IBARAT perjalanan, tidak selamanya yang dilewati itu jalan yang lurus. Di tengah jalan kadang ada belokan atau menanjak dan sedikit terjal.
Bahkan mungkin adakalanya melewati tikungan tajam yang butuh konsentrasi dan kehati-hatian dalam berkendara.
Demikian pula seorang Mukmin dalam meniti satu kebaikan. Orang itu dituntut mampu mengemudi dan menata hatinya. Ada rambu-rambu yang harus awas diperhatikan mulai dari awal hingga akhir perbuatan. Apakah sudah sejalan dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya?
Bagaimana menata hati agar tidak mengembang sembari menganggap orang lain lebih kecil hanya karena ia sudah berprestasi.
Karena amal yang diterima Allah sejatinya hanya yang memang diperuntukkan untuk-Nya semata.
Abu Hurairah meriwayatkan, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk tubuh serta kemolekan wajahmu, tetapi Allah melihat keikhlasan hatimu.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).
Rasa bangga dan senang ketika bertabur pujian adalah rasa manusiawi yang kadang hadir dan dianggap wajar, tetapi menjaga hati adalah sesuatu yang mutlak.
Bercermin pada orang-orang shaleh terdahulu, sebisa mungkin mereka menyembunyikan amalan-amalan baiknya dari pandangan manusia agar terjaga keikhlasannya.
Jakfar ash-Shadiq berkata: Mereka yang menyembunyikan amalan baiknya sebagaimana dia bersemangat menyembunyikan aib dan kekurangannya.
Jakfar juga pernah berpesan, tidak sempurna suatu amal baik kecuali dengan tiga perkara. Yakni menyegerakan, menganggapnya kecil dan menyembunyikannya.
Ikhlas adalah amalan yang diusahakan sekaligus pemberian dari Allah. Beruntunglah orang beriman yang setiap aktifitasnya bernilai ibadah dan bisa menjadi wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah, karena disertai dengan niat ikhlas.
Tersebab niat itu pula Allah menimbang amalan manusia, diterima atau tertolak kelak.
Al-Baidhawi berkata: Amal ibadah tidak akan sah kecuali diiringi dengan niat. Karena niat tanpa amal diberi pahala, sedangkan amal tanpa niat adalah sia-sia.
Perumpamaan niat bagi amal itu seperti ruh bagi jasad. Jasad tidak akan berfungsi jika tidak ada ruh dan ruh pun tidak akan tampak tanpa jasad.
Lebih jauh, Ibnu Hajar al-Atsqalani menyebutkan dalam kitabnya ”Nashaihul Ibad” bahwa amal itu harus disertai dengan niat yang ikhlas. Tanpa niat yang ikhlas, amal seseorang tidak akan diterima meskipun banyak. Tapi dengan ikhlash, kendatipun sedikit akan besar timbangannya dihadapan Allah.
Terkadang ada sebagian orang mengatakan akan berinfak atau mendermakan hartanya ketika sudah merasa ikhlas, menghitung dan mengurangi kembali karena merasa belum ikhlas.
Padahal ikhlas itu tidak hadir serta merta tetapi karena diusahakan dari awal yang dimulai dengan niat di hati, ketika menjalani proses dan sesudahnya.
Meminjam perkataan Salim A Fillah, bahwa menjadi ikhlas itu adalah runtutan perjalanan yang tak kenal henti dan terus mengaca diri serta berbenah hingga maut menjemput.
Kekhawatiran akan rasa ketidakikhlasan itu mestinya menambah semangat untuk berbuat lebih dan lebih baik lagi, karena keikhlasan itu adalah refleksi dari bersitan niat yang dapat diusahakan.
Firman Allah:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Tidaklah mereka diperintahkan melainkan supaya mereka memurnikan peribadatan hanya kepada Allah semata, yaitu agamanya yang lurus. Supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, itulah agama yang lurus.” (QS: Al-Bayyinah: 5).
Terkait ayat di atas, Imam al-Qurthubi menyatakan wajibnya mengikhlaskan niat karena Allah dalam semua ibadah. Karena ini adalah amalan hati yang hanya ditujukan kepada Allah bukan kepada selainnya.
Pahalamu sesuai dengan kadar lelahmu. Demikian pesan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam kepada Ummu al-Mukminan, Aisyah.
Bahwa sebaik apa pun dan sebanyak apa pun amal shaleh yang kita lakukan bila tidak diniatkan karena Allah maka hanya kerugian saja yang didapatkan nanti.
Seperti halnya orang yang berpuasa bukan karena Allah maka lapar dan haus saja yang bakal diterima orang tersebut.
Alih-alih mendapat untung berupa pahala berlipat, ia justru bisa celaka karena perbuatannya sendiri. Hati yang ikhlas adalah sebab diri bisa selamat.
*/ Sholehah, Pengajar STIS Balikpapan, anggota komunitas menulis PENA