PARA sahabat nabi memang tidak pernah mengadakan ritual apapun, termasuk tidak pernah merayakan peringatan hari lahirnya nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, juga tidak pernah merayakan hari turunnya Alquran dan Isra’ mi’raj nabi. Semua itu tidak pernah dilakukan di zaman sahabat, apalagi di zaman nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup. Tidak ada satu pun ulama yang menolak realita ini. Semua mengakui bahwa di masa itu belum ada kegiatan seperti itu.
Namun ketika ada orang atau kalangan masyarakat muslim yang kemudian melakukannya, seperti yang kita lihat di berbagai negeri muslim, apakah hal itu juga harus dilarang? Apakah perayaan itu menjadi bid’ah dan haram untuk dikerjakan? Dan apakah ada larangan nabi shallallahu ‘alaihi wasallam secara khusus untuk mengharamkan perayaan itu? Jawaban masalah seperti ini tidak pernah sampai ke titik final kesepakatan. Para ulama dan umat Islam banyak berbeda dalam menyikapinya. Sebagian kalangan tanpa tedeng aling-aling langsung mengeluarkan fatwa haram dan bid’ah. Artinya, siapa saja yang melakukan berbagai kegiatan ini berdosa besar dan matinya akan masuk neraka.
Namun sebagian lainnya memandang dengan sudut pandang berbeda. Meski tetap mengakui bahwa di masa nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan di masa para sahabat tidak pernah ada kegiatan seperti ini, namun dalam pandangan mereka, kegiatan seperti ini tidak lantas menjadi haram untuk dikerjakan. Dua kubu ini sejak zaman dahulu sudah berbeda pendapat, dan rasanya sampai hari ini perbedaan pendapat itu masih tetap berlangsung. Yang satu tetap setia dengan vonis bid’ahnya dan yang lain tetap komintmen untuk tidak membid’ahkannya.
Mereka yang membid’ahkan perayaan-perayaan seperti disebutkan di atas, biasanya berargumen bahwa apa saja kegiatan keagamaan yang tidak ada contoh dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat, berarti hukumnya bid’ah. Dan semua jenis bid’ah itu sesat dan orang sesat itu tempatnya di neraka. Mereka umumnya sangat khawatir kalau urusan mengadakan perayaan maulid, isra’ mi’raj dan nuzulul quran akan menyeret diri mereka ke neraka. Tidak cukup ketakutan itu untuk diri mereka, mereka pun sibuk berkampanye melarang umat Islam melakukannya.
Jutaan eksemplar buku, kaset, ceramah, rekaman dan alat propaganda serta aliran dana mereka gulirkan untuk kampanye bahwa semua itu adalah sesat dan berujung ke neraka. Dalilnya sederhana saja, karena semua itu tidak pernah dilakukan di zaman nabi, maka siapa saja yang melakukannya dianggap telah membuat agama baru dan tempatnya kekal di dalam neraka.
Mereka yang membolehkan tidak juga tidak mau kalah dalam berargumen. Meski di zaman nabi tidak pernah dilakukan, namun menurut mereka tidak lantas kegiatan seperti itu bisa dianggap sebagai bid’ah sesat dan membawa ke neraka. Sebab yang termasuk bid’ah hanyalah bisa seseorang menambah ritual peribadatan, seperti salat yang ditambahi rukun atau rakaatnya. Sedangkan kegiatan peringatan maulid nabi, menurut mereka, tidak ada kaitannya dengan ibadah rtitual, namun lebih terkait dengan masalah teknis muamalah. Dan dalam masalah muamalah, prinsipnya apapun boleh dilakukan selama tidak melanggar hal-hal yang memang secara tegas dilarang.
Kalau menambahi rakaat salat subuh menjadi tiga rakaat, barulah itu namanya bid’ah. Atau mengubah tempat haji dari Arafah ke lapangan monas, itu juga bid’ah. Tapi kalau kita memperingati lahirnya seseorang termasuk nabi kita, atau hari awal turunnya Quran, sama sekali tidak ada kaitannya dengan ritual ibadah. Demikian pendapat mereka yang membolehkan kegiatan seperti itu.
Mungkin ada baiknya kedua kelompok ini duduk bersama untuk membahas masalah ini secara lebih terbuka. Setidaknya agar umat Islam tidak dibuat bingung dan semakin saling bermusuhan dengan sesamanya. Karena sikap-sikap dari masing-masing gurunya terkadang tidak mengajak ke arah toleransi dalam berbeda pendapat. Sebaliknya, cenderung malah sengaja ingin menyebarkan rasa permusuhan, merasa diri paling benar sendiri, orang lain harus dalam posisi yang salah, bodoh, jahil dan tidak punya ilmu.
Mentalitas seperti ini terkadang malah menggerogoti keikhlasan dalam berdakwah. Akhirnya, orientasi dakwah yang awalnya mengajak orang menjadi baik, berubah malah mengajak orang untuk saling memusuhi dengan sesama umat Islam. Padahal seandainya masing-masing mengelar pendapat secara baik-baik, di dalam forum kajian yang ilmiyah, dengan dilandasi dengan semangat kebersamaan, serta rasa kasih sayang, tentu suasananya tidak akan sekeruh sekarang. Mungkin dengan pergantian generasi hal itu akan tercapai, insyaallah. Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh. [Ahmad Sarwat, Lc]