Hukum “Membooking” Tempat di Masjid (Bag. 1)

Sebagian orang terbiasa membooking suatu tempat di dalam masjid, biasanya adalah shaf tepat di belakang imam. Mereka membooking tempat tersebut bisa jadi dengan meletakkan sajadah pribadi, atau meletakkan tongkat, atau meletakkan benda-benda lain dengan maksud sebagai “penanda” bahwa mereka telah menempati area tersebut. Adapun orang yang membooking bisa jadi masih santai di rumah, atau masih di tempat kerja, atau di tempat-tempat lainnya di luar masjid. 

Kebiasaan semacam ini banyak kita jumpai, terutama ketika bulan Ramadhan di masjidil haram atau masjid-masjid lainnya. Lebih-lebih lagi bagi orang yang ingin selalu shalat di masjid, namun mereka tidak bisa i’tikaf atau tidak bisa berlama-lama di masjid di luar waktu shalat. Mereka pun memesan tempat di masjid kepada anak-anak mereka, kerabat, teman, atau yang lainnya dengan kompensasi sejumlah uang agar mendapatkan tempat di masjid. 

Perbuatan semacam ini menyelisihi dalil-dalil syariat dari beberapa sisi:

Pertama, orang yang hendak shalat diperintahkan untuk datang ke masjid sendiri dan mendekat ke shaf pertama di dekat imam, bukan dengan menempatkan sajadah, tongkat, atau barang-barang lainnya di shaf sedangkan dirinya sendiri belum hadir di masjid. Mayoritas orang yang melakukan hal itu memang bersemangat untuk mendapatkan shaf pertama. Akan tetapi, semangat itu tidaklah boleh direalisasikan dengan cara-cara yang menyelisihi sunnah. 

Kedua, tindakan tersebut menyelisihi perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyempurnakan shaf pertama. Menyempurnakan shaf pertama itu disyariatkan sejak sebelum iqamah dikumandangkan. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الأَوَّلِ، ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلَّا أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لاَسْتَهَمُوا

“Seandainya manusia mengetahui (keutamaan) yang terdapat pada azan dan shaf awal, lalu mereka tidak akan mendapatkannya kecuali dengan cara mengundi, niscaya mereka akan melakukannya.” (HR. Bukhari no. 615 dan Muslim no. 437)

Siapa saja yang menyangka bahwa keutamaan shaf pertama itu akan dia dapatkan dengan membooking dulu tempat tersebut, dan dia sendiri datang ke masjid belakangan, maka dia telah salah dalam memahami dalil. Keutamaan shaf pertama itu tidaklah dia dapatkan dengan meletakkan sajadah pribadi sebagai tanda membooking tempat. Akan tetapi, dirinya sendiri yang dituntut untuk bersegera datang ke masjid.

Bahkan bisa jadi ada kemungkinan bahwa orang tersebut telah terlewat dari mendapatkan keutamaan sesuai dengan kadar keterlambatan dia untuk datang ke masjid. Bisa jadi dia berdosa karena telah menghalang-halangi orang lain dari mendapatkan shaf pertama dan karena telah menyelisihi perintah syariat. Bahkan bisa jadi akhirnya pahala shalatnya pun berkurang disebabkan oleh perbuatan maksiatnya tersebut. 

Ketiga, sesungguhnya semua orang itu sama saja kedudukannya ketika berada di masjid. Tidak ada hak untuk menempati shaf pertama kecuali mereka yang datang terlebih dahulu ke masjid. Bersegera menuju ke masjid adalah dengan badan (dirinya sendiri), bukan dengan meletakkan sajadah atau sejenisnya. 

Siapa saja yang membooking tempat di masjid, itu sama saja dengan merampas suatu tempat di masjid secara paksa, mencegah orang-orang yang datang awal untuk shalat di tempat yang telah dibooking tersebut, dan juga mencegah disempurnakannya shaf pertama dan shaf-shaf berikutnya. Tidak diragukan lagi bahwa orang yang datang terlebih dulu itu lebih berhak atas tempat tersebut. Sedangkan orang yang membooking tempat tersebut telah menzhalimi hak orang-orang yang bersegera datang ke masjid. Sehingga dia pun telah bermaksiat atas tindakannya tersebut. 

Siapa saja yang bersegera datang ke masjid, dan mendapati shaf pertama telah dibooking, sehingga dia pun shalat di shaf belakangnya, maka dia tetap mendapatkan keutamaan dan pahala shaf pertama. Hal ini karena dia telah bersegera datang ke masjid dengan niat mendapatkan pahala dan keutamaan bersegera ke masjid dan keutamaan shaf pertama. Akan tetapi, dia terhalang dari menempati shaf pertama karena kezhaliman orang lain.

Syaikhul Islam Ibnu Tamiyyah rahimahullah berkata,

لَيْسَ لِأَحَدِ أَنْ يَتَحَجَّرَ مِنْ الْمَسْجِدِ شَيْئًا لَا سَجَّادَةً يَفْرِشُهَا قَبْلَ حُضُورِهِ وَلَا بِسَاطًا وَلَا غَيْرَ ذَلِكَ. وَلَيْسَ لِغَيْرِهِ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَيْهَا بِغَيْرِ إذْنِهِ؛ لَكِنْ يَرْفَعُهَا وَيُصَلِّي مَكَانَهَا؛ فِي أَصَحِّ قَوْلَيْ الْعُلَمَاءِ. وَاَللَّهُ أَعْلَمُ

“Tidak boleh seorang pun untuk membooking tempat di masjid sedikit pun, baik dengan (meletakkan) sajadah atau karpet sebelum dia datang, atau selain itu, dengan maksud agar orang selain dirinya tidak boleh shalat di tempat tersebut tanpa seijin dirinya. Akan tetapi, (orang yang datang ke masjid) boleh menyingkirkan sajadah tersebut dan shalat di tempat tersebut menurut pendapat yang lebih shahih dari dua pendapat ulama dalam masalah ini.” Wallahu a’lam.” (Majmu’ Al-Fataawa, 22: 123)

Syaikhul Islam Ibnu Tamiyyah rahimahullah juga berkata,

لَيْسَ لِأَحَدِ أَنْ يُقَدِّمَ مَا يُفْرَشُ لَهُ فِي الْمَسْجِدِ وَيَتَأَخَّرَ هُوَ وَمَا فُرِشَ لَهُ لَمْ يَكُنْ لَهُ حُرْمَةٌ بَلْ يُزَالُ وَيُصَلِّي مَكَانَهُ عَلَى الصَّحِيحِ

“Tidak boleh atas siapa pun untuk membooking tempat di masjid terlebih dahulu dengan menggelar sesuatu (misalnya, sajadah) sedangkan dia sendiri datang terlambat ke masjid. Tanda tersebut bukanlah sesuatu yang tidak boleh dilanggar (oleh orang lain). Akan tetapi, orang lain boleh menyingkirkannya dan shalat di tempat tersebut menurut pendapat yang paling shahih.” (Majmu’ Al-Fataawa, 23: 410)

Keempat, orang-orang yang membooking tempat tersebut akan menyebabkan dirinya berlambat-lambat datang ke masjid karena merasa telah membooking tempat. Ini adalah perkara yang bisa kita saksikan. Konsekuensinya, ketika dia kemudian datang ke masjid, dia akan melompati pundak-pundak jamaah yang telah hadir sehingga mengganggu mereka. Jadilah dia menggabungkan dua kesalahan sekaligus, yaitu datang terlambat dan melangkahi pundak jamaah lain dan mengganggu mereka.

Kelima, perbuatan itu akan menyebabkan dirinya merasa sombong dan merasa lebih tinggi kedudukannya dibandingkan orang lain. Dia akan merasa bahwa dirinya “berbeda” dari orang lain sehingga akhirnya dia pun sombong dan tertipu dengan dirinya sendiri, tanpa dia sadari. Kita bisa melihat hal ini dari orang-orang yang membooking tempat di masjidil haram, ketika mereka melangkahi pundak para jamaah tanpa peduli sedikit pun atau lewat di depan orang yang sedang shalat sunnah meskipun telah dipasang sutrah. Semua ini adalah indikasi adanya kesombongan dalam diri mereka.

Keenam, perbuatan tersebut akan menyebabkan perselisihan dan permusuhan di tempat yang paling mulia, yaitu di masjid. Masjid dibangun untuk menegakkan ibadah dan dzikir kepada Allah Ta’ala. Betapa kita melihat dan mendengar perselisihan yang terjadi di masjid disebabkan perbuatan semacam ini, ketika orang-orang yang merasa telah membooking tempat tersebut berusaha mempertahankan “wilayahnya” dari orang-orang yang juga ingin mendapatkan tempat tersebut.

Masih terdapat beberapa pembahasan fiqh terkait masalah ini yang akan kami uraikan di seri berikutnya.

[Bersambung]

***

Penulis: M Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id