Kata ikhlas, mesti sering kita dengar dari orang tua, guru atau seorang kiai. Memang kata ikhlas itu penting untuk diwujudkan dalam niat dan perbuatan kita sehari-hari. Jangan sampai kata ikhlas hanya diucapkan saja tanpa direalisasikan. Mengingat, ikhlas merupakan salah satu factor kunci diterimanya amal perbuatan kita oleh Allah SWT.
Berbicara kata ikhlas, secara bahasa, ikhlas bisa artikan murni, suci atau bersih. Sedangkan pengertian ikhlas ialah menjadikan niat hanya untuk Allah dalam melakukan amalan ketaatan. Adapun orang yang ikhlas berarti orang yang beramal tidak mengharapkan sesuatu selain kepada Allah.
Ikhlas juga bisa diartikan memurnikan niat dari segala kotoran yang merusak hati dan jiwa.
Dalil diperintahkannya ikhlas itu ada pada surat al-Bayyinah ayat 5. Firmankan Allah SWT:
وَمَا أُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَاء
“Padahal mereka hanya diperintahkan menyembah Allah , dengan Ikhlas menaatinya semata- mata karena (menjalankan) agama”
Ikhlas memang harus selalu disemai terus menerus ke dalam hati dan pikiran. Karena terkadang ketika sedang mengerjakan sesuatu, awalnya kita ikhlas, namun di tengah prosesnya hati kita berubah untuk mengharapkan timbal balik dari selain Allah. Baik pujian, materi, perhatian dan lain sebagainya.
Amal kebaikan yang tidak terdapat keikhlasan di dalamnya, itu hanya akan menghasilkan kesia-siaan belaka. Misalkan, apabila seseorang mengerjakan amal kebaikan, akan tetapi ia tak ikhlas, malah ia riya’ maka amalan tersebut di hadapan Allah tidak ada artinya sedikitpun. Mungkin ia mendapat apa yang ia inginkan, yakni sanjungan, tapi amal kebaikannya ia itu sungguh-sungguh tak dianggap oleh Allah.
Sebab, riya’ merupakan salah satu diantara cabang-cabang kemusrikan, sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi SAW :
أَخْوَفُ ماَ أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِرْكُ الْلأَصْغَرُ – قَالُوا يَا رَسُوْلَ اللهِ : وَمَا الشِّرْكُ اْلأَصْغَرُ . قَالَ : الرِّيَاءُ
“Yang paling aku takuti atas kalian adalah syirik kecil. Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah syirik kecil itu ?”, beliau menjawab, “yaitu Riya’ “. (HR. Ahmad dan At-Thabrani)
Bagaimanapun riya’ merupakan suatu penyakit hati yang dapat menyelinap dan memasuki kepada hati siapa pun, entah orang yang berilmu, berkedudukan dan sebagainya. Sebab riya’ itu bentuk perbuatan yang tak nampak wujudnya, karena terletak di dalam hati seseorang. Oleh karena itu, marilah kita bersama-sama berdoa kepada Allah agar senantiasa terhindar dari perbuatan Riya’.
Macam-macam Ikhlas
Ikhlas memang susah untuk dilaksanakan. Namun apapun kesusahannya, pasti manusia mampu untuk belajar secara perlahan dan akan terbiasa. Sikap manusia yang senantiasa ingin dipuji dan disegani orang lain menjadi alasan kuat berkurangnya nilai keikhlasan. Ikhlas sendiri memiliki tiga tingkatan, menurut An-Nawawi yakni,
Pertama ibadatul abid, yakni beribadah karena takut akan siksaannya. Ibadah seperti ini layaknya seorang budak yang menuruti apa yang diperintahkan tuannya karena jika membangkang takut akan siksaannya. Kelompok ini beribadah bukan untuk tujuan ganjaran kebaikan namun karena takut akan murka dan siksaan Tuhan.
Kedua, Ibadatut Tujjar, yakni beribadah karena menghendaki akhirat atau beribadah karena mengharapkan surga dan pahala dari Allah. Ini banyak dikatakan sebagai ibadah para pedagang yang selalu mencari keuntungan. Orang-orang yang berada pada tingkatan ini juga hanya memikirkan keuntungan dalam ibadahnya.
Ketiga, ibadatul akhyar, yakni ibadah orang-orang pilihan. Cara beribadah seseorang karena memiliki malu kepada Allah dan demi memenuhi kewajibannya sebagai seorang hamba yang bersyukur disertai rasa khawatir sebab amal ibadahnya belum tentu diterima di sisi-Nya.