Para ‘Ulama bersepakat bahwa tidak boleh memelihara anjing kecuali, untuk suatu kepentingan : berburu, menjaga rumah, dan kepentingan-kepentingan yang tidak dilarang secara syar’i.
Dalam mazhabAl- Malikiyyah sendiri yang berpendapat bahwa anjing tidak najis, akan tetapi yang najis hanyalah air liurnya saja, ada perbedaan pendapat antara para ulamanya :
Sebagian dari mereka berpendapat bahwa memanfaatkan anjing untuk suatu kepentingan hukumnya makruh, kecuali untuk berkebun, atau menjaga pertanian, atau untuk berburu, atau kepentingan syar’i.
Sedangkan sebagian kalangan yang lain membolehkannya secara mutlak.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda :
“ Barangsiapa yang memelihara anjing (tanpa suatu kepentingan) kecuali untuk menjaga perkebunan, atauberburu maka setiap hari pahalanya berkurang satu qiraath”.
*qirath adalah ukuran timbangan, para ulama berbeda pendapat dalam menentukan besarannya, dikatakan bahwa satu qiraath = seperenam dirham
Dan dari Ibnu ‘Umar RA dari Nabi SAW bersabda :
مَنْاقْتَنَىكَلْبًاإِلاكَلْبَصَيْدٍأَوْمَاشِيَةٍنَقَصَمِنْأَجْرِهِكُلَّيَوْمٍقِيرَاطَانِ
“Barangsiapa yang memelihara anjing tanpa suatu kepentingan kecuali untuk menjagalahan pertanian atauberburu, maka pahalanya akan terus berkurang setiap harinya sebesar dua qiraath.” (HR. Muslim)
Lalu, bagaimana jika memeliharanya untuk menjaga rumah, bolehkah?
Dalam hal ini Ibnu Qudamah berpendapat di dalam Syarhu al- Kabiir dan Al- Mughni:
“Tidak diperbolehkan (memelihara anjing) seperti telah disebutkan diatas, dan bias jadi boleh.”
Sedangkan mazhab Asy- Syafi’iyyah berpendapat :
“Jika tidak ada alasan (dari alasan-alasan kebolehan memelihara anjing diatas) maka memeliharanya saja (tanpa kepentingan) tidak boleh.”Dan sebagian dari mereka mengatakan boleh hukumnya memelihara ‘anak anjing’ yang bias dididik untuk kepentingan-kepentingan diatas.
IbnuQudamahdalamkitabnyaAl-Mughniberpendapat :
“Jika telah memelihara anjing untuk kepentingan berburu atau menjaga lahan pertanian misalnya kemudian pada suatu waktu tidak diandalkan untuk itu, maka jenjang waktu fakumnya sang anjing dalam bertugas ini dihukumi boleh.”
Kemudian jika ada seseorang yang memelihara anjing pemburu tapi tidak dimanfaatkannya untuk berburu, maka bagaimana hukumnya?
Ada perbedaan pendapat di sini :
Pertama, Bisa dihukumi boleh karena Rasulullah SAW telah mengecualikannya untuk berburu secara mutlak.
Kedua, Dan bias juga dihukumi tidak boleh, karena dia memeliharanya tanpa ada keperluan, maka dia diserupakan seperti anjing peliharaan lainnya.
Ketiga, Sedangkan pendapat dari ArRaihaaniy mengatakan : “Tidak boleh memeliharanya karena Rasulullah SAW telah memerintahkan untuk membunuhnya, maka jika memeliharanya saja tidak diperbolehkan, apalagi kemudian mengajarinya untuk berburu, alasan kebolehan mengajari itu karena adanya alasan kebolehan memeliharanya, maka mengajarinya menjadi haram hukumnya, maka sesuatu yang halal itu tidak bisa diambil dari sesuatu yang haram.”
Alasan lainnya karena anjing itu disifati seperti Syaiton, maka sesuatu yang mati/ dibunuh olehnya dilarang memakannya, hal ini dikiyaskan kepada hewan yang mati tercekik, selama matinya bukan karena disembelih, maka hukumnya seperti bangkai, haram memakan dagingnya. Wallahuta’alaa’lam. [NF]
Referensi : Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Bab : Iqtina’u Al-Kalbi