Imam Syafii terkesan dengan penampilan kakek berwibawa yang misterius itu.
Dalam sejarah peradaban Islam, Imam Syafii merupakan salah seorang tokoh yang berpengaruh besar. Pemilik nama lengkap Muhammad bin Idris bin ‘Abbas bin ‘Usman bin Syaafi’ itu mendirikan salah satu mazhab fikih ahlussunnah waljama’ah. Fatwa dan pemikirannya diikuti banyak kaum Muslimin di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Sejak kecil, ia tumbuh dalam lingkungan yang mengutamakan ilmu-ilmu agama. Perjalanannya dalam menuntut ilmu dimulai dari belajar membaca, menulis, dan menghafal Alquran. Alhasil, saat usianya masih tujuh tahun, Imam Syafi’i telah menyelesaikan hafalan 30 juz dengan lancar.
Setelah menjadi hafiz, lelaki kelahiran Gaza, Palestina, tersebut meneruskan rihlah keilmuannya dengan menghafal berbagai macam syair Arab dan kitab Al-Muwattha’ karangan Imam Malik. Ketika menetap di Makkah, ia berguru kepada Sufian bin ‘Uyainah, salah seorang ahli hadis terkemuka dari generasi tabiit tabiin. Imam Syafi’i memuji keduanya, “Kalau bukan karena Imam Malik dan Sufian bin ‘Uyainah, maka akan hilanglah ilmu di Hijaz.”
Salah seorang habib atau keturunan Nabi Muhammad SAW itu dikenal luas sebagai ulama besar. Ia mengajar di sejumlah daerah, utamanya Irak dan Mesir. Dengan reputasi yang sedemikian besar, bagaimanapun, dirinya tidak jatuh pada keangkuhan.
Malahan, pakar fikih tersebut tetap belum merasa puas akan ilmu-ilmu yang telah diperolehnya. Dalam suatu riwayat disebutkan, Imam Syafii masih merasa sebagai orang yang paling bodoh. “Bila aku mendapatkan satu ilmu baru, maka hal itu menunjukkan betapa bodohnya diriku,” katanya. Sebuah ungkapan rendah hati sang imam!
Kisah berikut ini juga menggambarkan kerendah-hatiannya. Pada suatu hari, yakni antara zuhur dan ashar, Imam Syafii bersandar pada sebuah pohon yang rindang. Waktu itu dimanfaatkannya untuk istirahat, menenangkan pikiran sejenak setelah menyelami kitab-kitab di perpustakaan.
Tiba-tiba, seorang kakek berjalan menghampirinya. Kakek tersebut tampak memakai jubah yang cukup tebal, imamah, dan sarung yang menutupi kedua kakinya. Kelihatannya, semua yang dikenakan orang tua ini berbahan dasar bulu domba (shuf). Adapun tangan kanannya memegang sebuah tongkat.
Imam Syafii terkesan dengan penampilan kakek itu. Menurutnya, kewibawaan begitu terpancar dari sosok misterius tersebut. Kakek ini mengucapkan salam. Sang imam bangkit dari duduknya, berdiri sembari merapikan pakaian, dan menjawab salamnya. Lelaki tua itu mengisyaratkan ingin duduk di sebelah Imam Syafii. Yang diminta pun mempersilakannya.
“Sungguh, aku ingin mengajukan pertanyaan untukmu,” kata sang kakek.
“Silakan,” jawab Imam Syafii.
“Apa dasar dari agama Allah?” tanya kakek itu.
“Alquran.”
“Lalu, apa lagi?”
“Sunnah Rasulullah SAW.”
“Kemudian?”
“Ijma (konsensus) para ulama,” terang Imam Syafii.
“Apa dalil-dalil yang bisa Anda ajukan sehingga mengatakan ijma para ulama?” desak kakek tersebut.
“Alquran,” jawab Imam Syafii.
“Kalau begitu, ayat yang mana di Alquran?” cecarnya lagi.
Imam Syafii tidak langsung menjawab. Untuk beberapa lama, dia merenung dan berpikir sejenak. Melihat itu, sang kakek bangkit lalu berkata kepadanya, “Kuberikan kepadamu waktu tiga hari tiga malam. Jika menemukan ayat dari Alquran sebagai dalil untuk itu, maka kamu benar. Jika tidak, maka segeralah bertobat!”
Imam Syafii terkejut. Sebelum ia menanggapi, kakek tersebut sudah beranjak pergi. Sejak saat itu, sang imam berupaya untuk menemukan dalil yang dimaksud. Ia pun selalu memohon petunjuk kepada Allah agar diberikan ilham tentang ayat Alquran yang bisa menjelaskan perihal ijma.
Tiap hari, begitu memasuki waktu antara Zhuhur dan Ashar, Imam Syafii menyambangi pohon tempatnya bertemu dengan sang kakek misterius. Barulah pada hari ketiga, keduanya kembali berjumpa.
Tampak jelas rasa lelah pada fisik Imam Syafii. Kantung matanya menjadi tebal. Kedua telapak tangan dan kakinya kelihatan bengkak. Itu menandakan, sang imam memang sangat bersungguh-sungguh dalam menemukan apa yang dicari.
“Silakan, berikan jawabanmu,” kata sang kakek setelah mengucapkan salam.
“Baiklah,” jawab Imam Syafii, “adapun dalil yang dimaksud ialah surah an-Nisa ayat 115.”
Terjemahan ayat itu, “Dan barangsiapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu, dan akan Kami masukkan dia ke dalam neraka Jahanam, dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.”
“Jawabanmu tepat,” timpal kakek tersebut sembari tersenyum kepada Imam Syafii.
Sejurus kemudian, pria tua misterius itu pun pergi. Menurut riwayat dari Tajuddin as-Subki, kakek ini adalah Nabi Khidir.
Kisah tersebut memuat pesan moral tentang keteladanan yang ditunjukkan Imam Syafii. Tidak perlu diragukan lagi, sang imam memiliki taraf keilmuan yang tinggi. Pengetahuannya akan syariat pun luas, di atas rata-rata Muslimin. Tentangnya, Imam Hambali pernah berkata, “Imam Syafii laksana matahari bagi dunia dan kesembuhan bagi tubuh. Setelahnya, tidak ada orang yang menandingi kebesarannya.”
Namun, keluasan ilmu tidak menjadikannya sombong. Sikap rendah hatilah yang membuatnya tidak gengsi untuk tidak menjawab seketika pertanyaan dari sang kakek. Ketika “diberi” waktu tiga hari untuk menemukan jawaban, masa itu dimanfaatkannya dengan sungguh-sungguh. Sampai-sampai, kaki dan tangannya bengkak karena kerja keras mencari dalil yang tepat.
OLEH HASANUL RIZQA