Masih banyak di antara kita melakukan perbuatan baik, termasuk menjalani rutinitasnya tanpa niat. Padahal, Nabi Muhammad SAW dalam hadis mutawatirnya selalu mengingatkan: Innamal a’mal bi al-niyat (sesungguhnya perbuatan [yang bernilai ibadah] ialah perbuatan yang disertai dengan niat [karena Allah]). Hadis ini menafikan nilai ibadah setiap amal dan perbuatan tanpa niat. Sekalipun yang dilakukan adalah ibadah khusus.
Sebaliknya, amal perbuatan duniawi yang baik dan dilakukan dengan niat ibadah, maka akan bernilai ibadah di mata Tuhan. Ulama fikih menganggap sia-sia amal perbuatan tanpa niat. Karena itu, Imam Syafi’i pendiri Mazhab Syafi’i yang banyak dianut di Asia Tenggara dan Mesir mengharuskan adanya niat bagi setiap perbuatan jika dikehendaki sebagai ibadah.
Kalangan ulama kalam (teolog) menganggap niat sebagai faktor yang membedakan antara perbuatan manusia (human creations) dan perbuatan binatang (animal creations). Senada dengan pandangan ulama tasawuf seperti dikatakan oleh Ibnu ‘Arabi di dalam Fushush al-Hikam-nya, perbuatan yang dilakukan dengan niat suci dan penuh penghayatan adalah perbuatan keilahian (al-af’al al-Haqqani/divine creations). Niat adalah bentuk keterlibatan Tuhan mulai dari kehendak (masyi’ah), kemampuan (istitha’ah), sampai terjadinya perbuatan (kasab).
Semakin terasa keterlibatan Tuhan di dalam sebuah perbuatan maka semakin kuat niat itu. Segala perbuatan yang dilakukan dengan kekuatan niat, maka semakin berkah pula perbuatan itu. Pada hakikatnya niat adalah konsep matang dan penuh kesadaran dari dalam diri kita tentang suatu perbuatan yang akan kita lakukan. Dalam bahasa manajemen, niat dapat dihubungkan dengan programming atau perencanaan yang baik. Tanpa perencanaan sulit mengharapkan hasil yang baik.
Dalam ilmu manajemen modern, selalu dititikberatkan arti penting sebuah programming karena sebuah pekerjaan tanpa perencanaan yang baik pasti tidak akan menjanjikan output dan outcome lebih baik. Niat adalah the first creation dan implementasinya adalah the second creation. Muslim yang ideal selalu mengerjakan amal perbuatannya dua kali. Sekali dalam niat/program dan sekali dalam actions. Tuhan yang Mahakuasa pun melakukan kehendaknya dua kali. Sekali dalam konsep, yaitu di dalam Al-Lauh al-Mahfudh dan yang kedua dalam bentuk implementasi.
“Bukan gugur selembar daun dari dahannya, melainkan sudah tercatat di Lauh Mahfudh,” kata Nabi. Nabi juga mengingatkan kita: “Takhallaqu bi akhlaq Allah” (Berakhlaklah dengan mencontoh akhlak Allah).
Ketulusan dan kesucian sebuah niat melahirkan energi positif yang dahsyat. Seseorang yang bekerja dengan niat ikhlas tidak akan pernah merasa lelah, kecewa, dan frustrasi. Bahkan, menjalani kematian pun ia akan tersenyum.
Niat yang baik akan melahirkan mental hard worker dan good performance, yang merupakan prasyarat masyarakat profesional. Niat yang baik tentunya menjanjikan output dan outcame yang lebih baik dan besar. Ini perintah agama dan ini juga tuntutan hidup sebagai seorang Muslim.
Para ahli motivasi dan ahli manajemen meyakini bahwa orang yang memiliki niat luhur dan baik akan mengadopsi kekuatan dalam (inner power) yang bekerja luar biasa di dalam dirinya. Seberat apa pun tugas, pekerjaan, dan tanggung jawab yang dipikulnya akan dirasakan lebih mudah. Sebaliknya, tanpa niat ikhlas akan menyedot energinya sendiri. Bahkan, yang bersangkutan juga akan mengalirkan fibrasi negatif ke lingkungan sekitarnya sehingga orang lain juga merasa tersedot dengan energi negatif itu.
Di sinilah perlunya niat yang baik dan benar agar perbuatan kita mempunyai dampak spiritual lebih utama (insan kamil). Tingkatan efek spiritual inilah yang membedakan antara perbuatan manusia dan perbuatan binatang (hayawanat) dan karakter tumbuh-tumbuhan (nabatat). Kita perlu mengingatkan pada diri kita agar selalu tersambung (connected littishal) dengan Tuhan dalam melakukan setiap pekerjaan kita. Hanya dengan demikianlah seorang hamba bisa meraih martabat utama.
Oleh: Nasarudin Umar, Imam Besar Masjid Istiqlal