Saat bulan Ramadan, terkadang seorang muslim tidak dapat berpuasa secara penuh karena uzur atau alasan tertentu. Termasuk alasan yang lumrah antara lain adalah sakit, haid, hamil, melahirkan, menyusui, dan lain sebagainya. Bagaimana hukum menunda qadha puasa hingga Ramadan yang akan datang?
Bagi mereka yang meninggalkan puasa Ramadan karena alasan-alasan tersebut, maka wajib qadha’ (mengganti) puasa yang ditinggalkan di bulan lain selain Ramadan. Namun, terkadang mereka seringkali menunda qadha puasa tersebut sampai datang bulan Ramadan selanjutnya. Lalu bagaimana pandangan Islam tentang persoalan ini?
Bagi seorang muslim yang mempuyai hutang puasa Ramadan kemudian datang Ramadan berikutnya semetara ia belum sempat qadha’ hutangnya, maka dalam permasalahan ini terdapat dua pendapat dari Ulama 4 Madzhab. Berikut kami paparkan pendapat mereka.
Pertama, Pendapat Ulama Jumhur
Ulama jumhur, yakni Imam Malik, Imam Syafi’i Dan Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa, seorang muslim yang tidak sempat qadha’ puasa Ramadan tahun lalu hukumnya diperinci. Jika tidak sempatnya karena uzur, semisal sakit terus atau hamil dan menyusui selama setahun, maka ia hanya diwajibkan qadha’ puasanya saja. (Syekh Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al Islimy wa Adillatuh, Juz 3, Hal 108)
Namun, jika ia tidak qadha’ puasa tahun lalu tanpa ada uzur, dalam arti ia lalai sampai datang lagi Ramadan berikutnya, maka ia wajib qadha’ puasa tersebut serta membayar fidyah (denda) sesuai jumlah puasa yang belum diganti yakni satu mud (kurang lebih 0,65 kg) untuk hutang puasa sehari. Mereka berpendapat demikian karena mengkiaskannya dengan orang yang tidak puasa di bulan Ramadhan tanpa ada uzur, dengan alasan sama-sama meremehkan kewajiban puasa. (Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, Juz 1 , Hal 318)
Pendapat ini diperkuat dengan Hadis nabi Muhammad SAW riwayat Abu Hurairah:
ان النبي صلي الله عليه وسلم قال مَنْ أَدْرَكَهُ رَمَضَانُ فَأَفْطَرَ لِمَرَضٍ ثُمَّ صَحَّ وَلَمْ يَقْضِهِ حَتَّى أَدْرَكَهُ رَمَضَانُ آخَرُ صَامَ الَّذِي أَدْرَكَهُ ثُمَّ يَقْضِي مَا عَلَيْهِ ثُمَّ يُطْعِمُ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا
“Sesungguhnya Rasulullah bersabda : Barang siapa yang mendapati bulan Ramadan, lalu ia tidak berpuasa karena sakit kemudian sehat kembali dan belum menggantinya hingga Ramadan selanjutnya tiba, maka ia harus menunaikan puasa Ramadan yang sedang dijalaninya, setelah itu ia harus mengganti hutang puasanya dan memberikan makan kepada satu orang miskin untuk satu hari puasa yang ditinggalkan ”. (Asna al-Mathalib fi Syarh Raudh al-Thalib, Syekh al-Islam Zakariya al-Anshari, Juz 1, Hal 429)
Kemudian Imam Syafi’i menambahkan, kewajiban fidyah akan berulang kali seiring berulangnya kelalaian qadha’ puasa hingga datang lagi Ramadan berikutnya. Beliau juga berpendapat, jika puasa Ramadan yang ditinggalkan tanpa ada uzur maka puasa tersebut wajib diganti dengan segera. (Syekh Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al Islimy wa Adillatuh, Juz 3, Hal 108)
Kedua Pendapat Ulama Hanafiyah
Menurut Imam Abu Hanifah seorang muslim yang tidak sempat mengganti puasa Ramadan sampai datang Ramadhan berikuknya, baik tidak sempat menggantinya karena uzur ataupun tidak, maka ia hanya wajib qadha’ puasanya saja, tanpa harus membayar fidyah.
Pendapat tersebut berdasarkan firman Allah SWT :
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu menyempurnakan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah, Ayat 185).
Beliau berbeda dengan jumhur karena menolak kias antara orang yang lalai dalam qadha’ dengan orang yang tidak puasa di bulan Ramadan tanpa uzur, sementara Hadis yang dijadikan dalil oleh ulama Jumhur tentang kewajiban fidyah di atas, menurut Imam Daruquthni Dan Imam Baihaqi adalah hadis dha’if yang tidak dapat dijadikan rujukan hukum. (Asna al-Mathalib fi Syarh Raudh al-Thalib, Syekh al-Islam Zakariya al-Anshari, Juz 1, Hal 429). Wallahu A’lam