Seorang muslim mengimani dengan sepenuh hati bahwa musibah apa pun yang menimpanya dalam kehidupan ini, tidak lain karena sudah ada ketentuannya dari Allah Ta’ala.
Oleh karena itu, apa pun yang ditakdirkan menimpanya tidak mungkin meleset darinya, dan apa pun yang tidak ditakdirkan atasnya tidak mungkin akan mengenainya.
Hal ini dikarenakan Allah Ta’ala telah mencatat semua yang Dia takdirkan di alam semesta ini, sebagaimana Dia firmankan,
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيرٌ
“Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuz) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hadid: 22).
Selain itu, diriwayatkan dari Abdullah bin Amru bin Ash, dia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ كَتَبَ مَقَادِيرَ كُلَّ شَيْءٍ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
“Sesungguhnya Allah telah mencatat takdir segala sesuatu limapuluh ribu tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi.”(HR. Muslim dan At-Tirmidzi)
Dari sinilah, maka seorang muslim disyariatkan untuk melakukan upaya-upaya yang dapat membantunya menghindari kesedihan. Yang dimaksud di sini adalah menyebutkan upaya-upaya yang dapat membantu seseorang untuk menghindari sumber-sumber kesedihan.
Manusia sebenarnya mampu menghindari sumber-sumber kesedihan, maka Allah Ta’ala melarang Nabi-Nya untuk menyerah begitu saja kepada kesedihan sebagaimana tercantum di beberapa ayat dalam Al-Qur`an, di antaranya, firman Allah Ta’ala,
وَلَا يَحْزُنْكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْكُفْرِ
“Dan janganlah engkau (Muhammad) dirisaukan oleh orang-orang yang dengan mudah kembali menjadi kafir.” (QS. Ali Imran: 176).
Sekali lagi bahwa yang dimaksud di sini hanyalah sakadar menyebutkan upaya-upaya yang dapat membantu seseorang untuk menghindari kesedihan, agar dia berusaha menunaikannya.
Sedangkan berhasil atau tidaknya upaya tersebut, hal tersebut tetap ada di tangan Allah Ta’ala. Manusia hanyalah dokter bagi dirinya sendiri.
Adapun upaya-upaya yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Berusaha meningkatkan dan memantapkan iman dalam hati
Iman adalah nikmat paling agung yang Allah Ta’ala karuniakan kepada orang yang dikehendaki-Nya di antara makhluk-makhluk-Nya, sebagaimana Dia firmankan,
يَمُنُّونَ عَلَيْكَ أَنْ أَسْلَمُوا قُلْ لَا تَمُنُّوا عَلَيَّ إِسْلَامَكُمْ بَلِ اللهُ يَمُنُّ عَلَيْكُمْ أَنْ هَدَاكُمْ لِلْإِيمَانِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِيْنَ
“Mereka merasa berjasa kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah, “Janganlah kamu merasa berjasa kepadaku dengan keislamanmu, sebenarnya Allah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjukkan kamu kepada keimanan, jika kamu orang yang benar.” (QS. Al-Hujurat: 17).
Iman adalah nikmat yang membuat umur manusia menjadi bersih, hidupnya menjadi berkah, menghapus ketergantungan hatinya pada dunia dan segala gemerlapnya, beralih ketergantungannya kepada Rabbnya, serta membuatnya selalu berusaha menggapai keridhaan-Nya.
Begitu juga, iman itu memberi kepada manusia kemauan yang teguh dan memperkuat keterikatannya dengan Allah Ta’ala. Hal tersebut dikarenakan orang mukmin itu yakin bahwa segala urusannya ada dalam genggaman Allah Azza wa Jalla, hanya kepada-Nya segala urusan itu kembali.