baik. Perbanyak doa memohon pertolongan Allah; di Tangan-Nya hati kita berbolak-balik. Dengan taufik-Nya kita bisa hidup penuh ketenteraman dan kebahagiaan sejati.

قُلْ آمَنْتُ بِاللهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ

Katakanlah, ‘Aku beriman kepada Allah kemudian istiqamahlah.’”
(HR. Muslim)

Jika diri bergelimang dosa, tak perlu putus asa. Bertaubatlah sebelum terlambat. Pintu taubat masih terbuka selama nyawa belum sampai kerongkongan. Pintu taubat masih terbuka selama matahari masih terbit dari arah timur.

يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِى وَرَجَوْتَنِى غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ فِيكَ وَلاَ أُبَالِى يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِى غَفَرْتُ لَكَ وَلاَ أُبَالِى يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِى بِقُرَابِ الأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِى لاَ تُشْرِكُ بِى شَيْئًا لأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً

Wahai anak Adam, sesungguhnya jika engkau menyeru dan mengharap kepada-Ku, maka pasti Aku ampuni dosa-dosamu tanpa Aku pedulikan. Wahai anak Adam, seandainya dosamu membumbung tinggi hingga ke langit, tentu akan Aku ampuni, tanpa Aku pedulikan. Wahai anak Adam, seandainya engkau mendatangi-Ku dengan dosa sepenuh bumi dalam keadaan tidak berbuat syirik sedikit pun pada-Ku, tentu Aku akan mendatangi-Mu dengan ampunan sepenuh bumi pula.

(Hadits qudsi riwayat Tirmidzi, no. 3540; Syaikh Al-Albani menyatakan bahwa hadits ini shahih.)

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/5256-atas-nama-cinta-mereka-berzina.html

Awas Zina dan Riba Tanda Datangnya Azab Allah

DARI Maimunah radhiallahu ‘anha, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

‘Tidak henti-hentinya umatku dalam kebaikan selama tidak tersebar kepada mereka anak zina. Jika telah tersebar di kalangan mereka anak zina, maka hampir-hampir Allah meratakan azab ke atas mereka’.” (HR Ahmad)

Dalam riwayat Abu Ya’la, beliau mengatakan, “Umatku senantiasa berpegang dalam kebaikan dan perintah-Nya, selama tidak tampak di kalangan mereka anak zina.” Lalu dalam riwayat lain disebutkan, “Jika zina telah merajalela, maka merebaklah kekafiran dan kemiskinan.” (HR Al-Bazzar)

Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anha, ia berkata, Rasulullah bersabda, “Jika zina dan riba telah muncul di suatu kampung, sungguh mereka telah menghalalkan dirinya untuk ditimpa azab Allah.” (HR Al-Hakim)

INILAH MOZAK