Apakah Rasulullah dalam berdakwah menghapus tradisi yang pernah ada di masyarakat Arab? Ternyata tidak, banyak sekali tradisi, budaya dan adat yang dimasukkan nilai Islami oleh Rasulullah. Jadilah kebiasaan lama tersebut bernuansakan Islam dan diperingati sebagai bagian dari khazanah Islam.
Begitu pula dengan cara pendekatan penyebar Islam di Indonesia. Mereka tidak merusak tradisi, adat, dan budaya yang ada yang tidak bertentangan dengan nilai Islam. Justru, tradisi yang ada ditransformasi dalam bentuk dan nuansa yang Islami. Batik, wayang, slametan, dan budaya lainnya diberikan makna islami sehingga ia tetap menjadi bagian dari nafas masyarakat.
Kaitan dengan wayang, rasanya tidak arif ketika ada seorang dai yang menyarankan memusnahkan wayang. Memang tidak menghukumi haram, tetapi menyarankan memusnahkan lebih parah tingkatannya dari pada haram. Rasanya itu sangat menyinggung perasaan masyarakat.
Karena itulah, dakwah dengan pendekatan budaya dengan menjadikan tradisi sebagai tonggak kokoh nilai Islam bukan hal baru. Rasulullah pun melakukan itu Ketika berhadapan dengan tradisi dan budaya masyarakat Arab.
Dakwah dalam konteks inilah sebenarnya harus juga dipahami oleh para dai saat ini. Bukan membuang tradisi sejauh tidak bertentangan dengan syariat, tetapi mengisi tradisi dengan makna yang islami. Jadi proses mengislamkan bukan sebagai sekedar proses islamisasi, tetapi internalisasi nilai Islam dalam tradisi.
3 Pendekatan Rasulullah dalam Menghargai Tradisi
Jika dilihat sebenarnya cara dakwah Nabi yang berhadapan dengan tradisi ada tiga pola. Pertama, pendekatan tahmil, artinya Islam datang dengan menerima dan menyempurnakan tradisi yang sudah ada di masyarakat jahiliyah. Corak seperti ini misalnya terlihat dalam penghormatan Islam terhadap bulan-bulan yang diharamkan pertumpahan darah yang sudah ada di zaman Arab pra Islam.
Tradisi menghormati bulan-bulan tertentu sudah ada sebelum ajaran Islam. Apakah Islam kemudian memberangus keyakinan itu? Tidak! Islam memberikan nilai Islami dengan menghormati bulan yang suci dengan berbagai ibadah. Memperbanyak amalan dan puasa seperti bulan Rajab dan Sya’ban.
Kedua, pendekatan taghyir, artinya Islam menerima tetapi merekonstruksi tradisi dengan nilai yang Islami. Dalam prakteknya, tradisi Arab pra Islam masih dilanjutkan tetapi diisi dengan nilai baru. Contoh ini misalnya dilihat dari proses haji yang tetap melaksanakan thawaf dan sai tetapi rubah maknanya bukan menyembah Latta dan Uzaa, tetapi ditujukan untuk mengangungkan Allah.
Corak seperti ini pula yang dilakukan semisal Walisongo ketika mempertahankan slametan dan pementasan wayang. Ada nilai islami yang dimasukkan dalam budaya dan tradisi. Tradisi tidak hilang, tetapi nilai islam pun tidak menjadi pudar.
Ketiga, pendekatan tahrim, artinya Islam menghapus tradisi dan kebiasaan yang ada yang jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Namun, perlu diingat bahwa dalam proses penghapusan inilah Rasulullah sangat hati-hati agar tidak menimbulkan resistensi yang kuat. Misalnya pengharaman khamar yang dilakukan secara bertahap. Islam juga ingin menghapus perbudakan yang dilakukan secara bertahap dengan cara menjadikan membebaskan budak sebagai bagian dari sangsi ibadah.
Jika kita lihat pendekatan dakwah Rasulullah yang berhadapan dengan tradisi masyarakat pra Islam, memiliki kesamaan dengan cara dakwah Walisongo di nusantara. Dakwah kearifan lokal itulah yang diteladani para Wali dalam menyebarakan Islam di nusantara. Walisongo banyak menggunakan pendekatan taghyir dalam berdakwah, tetapi juga tegas menggunakan tahrim dengan model dakwah yang santun dan ramah.
Wal hasil, wayang sebagai warisan budaya nasional ini sebenarnya merupakan warisan budaya nusantara dan internalisasi Islam oleh para Walisongo yang harus terus dilestarikan. Wayang bukan hanya sebagai kebanggaan, tetapi media dakwah nilai-nilai Islam yang santun dan ramah.
Terakhir, saya ingin mengutip sebuah hadist :
ما رآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
Artinya: “sesuatu yang dinilai baik oleh orang orang Islam, maka tentu baik pula dalam penilaian Allah”. (Mustadrak al-Hakim, 2/843).
Artinya, tradisi yang ada dan dipandang baik oleh umat Islam dan tidak menggangu akidah adalah kebaikan pula dalam pandangan agama. Semoga kita lebih arif dalam menyikapi tradisi dan agama.