Imbau Warga tak Mudik, Muhammadiyah: Bukan Kewajiban Agama

Muhammadiyah mengimbau warga tidak melakukan mudik selama pandemi Corona.

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA – Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengimbau masyarakat tidak melakukan mudik tahun ini. Imbauan sebagai langkah antisipatif terhadap penyebaran virus Corona.

Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, menjelaskan mudik adalah tradisi masyarakat Indonesia sebagai bentuk silaturahim. Walaupun dilaksanakan dalam satu rangkaian Idul Fitri, mudik bukan merupakan ajaran inti atau kewajiban agama. Karena itu tidak ada masalah apabila tidak mudik.   

Dia menjelaskan, silaturahim merupakan akhlak mulia dan sangat dianjurkan dalam ajaran Islam. Alangkah baiknya silaturahim dilakukan dengan saling berkunjung, memberi hadiah, dan berjabat tangan. 

Akan tetapi, ujar dia, dalam situasi tertentu karena keadaan, jarak dan kesempatan silaturahim dapat dilakukan dengan cara yang berbeda, misalnya dengan berkirim surat (korespondensi), surat elektronik (email), telepon, video call, dan cara-cara yang lain.

“Inti silaturahim adalah saling mendoakan, berbagi suka-duka, dan membantu meringankan beban atau masalah,” kata Mu’ti melalui pesan tertulis kepada Republika.co.id, Ahad (29/3).   

Dalam ajaran Islam, kata dia, menyelamatkan kehidupan jauh lebih penting dibandingkan dengan melaksanakan tradisi yang mengandung resiko keselamatan. Karena itu jika tidak benar-benar mendesak sebaiknya masyarakat tidak mudik pada bulan Syawal 1441 H.   

“Silaturahim dapat dilaksanakan dengan cara lain pada waktu yang lain apabila situasi sudah membaik dan aman,” jelasnya.

Sebelumnya, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menyempurnakan maklumat mengenai tuntunan ibadah bagi umat Muslim dalam menghadapi wabah corona/Covid-19. 

Adapun surat maklumat yang dimaksud bernomor 02/MLM/I.0/H/2020 tentang wabah covid-19 dan surat bernomor 03/I.0/B/2020 tentang penyelenggaraan sholat Jumat dan fardhu berjamaah saat Covid-19 melanda. 

Dalam rangka melaksanakan hal itu, berdasarkan rilis yang diterima Republika.co.id, Kamis (26/3), Muhammadiyah menetapkan sejumlah keputusan yang diambil dengan berpedoman kepada nilai-nilai dasar ajaran Islam dan beberapa prinsip yang diturunkan dari sana. 

Dengan mempertimbangkan dalil-dalil dari Alquran dan hadis yang dipahami sesuai dengan manhaj tarjih serta data-data ilmiah dari para ahli yang menunjukkan bahwa kondisi ini telah sampai pada status darurat, rapat bersama di lingkup Muhammadiyah menetapkan beberapa keputusan sebagai berikut. 

Apabila kondisi mewabahnya Covid-19 hingga bulan Ramadhan dan Syawal mendatang tidak mengalami penurunan, terdapat beberapa tuntunan berikut yang perlu diperhatikan.

a. Sholat Tarawih dilakukan di rumah masing-masing. Takmir tidak perlu mengadakan sholat berjamaah di masjid, mushala, dan sejenisnya, termasuk kegiatan Ramadhan yang lain seperti ceramah-ceramah, tadarus berjamaah, iktikaf, dan kegiatan berjamaah lainnya.  

b. Puasa Ramadhan tetap dilakukan kecuali bagi orang yang sakit dan yang kondisi kekebalan tubuhnya tidak baik. Orang tersebut wajib menggantinya sesuai dengan tuntunan syariat.  

c. Untuk menjaga kekebalan tubuh, puasa Ramadhan dapat ditinggalkan oleh tenaga kesehatan yang sedang bertugas. Tenaga kesehatan dapat menggantinya sesuai dengan tuntunan syariat. 

d. Sholat Idul Fitri adalah sunah muakadah dan merupakan syiar agama yang amat penting. Namun, apabila pada awal Syawal 1441 H mendatang tersebarnya Covid-19 belum mereda, sholat Idul Fitri dan seluruh rangkaiannya (mudik, pawai takbir, halal bihalal, dan lain sebagainya) tidak perlu diselenggarakan.  

Namun, apabila berdasarkan ketentuan pihak berwenang bahwa Covid-19 sudah mereda dan dapat dilakukan konsentrasi banyak orang, sholat Idul Fitri dan rangkaiannya dapat dilaksanakan dengan tetap memperhatikan petunjuk dan ketentuan yang dikeluarkan pihak berwenang mengenai hal itu. Adapun kumandang takbir Idul Fitri dapat dilakukan di rumah masing-masing selama darurat Covid-19.

KHAZANAH REPUBLIKA